Selasa, 20 Januari 2009

Soal Kejahatan HAM, Semua Bersandiwara

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 01 April 2007

Badan Musyawarah (Bamus) DPR memutuskan bahwa tidak terjadi kejahatan hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II serta Mei 1998. Maka dari itu Pengadilan HAM Ad Hoc tidak perlu dibentuk untuk memeriksa segala bentuk kejahatan HAM dalam peristiwa-peristiwa tersebut.

Jika Anda satu dari mereka yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan HAM dalam peristiwa-peristiwa itu, tentu Anda akan bersyukur dan melonjak kegirangan, karena lolos dari jeratan hukum tanpa bersusah payah. Betapa tidak, tanpa bukti yang sah secara hukum dan tanpa melakukan penyelidikan dan penyidikan, Bamus berhasil melumpuhkan proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Hebat! Kali ini Anda dibela dalam forum terhormat di republik ini oleh para pembela andal yang dibesarkan oleh partai politik di Bamus DPR.

Berkat keputusan Bamus itu, tentu Anda akan bisa berlenggang-kangkung dan bertepuk dada bahwa Anda adalah warga terhormat di republik ini. Putusan Bamus telah membuat Anda tanpa cela secuil pun, apalagi melakukan kejahatan HAM di masa lalu, sewaktu menduduki jabatan menteri ini, panglima kesatuan itu, petinggi teritorial komando militer atau polisi di sana-sini.

Sebagai tokoh terhormat, tentu Anda akan kian ringan mulut untuk mengkritik petinggi-petinggi pemerintahan saat ini. Berkat itu pula peluang mencalonkan diri menjadi gubernur dalam pilkada atau mendirikan partai politik untuk menuju kursi presiden semakin terbuka lebar.

Sebaliknya, coba tempatkan diri Anda sebagai bagian dari korban, tentu Anda akan menjerit dan kehilangan harapan akibat putusan Bamus DPR itu. Sebagai warga negara, hak Anda yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang yang berlaku sah telah diselewengkan oleh para politisi yang nota bene adalah para pembuat undang-udang tersebut bersama dengan pemerintah. Di tataran inilah sebagai warga negara yang menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan, hak Anda betul-betul dicederai. Bukan hanya itu, akal sehat Anda pun dirampas begitu saja oleh Bamus. Ironi!


Pekerjaan Rumah

Keputusan Bamus DPR yang tidak mengandung sense of humanity itu sungguh meninggalkan pekerjaan rumah yang sangat serius bagi lembaga penegakan hukum di bidang hak asasi manusia, yaitu Komnas HAM dan Jaksa Agung. Sementara, bagi korban dan masyarakat, keputusan Bamus itu melukai hati dan menimbulkan pertanyaan besar, yaitu mengapa para anggota DPR yang terhormat tega berlaku seperti itu?

Pekerjaan rumah itu adalah tidak adanya kepastian hukum dalam menyelidik, menyidik, dan penuntutan atas kejahatan HAM.

Komnas HAM tentu akan terkendala dalam menyelidiki sebuah peristiwa di masa lalu karena DPR akan memveto hasil penyelidikan itu dengan mudah. Sementara Jaksa Agung tidak akan menyidik hasil penyelidikan Komnas HAM karena Jaksa Agung telah berhasil menempatkan DPR sebagai jaksa dan sekaligus hakim atas kejahatan kemanusiaan di masa lalu.

Mengapa DPR bisa seperti itu? Jawabannya adalah DPR dengan semena-mena telah memperluas kewenangannya. Padahal Pasal 43 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM hanya memberikan kewenangan konsultasi dengan rumusan "atas usul". DPR memaknai rumusan "atas usul" itu sebagai hak veto DPR atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Celakanya lagi, hak veto DPR itu diperkukuh oleh Jaksa Agung yang menyatakan bahwa penyidikan hanya bisa dilakukan setelah adanya penetapan locus dan tempus delicti oleh DPR.

Opini Jaksa Agung seperti itu sungguh menyesatkan, karena DPR tidak diberi kewengan memeriksa perkara. Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) menjelaskan bahwa DPR dalam mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc didasarkan pada "dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia". Pihak yang menentukan adanya "dugaan" tersebut tak lain dan tak bukan adalah Komnas HAM sebagai penyelidik berdasarkan "bukti permulaan yang cukup" (Pasal 20 ayat 1) dan Jaksa Agung sebagai penyidik. Artinya DPR tidak bisa menduga sebuah peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak, sebelum adanya "dugaan" yang disusun oleh penyelidik dan penyidik. Alur seperti itu telah dipraktikkan dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Timtim dan Tanjung Priok. Pertanyaan besarnya adalah mengapa dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi, Mei 1998 atau Orang Hilang, Jaksa Agung dan DPR berbalik haluan?

Ketidakpastian hukum soal penanganan kejahatan kemanusian di masa lalu ini kian menggila, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Maka dari itu, dapat dikatakan hasil Bamus DPR hanyalah satu adegan dari sebuah sandiwara yang runtut bagi mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan HAM di masa lalu, agar bisa lari dari tanggung jawab itu. Adegan awalnya dirintis DPR periode 1999-2004, kemudian berlanjut ke eksekutif yang pura-pura tidak tahu, terus ke yudikatif yang membebaskan para terdakwa di MA, serta pembatalan UU KKR oleh MK, dan akhirnya kembali bermuara di Bamus DPR periode 2004-2009.

Sekali lagi, sulit untuk tidak mengatakan bahwa keputusan Bamus DPR adalah adegan lanjutan dari sebuah sandiwara besar untuk melindungi para penanggung jawab kejahatan kemanusian di masa lalu.

Penulis adalahPemerhati Politik dan Hak Asasi Manusia. Staf Senior di ELSAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar