Jumat, 16 Januari 2009

HAM Catatan 10 Tahun Reformasi

Amiruddin al-Rahab
Koran Tempo, 8 Mei 2008

Niat yang dikandung oleh gerakan reformasi adalah kritik terhadap cara-cara penyelenggaraan tugas negara yang represif dan penuh pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim militer Orde Baru Soeharto. Dengan demikian, gerakan reformasi bertujuan me-retool seluruh perangkat rezim militer Orde Baru--baik struktur maupun kulturnya--menjadi perangkat negara dan pemerintahan yang demokratis.

Pada 24 April 2008, dalam sebuah apel di Jakarta, para jenderal purnawirawan menyatakan, "Apa yang dilakukan prajurit TNI/Polri di masa lalu adalah semata-mata tugas negara." Dengan posisi seperti itu, para jenderal purnawirawan tersebut menolak segala bentuk kegiatan Komnas HAM dan menolak menjadi pihak yang dimintai keterangan oleh Komnas HAM.

Penyelenggaraan "tugas negara" di masa lalu itulah yang hendak diuji ulang di masa reformasi ini. Betulkah seluruh tugas kenegaraan itu telah dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku ataukah hukum yang berlaku telah dijadikan kedok untuk menutupi segala macam bentuk kekejian yang melampaui rasa kemanusiaan? Di area inilah kewajiban konstitusional penyelidikan Komnas HAM berada.

Demi memeriksa dasar hukum dan moral politik dari semata-mata "tugas negara" itulah kemudian rezim-rezim pascareformasi dibekali oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Ketetapan MPR Nomor XVIII/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian ketetapan itu dikembangkan dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 dengan tujuan memberikan landasan konstitusional terhadap agenda-agenda penegakan hak asasi dan kehadiran Komnas HAM. Sejalan dengan itu, Komnas HAM juga diberi kewenangan sebagai penyelidik ketika Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sejak Komnas HAM diberi kewenangan sebagai penyelidik oleh UU Nomor 26 Tahun 2000, komisi ini telah mengusut dan memeriksa pelanggaran berat hak asasi yang terjadi di Timor Timur (1999) melalui pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya, diperiksa pula peristiwa Tanjungpriok (1984) melalui pengadilan yang sama. Berikutnya, dibentuk Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Makassar untuk memeriksa peristiwa Abepura (2000).

Namun, kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik itu tiba-tiba diragukan dan bahkan ditentang oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono ketika Komnas HAM melakukan serangkaian penyelidikan terhadap beberapa peristiwa lainnya, di antaranya Trisakti-Semanggi I dan II, peristiwa Mei 1998, peristiwa Wasior-Wamena (2001 dan 2003), dan peristiwa penghilangan paksa (1997). Belakangan ini Komnas HAM sedang melakukan penyelidikan peristiwa Talangsari (1989), peristiwa 1965, dan membentuk tim kajian untuk peristiwa DOM di Aceh dan DOM di Papua. Bahkan Menteri Pertahanan mengeluarkan pernyataan dan mengimbau agar para purnawirawan TNI-Polri tidak perlu memenuhi panggilan Komnas HAM.

Absennya kekuasaan

Sikap Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono tersebut kemudian menjadi salvo komando bagi para purnawirawan TNI-Polri yang secara terang-terangan menyatakan menolak segala kegiatan Komnas HAM pada 24 April 2008. Sikap Menteri Pertahanan dan para jenderal purnawirawan itu sampai hari ini tidak mendapat teguran dari presiden. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Komnas HAM, yang secara konstitusional ditugasi memajukan hak asasi manusia di Indonesia, kurang mendapat dukungan dari negara. Artinya, kekuasaan tidak hadir dalam menegakkan hak asasi manusia.

Akibat absennya kekuasaan dalam menegakkan keadilan atas terjadinya pelanggaran hak asasi, Komnas HAM menjadi seperti anak pungut dalam sistem kenegaraan rezim-rezim pascareformasi. Akibatnya, Komnas HAM dalam menjalankan kewajiban konstitusionalnya dimusuhi oleh lembaga negara lainnya, yaitu TNI dan Polri.

Pengabaian lain datang dari Jaksa Agung dengan menihilkan semua hasil penyelidikan Komnas HAM. Aksi penihilan itu tampak dari dikembalikannya tanpa alasan yang kuat empat berkas hasil penyelidikan Komnas HAM, yaitu penghilangan orang (1996-98), Wamena-Wasior Papua (2002-2003), Trisakti dan Semanggi I-II(1998-99), serta peristiwa Mei 1998 di Jakarta. Pengabaian lebih jauh terhadap Komnas datang dari Mahkamah Agung dengan puncaknya membebaskan Eurico Guterres atas permohonan peninjauan kembali yang diajukannya. Upaya pengabaian terhadap Komnas HAM telah dirintis jauh hari oleh para hakim di MA dengan membebaskan semua terdakwa dalam peristiwa Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura.

Makna dari aksi pengabaian yang beruntun itu adalah empat rezim era reformasi telah menempatkan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebagai peristiwa tanpa pelaku. Padahal korban-korban yang mengalami kerusakan fisik dan mental dari peristiwa itu nyata adanya, karena mereka semua punya nama dan alamat pula. Implikasi lainnya adalah Kepala Negara membiarkan seluruh perangkat negara menjalankan "tugas negara" tanpa koreksi sama sekali.
Agar komitmen Kepala Negara akan penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia tampak nyata, langkah terobosan dalam bidang hak asasi manusia harus ditempuh, yaitu memisahkan menteri hak asasi manusia dari menteri hukum. Ada beberapa alasan pemisahan diperlukan. Pertama, untuk menunjukkan adanya bobot perhatian dan sekaligus dukungan politik yang lebih serius terhadap kerja-kerja pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia dari Kepala Negara dan kabinet terhadap agenda keadilan dalam bidang HAM. Kehadiran menteri HAM yang berfokus membuat presiden bisa langsung mendapat masukan dari seorang menteri secara cepat dan valid. Dengan demikian, tidak ada lagi resistansi dari unsur negara dan pemerintahan serta kabinet terhadap kerja-kerja Komnas HAM, seperti yang ditunjukkan Menteri Juwono saat ini.

Kedua, hal itu menunjukkan adanya kepemimpinan dalam bidang hak asasi manusia. Menteri HAM atas nama presiden akan memimpin penyusunan agenda-agenda hak asasi berdasarkan program dan prioritas pemerintah. Artinya, menteri HAM akan menjadi dinamisator sekaligus penghubung antara kabinet, kepala negara, dan Komnas HAM. Sejurus dengan itu, menteri HAM akan berfungsi menjadi mediator bagi jajaran TNI, Jaksa Agung, Polri, dan MA dalam menyikapi langkah-langkah penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM. Dengan demikian, tidak akan ada lagi gap komunikasi antara Komnas HAM dan lembaga-lembaga negara lain seperti selama 10 tahun ini.

Kehadiran menteri hak asasi manusia juga akan memudahkan Komnas HAM menjalankan kewenangannya secara baik. Sebab, penghalang besar kerja Komnas HAM adalah tidak adanya pintu yang bisa mereka ketuk di jajaran eksekutif untuk mengkomunikasikan hasil kerja mereka. Sampai hari ini, belum pernah presiden mengundang Ketua Komnas HAM untuk hadir dalam sidang kabinet untuk memberikan pendapat atas langkah-langkah kebijakan pemerintah atau memberikan kesempatan kepada pemimpin Komnas menjelaskan langkah-langkah penyelidikan yang mereka lakukan.

Jika ditilik ulang secara seksama sikap Menteri Juwono dan sikap para jenderal purnawirawan TNI/Polri terhadap kewenangan konstitusional Komnas HAM, tampak tidak adanya kemampuan dari Menteri Hukum dan HAM saat ini untuk menjadi pemimpin dalam memajukan dan menegakkan hak asasi. Selain itu, menteri hukum dan HAM juga tidak bisa menjadi saluran informasi tentang agenda hak asasi kepada kepala negara dan kabinet serta lembaga TNI/Polri dan organisasi para purnawirawan.

Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sesuai dengan konstitusi harus hadir dalam penegakan hak asasi, khususnya dalam proses penyelidikan pelanggaran HAM di masa lalu. Hal itu diperlukan untuk menunjukkan bahwa rezim reformasi bukanlah kesinambungan dari struktur dan kultur rezim militer Orde Baru Soeharto. Penyelidikan terhadap pelanggaran HAM di masa lalu ditujukan untuk menarik ulang gerbong "tugas negara" yang telah diselewengkan agar kembali ke relnya. Untuk tujuan ini, para jenderal purnawirawan semestinya menunjukkan sikap Saptamarga dan Tribarata-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar