Selasa, 20 Januari 2009

Heboh Papua, Kembali ke Otsus!

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 06 April 2006

Menjadikan Australia sebagai kambing hitam dalam heboh Papua adalah cara yang paling mudah untuk lari dari tanggung jawab. Karena hal itu, akan menggelapkan permasalahan sesungguhnya, yaitu kelalaian pemerintah dan ketidakpedulian sebagian besar anggota dewan terhadap implementasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Pada hal Otsus Papua telah di-nyatakan sebagai platform nasional untuk menyelesaikan masalah Papua dalam Tap MPR No IV/1999 dan kemudian ditegaskan dalam Tap MPR No IV/2000. Kemudian kedua Tap MPR itu dijabarkan kedalam UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Sayangnya, setelah menjadi UU, Otsus Papua hanya ada di atas kertas, dan belum bisa mengubah nasib sebagian besar rakyat asli Papua. Ketidakadilan, kemiskinan, kekerasan dan kelaparan terus menghantui rakyat Papua di kala dana Otsus dicairkan untuk Papua.

Persoalan Papua sesungguhnya adalah tidak diimplementasikannya secara konsekwen Otsus Papua sebagai platform nasional untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan keberlangsungan hidup orang-orang asli Papua.

Kembali ke Otsus

Untunglah, setelah bertemu dengan berbagai tokoh masyarakat Papua di Jayapura pasca bentrokan berdarah di depan Universitas Cenderawasih (Uncen), Menko Polhukam, Widodo AS menyadari kekeliruan Pemerintah Pusat.

Widodo AS berjanji akan menangani Papua sesuai kerangka Otsus. Walau pun sangat terlambat, sikap Menko Polhukam Widodo AS itu memiliki arti yang sangat strategis karena menjadi koreksi terhadap kinerja dan sikap pemerintah pusat selama ini dalam menangani masalah-masalah di Papua.

Di samping itu, janji Menko Polhukam kembali ke Otsus merupakan ajakan kepada DPR agar lebih telaten mengawasi pemerintah menangani masalah Papua. Pengawasan dari DPR itulah yang terlihat lemah dalam menjalankan Otsus di Papua. Akibatnya beberapa kebijakan pemerintah yang mencederai UU Otsus jadi berlangsung terus-menerus.

Mulai dari Presiden Megawati memotong-motong Papua menjadi tiga provinsi dan lalai membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) serta instansi pendukung Otsus lainnya , sampai rezim Yudhoyono-Kalla mengizinkan Pilkada Gubernur di Irjabar. DPR tidak pernah menggunakan hak interplasi, apa lagi hak angket atas terjadinya pelanggaran serius terhadap UU Otsus Papua itu.

Penanganan Pemerintah

Ajakan Menko Polhukam ini semestinya bisa menjadi amunisi bagi para anggota Dewan yang terhormat untuk menyentil pemerintah pusat menangani Papua. Saya rasa, hal ini lebih berarti bagi rakyat Papua, ketimbang para anggota dewan mengumbar ketersinggungan dan amarah terhadap Australia sambil berteriak-teriak meminta pemerintah memutuskan hubungan diplomatik.

Maka dari itu, jika kembali ke platform nasional yaitu Otsus di Papua sebagai jalan keluar seperti yang dinyatakan Menko Polhukam ada beberapa agenda mendesak yang mesti di tempuh.

Pertama, memulihkan kepercayaan berbagai komponen masyarakat Papua terhadap Pemerintah Pusat. Untuk ini, Presiden Yudhoyono (tanpa perantara) harus turun langsung bertatap muka dan berbicara dengan komponen masyarakat dan pemerintahan di Papua melalui pertemuan segi empat yaitu Presiden dengan Gubernur terpilih, DPRP dan MRP di Jayapura.

Dengan mendiskusikan masalah secara langsung maka antara Presiden dengan tokoh-tokoh yang mewakili rakyat Papua akan terjalin komunikasi dari hati ke hati dalam menentukan agenda prioritas. Dalam komunikasi dari hati ke hati ini tidak diperlukan instansi atau komisi apa pun untuk menjadi perantara. Untuk dua tahun pertama, hal ini bisa dilakukan 6 bulan sekali.

Kedua, MRP harus menjadi instansi rujukan utama pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan keberlangsungan hajat hidup suku-suku dan orang asli Papua yaitu pengelolaan SDA dan tanah. Misalnya dalam negosiasi ulang Kontrak Karya PT Freeport Indonesia, MRP haruslah lembaga yang paling utama yang dilibatkan di samping lembaga-lembaga adat dari suku-suku yang mendiami areal PT Freeport.

Hal ini sesuai dengan Pasal 20 UU Otsus yang menyatakan bahwa "MRP adalah pihak yang memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga".

Ketiga, pemerintah pusat harus menghentikan segala bentuk agenda pemekaran provinsi di Papua. Jika pemerintah membiarkan adanya terus-menerus agenda pemekaran Provinsi, maka politik Papua terus akan bergejolak karena pemekaran diasosiasikan dengan politik pecah-belah.

Di samping itu, pemekaran provinsi juga dilihat sebagai upaya menciderai Otonomi Khusus. Irjabar yang telah telanjur eksis, pemerintah pusat segera berkomunikasi dengan MRP dan DPRP untuk perlindungan hak-hak orang asli Papua, penataan keuangannya dan kaitan provinsi itu dengan UU Otsus.

Bisa Dikurangi

Dengan memperhatikan secara sunguh-sunguh ketiga agenda di atas, besar kemungkinan heboh Papua bisa dikurangi secara perlahan. Dengan demikian orang Papua bisa pula merasa nyaman dalam naungan Republik Indonesia. Dengan sendirinya celah bagi pihak asing ikut campur tangan akan berkurang, dan kedaulatan Indonesia di Papua juga menjadi terjaga.

Singkatnya, heboh Papua ini janganlah berlalu begitu saja. Heboh ini harus bisa menjadi pemicu kerjasama yang teragenda antara pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua dan DPR dalam menangani masalah Papua sesuai Otsus sebagai platform nasional. Di samping itu, heboh ini juga haruslah menjadi koreksi terhadap kinerja pemerintah yang telah mengabaikan nasib rakyat Papua. Semoga.

Penulis adalah Inisiator Pokja Papua dan ELSAM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar