Senin, 05 Januari 2009

PR Indonesia Menyakut Timor Leste


Amiruddin al-Rahab

(Koran Tempo, 11 Oktober 2008)

Pemerintah Indonesia dan Timor Leste pada 15 Juli 2008 secara resmi menerima penyerahan laporan akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Berdasarkan laporan itu, beberapa agenda penting sepertinya harus dikerjakan oleh pemerintah Indonesia. KKP dalam laporannya menyimpulkan bahwa selama proses jajak pendapat pada 1999 di Timor Leste telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya, misalnya penyiksaan, penahanan ilegal, serta pemindahan paksa serta deportasi secara meluas dan sistematis.

Dalam seluruh rangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan itu, keterlibatan para personel TNI, Kepolisian RI, dan otoritas sipil bukan semata-mata individual, melainkan secara terlembaga, yang pada gilirannya mendatangkan tanggung jawab institusional bagi lembaga itu masing-masing dan negara Indonesia. Semua itu terjadi akibat adanya dukungan dan kerja sama yang konsisten dan sistematis antara individu-individu dalam lembaga itu dan kelompok-kelompok milisi.

Tanggung jawab institusional itu harus diambil pemerintah dengan dukungan Dewan Perwakilan Rakyat RI. Namun, pagi-pagi, DPR telah menolak hasil kerja KKP, seperti yang dikemukakan politikus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yaitu Permadi dan Sutradara Ginting, yang meminta Panglima TNI menolak seluruh isi laporan KKP tersebut (Tempo Interaktif, 14 Juli 2008). Ungkapan senada juga dikemukakan oleh Jefri Massi dari Fraksi Partai Damai Sejahtera dan anggota Komisi I DPR, Abdillah Toha (FPAN), yang menilai kerja KKP tersebut sangat tidak adil. Nada positif hanya datang dari Ketua Komisi I DPR Theo L. Sambuaga, yang menegaskan bahwa laporan KKP tersebut harus dihargai dan diterima dengan lapang dada (SH, 15 Juli 2008).

Meskipun demikian, ada nada yang sama antara DPR dan pemerintah bahwa laporan KKP merupakan akhir dari seluruh hiruk-pikuk permasalahan Timor Timur. Karena itu, Indonesia harus tutup buku dengan masalah Timor Timur. Hal itu tampak dari tidak diumumkannya secara terbuka laporan itu setelah sebulan lamanya. Pertanyaan seriusnya, betulkah laporan KKP itu adalah akhir? Jika disimak secara jeli seluruh paparan dan rekomendasi KKP, tampaknya bukanlah akhir, melainkan awal.

Bisa dikatakan awal, karena memberikan pintu masuk bagi pemerintah Indonesia untuk membenahi administrasi operasi militer di daerah konflik, membenahi struktur dan komando operasi dalam menghadapi konflik selain perang, membenahi administrasi pengadilan hak asasi manusia di Indonesia, sekaligus memberikan petunjuk jalan yang lebih baik untuk reformasi kultur dan struktur TNI.

Dengan mengambil langkah-langkah itu, pemerintah Indonesia akan bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan kepada seluruh rakyat Indonesia atas digunakannya anggaran negara dan kekuatan negara dalam rangkaian kekerasan di Timor Timur selama proses jajak pendapat berlangsung. Lebih ringkas lagi adalah pemerintah harus mempertanggungjawabkan kekalahan memalukan Indonesia di Timor Timur itu kepada segenap rakyat Indonesia. Hal inilah yang belum ditunaikan oleh pemerintah Indonesia selama sepuluh tahun ini.

Alat koreksi

KKP dalam kesimpulan eksekutifnya menyimpulkan bahwa "tindakan-tindakan kelembagaan yang mengakibatkan kekerasan pada 1999 merupakan puncak dari tindakan-tindakan perorangan yang terlibat dalam kekerasan tersebut. Terlebih lagi, pelaku individual dalam kekerasan terorganisasi dan bermotivasi politik seperti yang terjadi di Timor Timur pada 1999 bertindak dalam konteks institusional.

Seperti dicatat di atas, kekerasan pada 1999 tidak terjadi secara acak, terpisah satu sama lain, atau spontan. Sifatnya yang terorganisasi dan terkoordinasi menunjukkan bahwa tindakan-tindakan perorangan tertentu perlu dilihat dalam konteks institusional yang lebih luas, di mana mereka berada dalam perkembangan peristiwa tahun 1999. Konteks ini kemudian menjadi dasar bagi penilaian mengenai tanggung jawab institusional.

Dengan kesimpulan seperti di atas, KKP sesungguhnya telah menyatakan bahwa seluruh pelanggaran berat hak asasi yang terjadi di Timor Timur kala itu adalah tindakan yang terlembaga, yang pada gilirannya mendatangkan tanggung jawab institusional. Artinya, semua instansi kenegaraan, dari TNI, Polri, sampai pemerintah sipil (pemda saat itu) serta pemerintah pusat turut serta bertanggung jawab atas seluruh kekerasan yang terjadi.

Jika demikian kesimpulan KKP, ada demikian banyak masalah yang tersisa yang menjadi pekerjaan rumah Indonesia. Pekerjaan rumah itu ada dalam dua ruang. Pertama, adalah kewajiban pemerintah Indonesia kepada rakyat Timor Leste yang menjadi korban, yaitu menyusun tata laksana, bentuk, jenis, dan besaran kompensasi yang harus diberikan kepada korban dan keluarga korban. Agenda ini bisa dibicarakan lebih lanjut dengan pemerintah Timor Leste tentang perincian dan mekanismenya. Agenda ini sekaligus adalah bentuk tanggung jawab Indonesia kepada masyarakat Internasional.

Kedua, kewajiban pemerintah Indonesia kepada rakyat Indonesia sendiri. Yaitu, pertama, menyiapkan langkah-langkah mencegah dan memastikan bahwa pengalaman yang terjadi di Timor Leste pada 1999 tidak terulang lagi di daerah lain di masa datang. Hal ini penting karena Indonesia adalah negara yang selalu mengalami gejolak dalam hubungan pusat dan daerah.

Untuk agenda ini, yang perlu dilakukan segera adalah mengambil tindakan korektif kepada semua pihak yang diduga bertanggung jawab atas seluruh kekerasan itu. Sebab, para personel dan komandan yang aktif bertugas di Timor Timur pada 1999 itu sampai sekarang ini masih aktif sebagai pejabat TNI dan Polri.

Langkah korektif penting diambil pemerintah karena para perwira eks Timor Timur tersebut saat ini ada yang menjadi petinggi TNI dan Polri. Bahkan mantan Danrem Dili saat itu kini menjabat Panglima Kodam di Kalimantan. Sedangkan para perwira Polri di Dili masa itu saat ini ada yang menduduki jabatan strategis di Mabes Polri. Jika tindakan korektif tidak segera diambil oleh pemerintah, tak tertutup kemungkinan para eks perwira Timor Timur tersebut akan menjadi aib bagi TNI dan Polri sendiri di masa datang jika mereka terus mendapat promosi ke jenjang yang lebih tinggi.

Kedua, laporan KPP terang menyimpulkan bahwa milisi di Timor Timur faktual bentukan dan difasilitasi oleh TNI. Panglima TNI masa itu perlu dipanggil oleh DPR untuk dimintai keterangan lebih jauh tentang ini. Keterangan itu penting agar pemerintah bisa sesegera mungkin membubarkan dan melarang seluruh bentuk serta struktur milisi yang saat ini masih dibina oleh TNI. Khususnya di Aceh dan Papua, langkah ini mendesak. Jika koreksi atas hubungan milisi dan TNI ini tidak dilakukan, artinya pemerintah telah membiarkan malapetaka kemanusiaan di Timor Timur bisa terulang di Aceh atau Papua di masa datang.

Ketiga, pemerintah dalam rangka memperkuat dan memperbaiki mekanisme keadilan di pengadilan hak asasi manusia harus segera mengambil langkah-langkah perbaikan. Khususnya melatih para jaksa dan hakim yang menyidik dan memeriksa perkara pelanggaran berat hak asasi di pengadilan HAM.

Itulah beberapa agenda mendesak pemerintah Indonesia yang harus ditunaikannya sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada segenap rakyat Indonesia yang uang pajaknya telah dihamburkan untuk melakukan kejahatan di Timor Timur pada 1999. Dengan menunaikan agenda-agenda itu, pemerintah Indonesia berarti telah menempatkan hasil kerja KKP sebagai wadah koreksi ke dalam, sebagaimana niat awal pembentukannya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar