Selasa, 20 Januari 2009

Politik Muka Dua Jakarta terhadap Papua

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 17 Februari 2006


KEPADA para tokoh Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal masa jabatannya pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara "mendasar, menyeluruh, dan bermartabat." Niat Presiden itu, terasa kian menjauh jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai keberadaan Irian Jaya Barat (Irjabar) yang terus terkatung-katung.

Irjabar alih-alih menjadi solusi, malah menjadi beban karena menyedot energi Pemerintah Provinsi Papua. Sekaligus mengaduk emosi rakyat di Irjabar, karena mereka dibiarkan dalam ketidakpastian. Tentu ini juga berimplikasi terhadap kinerja kabuten dan kota yang dinyatakan masuk ke dalam wilayah Irjabar. Akibatnya Pemerintah Provinsi Irjabar dan Papua tidak bisa menjalankan kewenangannya secara maksimal sesuai UU No 1 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Politik Pemekaran

Setelah UU Otsus Papua disahkan oleh DPR RI bersama Presiden pada November 2001, menurut Richar Chauvel dan Ikrar Nusa Bakti dalam tulisannya The Papua Conflict: Jakarta's Perceptions and Policies (2004), Depdagri dan Lemhanas menyampaikan kepada Presiden bahwa tokoh-tokoh Papua di Jayapura tidak bisa dipercaya untuk menjalankan Otsus karena adanya "konspirasi politik Papua" yang kelak akan memperalat Otsus untuk tujuan lain. Bahkan elite-elite Papua, termasuk Gubernur J P Solossa dilihat sebagai bagian dari konspirasi itu dan bersimpatik pada gerakan separatis. Sejak itu Otsus dicoba dihambat jalanya.

Inpres No 1/2003 yang memerintahkan percepatan pembentukan Provinsi Irjabar dan Irjateng yang dikeluarkan Presiden Megawati adalah wujud dari ketidakpercayaan itu.

Setidaknya ada tiga motivasi politik pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua. Pertama, pemekaran akan mengisolasi dan memarji- nalkan kelompok-kelompok "oportunis dan tidak bertanggung jawab" yang selalu mengkampanyekan Papua Merdeka. Kedua, pemekaran akan mengerdilkan simbol-simbol politik pemersatu Papua, seperti Bendera Bintang Kejora, dan sentimen nasionalisme Papua serta identitas Papua. Ketiga, Papua yang terpecah ke dalam tiga provinsi, akan mudah diatur dari pada satu provinsi, karena akan terjadi rivalitas.

Memecah Papua menjadi tiga provinsi, diyakini Jakarta bisa menjadi rem bagi upaya-upaya gerakan kemerdekaan dan upaya untuk menggalang referendum di Papua. Sementara di provinsi baru, pemerintah pusat yakin akan bisa membentuk aliansi dan sekutu baru sebagai kaki tangan pusat untuk menghadapi gerakan di Jayapura.

Ditilik dari motivasi politik itu, kengototan Jakarta (Depdagri) saat ini dalam mempertahankan Irjabar motivasinya tidak berbeda dengan ketiga alasan yang menjadi dasar Presiden Megawati ketika mengeluarkan Inpres. Alasan pemekaran adalah untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan dan perbaikan pelayanan terhadap publik di Papua hanyalah kamuflase dan sekadar retorika.

Jika efektivitas dan perbaikan pelayanan kepada publik yang menjadi dasar, maka provinsi baru bukan jawaban bagi masalah Papua saat ini. Jawabannya ada dalam UU Otsus. Pemerintah Jakarta seharusnya mendorong dan memfasilitasi Pemerintah Provinsi Papua untuk mengimplementasikan Otsus tersebut. Baik dalam bentuk bantuan teknis mau pun finansial. Agenda pemerintah pusat seharusnya mengefektifkan kabupaten dan kota yang kini jumlahnya 29 di Papua, bukan pada provinsi. Sesuai dengan UU No 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah, titik tekan pemerintahan daerah saat ini berada di kabupten dan kota.

Muka Dua Jakarta

Jakarta yakin bahwa Irjabar adalah benteng NKRI di Papua. Maka dari itu pemerintah pusat tidak mau kehilangan sekutunya di Irjabar untuk menghadapi manuver Jayapura. Keyakinan ini didasari cara pandang yang melihat Jayapura sebagai pusat gerakan separatis. Oleh karena itu, untuk menandingi Jayapura dan sekaligus memperlemah posisi tawar politik Jayapura, pemerintah pusat menciptakan satu sentrum politik tandingan di Sorong. Dengan demikian, legitimasi Jayapura atas Papua pelan-pelan digerogoti, dengan cara membiarkan pertentangan antar elite Irjabar dan Papua terus terbuka.

Sementara kepada Jayapura, pemerintah pusat seakan mendorong implementasi Otsus dengan seringnya para pejabat dan tokoh Papua diundang oleh Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam ke Jakarta. Semua tokoh Papua itu diyakinkan bahwa Jakarta mendukung Otsus di Papua. Sementara tokoh- tokoh Irjabar juga terus didorong pejabat-pejabat Depdagri melakukan manuver politik dalam memperkokoh Irjabar, terutama agenda pilkada gubernur.

Konsekuensi dari politik muka dua Jakarta itu adalah terjadinya ketegangan antara Jayapura dan Manokwari. Dalam ketegangan itu seakan-akan pokok masalah berada di Jayapura, yang tidak rela adanya provinsi baru di Papua. Akibatnya, perang pernyataan di media massa membiak antara Ketua DPRD Irjabar yang ditimpali oleh Ketua KPU Irjabar dengan Ketua MRP dan DPRP di Jayapura. Ketika elite Papua sudah perang kata-kata, pemerintah pusat, seakan menjelma menjadi penengah yang baik. Di sinilah politik adu domba Jakarta mendapatkan tempatnya dalam politik lokal di Papua.

Jalan Keluar

Paling tidak ada dua jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah pusat harus percaya sepenuhnya kepada elite-elite Papua. Kepercayaan yang setengah-setengah dari Jakarta, bukan membuat Papua kian dekat, tetapi akan kian menjauh. Pengalaman empat tahun ini harus menjadi pelajaran bagi Jakarta dalam mengelola politik lokal Papua. Maka dari itu, politik muka dua Jakarta harus diakhiri sesegera mungkin, dengan cara menyerahkan sepenuhnya proses pembentukan provinsi baru di Papua melalui mekanisme MRP dan UU Otsus.

Kedua, elite-elite Papua baik di Jayapura maupun di Manokwari dan Sorong harus mulai menyadari, bahwa mereka hanya dijadikan pion oleh kepentingan Jakarta yang berupaya memperlemah kohesi sosial dan social capital Papua. Maka dari itu, para elite Papua (Irjabar dan Papua) jangan terus menari di gendang Jakarta, melainkan mulailah menabuh tifa sendiri disertai edaran sirihpinang untuk berembuk antar-orang Papua dalam menghadapi politik dua muka Jakarta.

Sepengetahuan penulis, elite-elite Papua tidak menolak pemekaran, asal pemekaran itu betul-betul beranjak dari kebutuhan dan sungguh-sungguh ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Papua, bukan bertujuan adu-domba. Hanya dengan mempertimbangkan hal ini, masalah Papua bisa diselesaikan secara "mendasar, menyeluruh, dan bermartabat" seperti yang dikehendaki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semoga! *

Penulis adalah inisiator Pokja Papua dan peneliti di ELSAM-Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar