Kamis, 15 Januari 2009

Dari Trauma ke Separatisme: Melihat dari Pinggir


Amiruddin al Rahab

GERAKAN separatisme dalam sejarah politik Indonesia adalah gerakan yang tak pernah surut, bahkan bisa dikatakan sebagai momok utama politik Indonesia. Gerakan separatisme itu juga meninggalkan trauma yang mendalam di kalangan rakyat masing-masing daerah di samping menyisakan beragam persoalan sosial-politik bagi pemerintah pusat.

Dalam pandangan Goerge McT. Kahin (1997) seluruh garakan separatis di masa pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elit daerah dan atau perwira militer daerah terhadap penguasa pusat dan tak jarang pula akibat adanya rivalitas dalam tubuh militer dalam memperebutkan posisi serta sumber daya ekonomi dan politik. Gerakan separatis ini sebagian besar juga dibidani oleh CIA untuk mengguncang pemerintahan Soekarno. Akan tetapi setelah Soekarno tumbang dan para perwira militer tersebut berhasil mengambil alih kekuasaan ke tangannya di tahun 1965 ternyata gerakan separatis tidak serta merta hilang.

Sepuluh tahun setelah rezim militer Orba itu berkuasa gerakan separatisme tumbuh dalam bentuk dan wajah yang baru di daerah yang berbeda pula sebagai anti tesis dari rezim militer yang brutal. Dalam konteks ini separatisme bukan lagi gerakan perebutan kekuasaan yang datang dari kalangan para perwira militer daerah melainkan datang dari para massa rakyat yang trauma setelah menjadi korban kebrutalan rezim militer. Itu terlihat dari gerakan yang muncul dan berkembang di Aceh, Timor Leste, dan Papua.

Jika di era rezim gotong-royong Megawati ini Indonesia tetap menghadapi gerakan separatis maka perlu kiranya didalami, apa gerangan roh yang tetap menjadikan gerakan separatis itu hidup? Dan siapa yang menghidupkannya?

Saya dalam tulisan ini mencoba menyelami motif gerakan itu dari pinggir yaitu dari mereka yang selama ini menjadi korban. Di mana korban dalam kesehariannya dan pengalamannya yang merasa dihina karena dikatakan terbelakang, bodoh, dan terperangkap dalam kemiskinan yang akut. Di samping itu para massa rakyat ini juga didera terus-menerus dengan kekerasan baik secara fisik mau pun psikis. Bertolak dari trauma yang luar biasa akibat tekanan, massa rakyat ini akhirnya memiliki bayangan sendiri tentang bangsa. Bayangan korban tentang bangsa ditempa dalam memori kolektif yang penuh dengan penderitaan (memoria passionis). Sehingga korban memandang bangsa jauh berbeda dari bayangan bangsa para elit politik dan militer yang bercokol di Jakarta.

Membuncahnya kehendak melepaskan diri dari beberapa daerah belakangan ini dan mulai adanya klaim kebenaran oleh sekelompok orang atas nama agama atau etnis terhadap apa yang dibayangkan tentang bangsa menunjukkan bahwa bangunan mengenai bangsa dan negara yang selama 30 tahun dianggap sudah final kini tergugat secara substansial. Akibatnya ikatan yang mendasari bangsa dan negara yang hanya bersandar pada kesamaan kesejarahan dan geografis tak memadai lagi untuk memelihara keutuhan sebuah bangsa.

Ketika massa rakyat yang terluka hatinya mengidentifikasi diri sebagai korban dan kemudian berhimpun maka gerakan perlawanan kian menemukan elan perjuangannya. Dalam tahap ini imaji korban yang bertemu dengan pimpinan lokal akan menjadi keyakinan politik yang siap mereka bela kapan saja. OPM, GAM, PDP atau SIRA bahkan CNRT di Timor adalah kristalisasi dari keyakinan politik baru dalam membayangkan bangsa ke masa depan.

Bayangan mengenai masa depan sama sekali dibangun di luar dari apa yang ada sekarang karena kenyataan-kenyataan saat ini tidak lagi memberikan harapan. Tuntutan kemerdekaan yang disuarakan oleh OPM/ TPN serta PDP di Papua dan GAM serta komponen masyarakat lainnya di Aceh adalah tuntutan yang dilatari oleh pemikiran dan cita-cita politik (ideologi) tertentu yang bertolak dari pengalaman masa lalu di bawah rezim militer. Cita-cita itu telah dirawat dan diperjuangkan dalam sejarah yang juga begitu panjang oleh para pendukungnya. Masalah ketidakadilan dan berbagai problem hak asasi manusia bagi OPM atau PDP serta GAM lebih merupakan bukti dari kebenaran kehadiran mereka dalam menjanjikan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu setiap korban yang jatuh dalam penumpasan atas gerakan itu oleh aparat keamanan seperti polisi dan TNI hanya akan menambah barisan para syuhada yang akan membela cita-cita tersebut.

Sepanjang tahun 1999-2002 ini secara politik langkah-langkah pemerintah sama sekali tidak mampu mengakomodir isi yang terkandung dalam cita-cita itu. Hal itu terlihat dari sikap pemerintah dan aparat di lapangan yang selalu memposisikan OPM atau PDP dan GAM sekedar pelaku kriminal bukan sebagai representasi politik baru. Kondisi ini yang membuat keadaan dan sikap dari kelompok PDP dan OPM serta GAM kian mengental. Situasi yang mengental itu diperburuk terus-menerus oleh sikap Jakarta yang bersikeras mengirim tambahan pasukan, menggelar berbagai operasi baru yang penuh dengan kekerasan. Bahkan di sisi lain, Jakarta dan terutama Mabes TNI menggunakan metode kekerasan atau tindakan kekerasan sebagai alat penundukan untuk menggiring pihak-pihak politik lokal untuk berunding. Jika kini cara pemerintah tetap seperti itu, maka bisa dipastikan ruang politik bagi kekuatan-kekuatan politik lokal yang baru dan memiliki cita-cita perubahan kian menyusut bahkan tidak ada sama sekali, yang artinya juga menutup jalan ke arah penyelesaian.

Cita-cita politik itu juga disuburkan oleh tidak pernah adanya upaya hukum demi mempertanggungjawabkan rangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tak terjawabnya hak para korban terutama hak untuk tahu mengapa seluruh kekerasan itu terjadi dan mengapa mereka yang menjadi korban, hak untuk mendapatkan keadilan, artinya bagaimana proses penuntutan dan penghukuman terjadi terhadap para pelaku kejahatan tersebut, hak mendapatkan restitusi yaitu hak untuk mendapatkan ganti rugi atas penderitaan yang dialami membuat kepercayaan hilang terhadap semua lapisan birokrasi.

Jadi dalam masalah pertanggungjawaban itu yang dibutuhkan oleh rakyat Papua dan Aceh adalah pengakuan akan adanya kesalahan dan dipenuhinya hak mereka atas keadilan dan untuk tahu sebagai warga negara. Oleh karena itu negara tidak bisa mangkir dari kewajibannya untuk bertanggung jawab. Selama negara mangkir (impunity) maka selama itu pula memori kolektif rakyat Papua dan Aceh dengan pengalaman yang mendera mereka tidak bisa disembuhkan, akibatnya jalan keluar juga tidak bisa ditemukan. Cap separatisme tidak akan pernah menyurutkan cita-cita dan semangat baru itu.

Reformasi menghendaki adanya penyelesaian yang demokratik dan mengakhiri segala bentuk aksi kekerasan. Namun dalam menyelesaikan masalah yang terjadi, reformasi itu di Papua dan Aceh tak kunjung menemukan jalan terang. Dampak dari kekerasan yang terus berkesinambungan telah menghilangkan kesempatan terciptanya ruang publik bagi rakyat Papua dan Aceh menyembuhkan diri secara sosial dan mempersiapkan infrastruktur politik baru di tingkat lokal. Dalam trauma yang tak tersembuhkan itu, gerakan penuntutan kemerdekaan (separatis) terus terpupuk dan terus mencari bentuk-bentuk penyalurannya dengan barisan syuhada yang juga kian panjang.

Jadi roh yang tetap menghidupkan gerakan separtisme di Papua dan Aceh kini adalah perlawanan rakyat yang menderita dan menjadi korban dari kebrutalan militer dan pembangunan. Perlawanan terhadap kebrutalan dan penindasan itulah hakekat dari kehadiran massa rakyat. Artinya gerakan separatisme lebih merupakan akibat ketimbang sebab, karena gerakan itu berada di atas realitas ketidakadilan yang ada. Begitu pulalah yang terjadi di sepanjang sejarah RI ini, berbagai gejolak daerah yang muncul kemudian divonis sebagai gerakan separatis berakar dari ketidakadilan yang dirasakan orang-orang daerah terhadap monopoli pusat terhadap akses sosial-politik dan ekonomi-budaya.

Jadi yang dinyatakan sebagai gerakan separtisme itu oleh Jakarta adalah gerakan para korban yang hendak keluar dari trauma yang mendalam akibat kekerasan yang simultan dan terlecehkannya harga diri sebagai rakyat. Trauma itu tak bisa disembuhkan oleh derap sepatu serdadu dan letupan senapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar