Jumat, 23 Januari 2009

Menyubversi Maskulinitas Politik Aceh

Amiruddin
Kompas, 16 Juli 2005

Nilai-nilai agama adalah jantung kehidupan sosial-budaya masyarakat Serambi Mekkah. Sebagai negeri yang ruang publiknya begitu diwarnai oleh nilai-nilai agama, maka budaya patriarkal merupakan jantung politiknya.

Belitan budaya patriarkal terhadap kehidupan ranah politik membuat peranan perempuan Aceh tersingkir dari ruang publik. Penyingkiran itu berlangsung dalam rangka memperebutkan legitimasi politik pemerintah (militer) dengan ulama dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Edriana menuliskan tiga pilar ini memainkan perannya secara berbeda dengan hasil yang sama bagi perempuan Aceh. Militer melancarkan kekerasan untuk menundukkan Aceh secara keseluruhan dengan menjadikan perempuan sebagai target, sementara ulama dengan penafsiran agamanya yang konservatif membatasi ruang gerak. Di sisi lain, GAM adalah aktor pemaksa yang mampu mengiring perempuan untuk mematuhi aturan dari ulama dengan kekerasan.

Ketika syariat diberlakukan di Aceh secara resmi di tahun 2000 korban pertamanya adalah perempuan. Mulai dari mereka dipaksa mengenakan pakaian tertentu, diatur cara bersikap sampai dilarang keluar rumah dengan rambut terbuka. Dari praktik ini sebagai wacana syariat bukan saja soal akidah, melainkan menjadi wacana politik yang diperebutkan pemaknaannya oleh aktor-aktor politik di Aceh.

Mengapa dominasi patriarkal itu bisa terjadi dan perempuan bisa tersingkir? Bukankah sejarah Aceh di masa lalu memperlihatkan kegemilangan peranan perempuan di ranah politik, mulai dari menjadi raja atau ratu sampai menjadi pemimpin perang gerilya yang tak kenal menyerah seperti Tjut Nyak Dien atau Tjut Muthia.

Buku yang berasal dari tesis master di Institute of Social Studies, Belanda, ini menyatakan bahwa penyingkiran atau penyertaan perempuan dalam politik bukanlah hal yang datang dari norma agama atau alamiah, melainkan hal yang dikonstruksikan dalam ruang dan waktu tertentu untuk keperluan tertentu pula. Penyingkiran itu bisa terjadi secara konstitutif maupun secara praktis. Konstitutif di sini berarti perempuan itu secara konseptual tidak disertakan. Sementara secara praktis berarti perempuan disingkirkan dengan membatasi ruang akses baginya ke dalam institusi ekonomi resmi dan publik melalui berbagai jenis hambatan situasional.

Untuk melawan penyingkiran konstitutif, penulis buku ini mengemukan perlunya melakukan dekonstruksi terhadap gagasan nasionalisme Aceh yang kini dominan. Di tahap inilah seluruh bangunan dari gagasan nasionalisme Aceh yang selalu dikaitkan dengan pemberlakuan syariat perlu diguncang ke fondasinya. Hal itu ditegaskan oleh penulis karena pemberlakuan syariat di Aceh dari dulu sampai sekarang lebih banyak menyingkirkan perempuan ketimbang memberikan ruang partisipasi bagi perempuan. Sementara itu, penyingkiran praktis mesti dilawan dengan cara mencapai pengakuan yuridis sehingga hak-hak perempuan menjadi bagian utuh dari hak hukum.

Penyingkiran perempuan Aceh dari ranah politik dinyatakan dalam buku dimulai sejak hilangnya kata perempuan dalam Hikayat Perang Sabil (HPS) di abad ke-19. Sejak itu pula maskulinitas watak nasionalisme dan ranah politik di Aceh diteguhkan. Padahal di abad ke-17 kata perempuan eksis dalam HPS setara dengan laki-laki untuk maju ke medan laga. Hilangnya perempuan dari teks HPS dengan sendirinya membuat perempuan tersingkir dari arena politik pembentukan nasionalisme Aceh. Perempuan akhirnya dalam HPS menjelma sekadar menjadi bidadari yang disuguhkan sebagai imbalan dari laki-laki yang rela syahid. Padahal, dalam tradisi tutur masyarakat Aceh nilai-nilai patriotisme Aceh ditransfer melalui sejarah lisan kepada anak-anak Aceh, baik laki-laki maupun perempuan sejak dari dalam gendongan sampai dewasa. (hal 38)
Beranjak dari perspektif dan alat analisa yang dipakai oleh penulis terlihat bahwa maskulinitas politik dan nasionalisme Aceh betul-betul dibentuk dari satu zaman dan hanya berada dalam ruang yang tertentu pula. Oleh karena itu, buku ini mengajukan beberapa pikiran dan temuan yang cerdas. Pertama sejak pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) sampai tsunami, laki-laki Aceh mengalami kemandulan politik karena tertindas, akhirnya kembali menggunakan agama sebagai mesin mobilisasi politik dengan syariat sebagai sandarannya. Menjadikan agama sebagai mesin mobilisasi politik sama artinya dengan menyingkirkan perempuan dari politik. Dengan demikian, laki-laki Aceh (GAM dan ulama) meneguhkan kembali kekuasaannya yang hilang atas perempuan.

Kedua tubuh perempuan adalah arena pertarungan memperebutkan dominasi politik antara Pemerintah Indonesia dan GAM dan ulama. Bagi GAM dan ulama, tubuh perempuan adalah "pembawa panji-panji kehormatan dan identitas Aceh secara kolektif" atau "simbol nasionalisme Aceh yang bernapaskan Islam"(hal 18). Oleh karena itu, perempuan harus dibentuk, diposisikan, dan dicitrakan sesuai dengan imajinasi GAM dan ulama Aceh tentang Islam dan "bangsa Aceh". Bagi Pemerintah Indonesia, perempuan Aceh adalah sasaran utama kekerasan dan penundukan karena ia simbol dari harga diri dan identitas Aceh (GAM dan ulama) itu sendiri. Penundukan terhadap perempuan Aceh bagi militer berarti jalan bagi penundukan terhadap seluruh perlawanan Aceh atau GAM sekaligus upaya merangkul ulama-ulama.

Ketiga syariat Islam di Aceh dilihat oleh penulis buku ini sebagai wacana politik, bukan semata-mata sebagai hasrat meneguhkan nilai-nilai agama. Dalam pertarungan wacana politik, penerapan syariat di Aceh kini dilihat sebagai wadah bertemunya maskulitas TNI, GAM, dan ulama di ranah publik Aceh. Artinya, pencitraan nasionalisme Aceh dengan syariat Islam oleh ulama dan GAM atau nasionalisme NKRI oleh TNI berakibat sama terhadap perempuan Aceh, yaitu hilangnya identitas perempuan di ranah politik. Dengan kata lain, perempuan tidak pernah dianggap ada dalam seluruh proses politik di Aceh dari masa Orde Baru sampai era otonomi khusus ini.
Keempat untuk keluar dari cengkeraman politik maskulin itu penulis buku ini mengusulkan agar perempuan harus mampu merebut dan memenangi perang wacana sebagai jalan untuk masuk ke tengah arena politik untuk mengonstruksi Aceh masa datang. Wacana yang harus dibangun adalah hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia. Dengan menyatakan sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, maka upaya penyingkiran dan penindasan terhadap perempuan di ranah politik bisa ditantang. Dalam perang wacana itu ruang untuk menyatakan dan membangun identitas politik perempuan dibuka dan dipertahankan. Selain itu dengan perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia, seluruh wacana dominan yang patriarkal bisa didekonstruksi ulang. Dengan demikian, seluruh wacana agama dan nasionalisme Aceh yang menyingkirkan perempuan bisa digugat ulang dan terbuka untuk didiskusikan terus-menerus.

Singkat kata, buku ini mengajak pembacanya secara provokatif untuk memperbincangkan tiga hal yang mendasar, yaitu relasi gender, agama, dan nasionalisme. Relasi ketiga topik ini seakan terlupakan selama ini dalam mendalami persoalan di Aceh. Akibatnya, pemahaman terhadap gejolak di Aceh belum membumi dan selalu mengabaikan aktor pentingnya, yaitu perempuan. Tidak adanya perempuan dari kedua belah pihak dalam perundingan yang dirintis antara GAM dan Pemerintah Indonesia memperlihatkan hal ini.
Selain temuan dan analisis yang segar dan pantas dipuji tentang politik, agama, dan nasionalisme dalam menyingkirkan identitas perempuan dari ranah politik di Aceh, ada sedikit hal yang mengganggu dari buku ini, yaitu seputar naskah HPS. Saya sangat meragukan HPS sudah ada pada abad ke-17. Bersandar pada Prof A Hasjmy (1977), HPS betul-betul buah dari pergumulan politik perang Aceh yang dimulai tahun 1873. HPS dikarang oleh Teungku Tjhik Pante Kulu (Haji Muhammad) yang dipersembahkannya kepada Panglima Perang Teungku Tjhik Tiro Muhammad Saman.

Orang Belanda yang pertama mempelajari hubungan HPS dengan perang Aceh adalah Prof Dr Christiaan Snouck Hurgronje yang datang ke Aceh pada tahun 1891. Sedangkan yang mencatatkannya ke dalam bahasa Belanda untuk pertama kali adalah HT Damste mantan Controleur di Idi, Aceh Timur. Tulisan Damste ini di publikasikan tahun 1928 dalam Bijdragen Tot de Taal Land en Volkenkunde van Nederlansch-Inde. Deel 84.

Amiruddin Aktivis Hak Asasi Manusia, Tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar