Jumat, 16 Januari 2009

Aceh Baru dan Semangat Kaum Muda

Amiruddin al Rahab
Serambi Indonesia, 28/11/2007

Setiap hari selalu ada kekecewaan
Setiap hari selalu ada duka nestapa
Tetapi setiap hari juga
Selalu memiliki pagi
dan matahari
Yang membawa harapan.
(Wiratmadinata, 2007)


Hari ini Aceh adalah matahari harapan, seperti diimpikan dalam bait sajak di atas. Pagi dan matahari harapan itu menyingsing setelah MoU perdamaian di Helsinki antara GAM dengan RI menjelma menjadi UU Pemerintah Aceh (UU-PA). Dengan segala penyerderhanaan, secara politik UU-PA adalah tali ikat antara Aceh dengan RI saat ini. Sebagai tali ikat, UU-PA sekaligus adalah konstitusi Aceh dalam keindonesiaan.

Apa yang baru dari tali ikat itu setelah ia dioperasikan selama setahun? Adalah magma semangat yang dikandungnya. Karena UU-PA telah mengeser ke belakang pola pikir konsevatif dalam melihat dan mamahami hubungan Aceh dengan Indonesia. UUPA menancapkan sikap baru, yaitu Aceh bukan vazal atau daerah taklukan, melainkan tiang penyangga Indonesia.

Berbagai pihak, khususnya kaum tua baik di bandar Aceh maupun di Jakarta dalam setahun ini telah alfa dengan semangat zaman UU-PA itu. Maka taklah mengherankan, banyak kaum tua yang berupaya menyerut tiang penyangga itu kembali menjadi kerdil, dengan mendengungkan isu separatisme, Aceh tak bisa dipercaya, bahkan sampai pada ide melakukan penumpasan. Sepertinya, Aceh ingin tetap dijadikan vazal atau daerah taklukan.

Upaya menyerut Aceh sebagai tiang penyangga Indonesia itu juga buncah dengan mengemukan dalil-dalil hukum yang menyatakan tidak cukup kapasitas pemerintahan Aceh untuk mengurus kemaslahatan rakyat Aceh. Atau mengemukan Pemerintah Aceh dan DPRA tidak memiliki kewenangan yang berlebih dalam mengelola kehidupan sosial-politik dan ekonomi serta budaya. Dalam benak kaum tua yang mewakili pemikiran ini niat yang tersembunyi adalah melumpuhkan inisiatif berbagai komponen dalam masyarakat Aceh. Singkatnya, tunggulah Jakarta memberikan petuah atau petunjuk.

Hari ini, jiwa kaum tua yang bak pelayan yang membungkuk-bunkuk pada Jakarta itu telah berlalu. Aceh dengan UU PA-nya adalah Aceh di tangan kaum muda. Kaum muda Aceh dengan bekal MoU dan UU-PA harus jauh lebih percaya diri tinimbang generasi sebelumnya dalam mengelola dan memimpin Aceh. Kaum Muda Aceh dalam mengemban amanat rakyat yang tertuang dalam UU-PA, harus bak laksamana kapal besar yang percaya diri, berdiri kokoh dengan kepala tegak memimpin kapal Aceh baru ini ke tujuan utamanya yaitu Aceh nan Darussalam. Maka dari itu semangat membungkuk-bungkuk bukan eranya lagi.

Masalah yang harus diselesaikan dengan semangat kaum muda adalah pengimplementasian prinsip dari kebijakan desentralisasi (UU-PA). Inti dari prinsip desentralisasi adalah terjadinya pemberian kewenangan yang lebih besar pada daerah, baik dalam perencanaan pembangunan mau pun mengelola pertanggungjawaban dalam rangka debirokratisasi. Dengan pendekatan seperti itu, desentralisasi hanya bisa efektif ketika agen dan aktor (institusi dan orang) di tingkat lokal mampu meningkatkan kapasitas untuk perencanaan yang baik, cara pengambil keputusan yang tepat, dan berfungsinya manajemen yang secara formal mendukung mereka. Hal ini hanya mungkin dilakukan oleh para kaum muda, khususnya yang berjiwa kepemimpinan dan memiliki visi tentang Aceh masa kini dan masa depan.

Keefektifan sistem desentralisasi di Aceh saat ini sangat tergantung pada kemampuan, 1) mengidentifikasi masalah pembangunan dan peluang, 2) mengindetifikasi atau menciptakan kemungkinan pemecahan masalah pembangunan, 3) membuat keputusan dan pemecahan konflik, 4) memobilisasi sumberdaya, dan 5) mengelola program dan proyek pembangunan. Intinya adalah dibutuhkan kesesuaian antara kapasitas aktor yang mengimplementasikan pembangunan dengan rencana pembangunan. Maka dari itu jika kapasitas implementator lemah, maka tugas pertama yang harus dilakukan adalah membuat aktor menjadi kuat dan mampu untuk menjalankan program pembangunan.

Pertanyaan mendasar adalah proses rekrutment politik seperti apa di Aceh yang akan mampu meningkatkan kapasitas aktor implementator otonomi khusus Aceh saat ini? Untuk menjawab persoalan ini, rekrutmen politik di Aceh harus diberikan pintu sebesar-besarnya kepada masuknya kaum muda Aceh ke dalam berbagai instansi politik yang hasilnya dapat mempengaruhi jalan dan berfungsinya pemerintahan di Aceh. Hal ini bisa dicermati dari proses pembentukan dan penentuan pemimpin partai politik. Sesuai dengan sistem hukum Indonesia dan UU PA, partai politik merupakan organ pokok penyuplai anggota legislatif daerah dan pimpinan eksekutif di daerah (Gubernur dan wakilnya, Bupati dan wakilnya, Walikota dan wakilnya).

Partai politik di Aceh masih sebagian besar dikangkangi oleh kaum tua dengan semangat yang konservatif. Karenanya partai politik di Aceh harus diritool agar berjiwa muda. Lebih dari itu, semangat kaum muda lebih dibutuhkan untuk mengisi anggota Majelis Adat Aceh, Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan Badan Syariat di Aceh. Jika lembaga-lembaga ini berjalan dengan semangat kaum tua, maka ia tidak menyumbang pembaharuan, melainkan menjadi beban baru bagi Aceh Baru. Mengapa kaum muda? Karena dari pikiran merekalah inovasi, imajinasi dan visi baru bagi Aceh bisa dirancang. Bukan di tangan kaum tua yang telah berkarat.

Agar pagi dan matahari yang membawa harapan itu tidak lagi digayuti awan gelap kenestapaan dan kekecewaan, hari ini sepertinya Aceh memilih bersama dengan kaum muda. Semoga Aceh jaya. Bukankah menjadi Aceh, juga berarti menjadi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar