Jumat, 23 Januari 2009

Pemekaran Daerah di Papua: Bertemunya Dua Kepentingan

Amiruddin al Rahab
(Peneliti Politik dan Hak Asasi Manusia di ELSAM)

Ada dua cara untuk memahami gelombang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua. Cara pertama adalah melihat gejala ini sebagai upaya ekploitasi kesempatan yang dibuka pemerintah pusat (desentralisasi) oleh tokoh-tokoh Papua. Penjelasannya adalah para tokoh-tokoh Papua melihat adanya peluang beranjak ke atas sejak dibenarkannya Papuanisasi birokrasi. Artinya, kini dan saat ini merupakan kesempatan terbesar dari tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di daerahnya sendiri. Meningkatnya ekploitasi kesempatan ini berbanding lurus dengan kian sempitnya peluang tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di daerah lain.

Cara kedua adalah melihat gejala itu sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk menghentikan laju kristalisasi identitas politik Papua. Penjelasannya adalah otoritas kenegaraan Indonesia ketakutan sejak Presidium Dewan Papua (PDP) mampu hadir sebagai wadah tandingan terkuat bagi otoritas pemerintah Indonesia (1999-2003) karena berhasil menghimpun dan mentransformasikan perlawanan Papua yang sporadis menjadi perlawanan yang terinstitusionalisasi. Pilihan yang tersedia bagi otoritas Indonesia dalam situasi seperti itu adalah melumpuhkan institusionalisasi tersebut dengan mengeksploitasi kecendrungan politik Papua pra-kehadiran PDP, yaitu politik dengan sentimen kewilayahan yang penuh warna etnik. Hasil akhirnya adalah Papua bukan lagi satu-kesatuan identitas politik, melainkan hanya kapling-kapling administrasi pemerintahan yang berhimpit dengan batas-batas wilayah suku.

Dari dua arus besar itu maknanya adalah sentralisasi kekuasaan di tangan birokrasi (khususnya Depdagri) tetap berjalan mulus di Papua. Sebab dari puluhan Kabupaten yang dibuat tidak ada perubahan apa pun dalam pengelolaan pemerintahan di Papua. Semuanya tetap menginduk kepada Mendagri. Hal ini terjadi karena di setiap Kabupaten yang dibentuk tidak ada persiapan sama sekali untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri. Contoh: Kabupaten Mimika yang berjalan tanpa DPRD selama 4 tahun. Artinya dalam artian apa pun pemerintahan di Kabupaten-Kabupaten baru itu di Papua sesungguhnya lumpuh. Yang ada hanyalah Jabatan Bupati saja.

Bagaimana memaknai bertemunya dua fenomena yang saling menguntungkan antara tokoh Papua dengan pemerintah pusat tersebut dalam masalah-masalah HAM di Papua? Pertama, kedua fenomena itu menggeser masalah ketidakadilan hubungan pusat dan daerah menjadi persoalan internal Papua sendiri yaitu antara pro-pemekaran atau tolak pemekaran. Artinya masalah pokok dalam kesenjanghubungan pusat dan daerah yang telah menyebabkan terjadinya rangkaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusian tersingkir dari arena politik dan digantikan oleh pertarungan antar tokoh Papua sendiri dalam memperebutkan restu Jakarta guna mendapat jabatan Bupati dan atau Gubernur. Artinya, masalah Papua saat ini hanya sekadar masalah perluasan birokrasi (khususnya birokrasi Depdagri). Istilah indah tapi menipu untuk ini adalah “pemekaran adalah untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat.”

Kedua, fenomena itu juga menyingkirkan isu keadilan dan hak asasi manusia dari arena politik. Khususnya isu pertanggunjawaban. Artinya pemerintah pusat langsung atau tidak langsung menjadikan jabatan-jabatan baru di Kabupaten-Kabupaten baru atau di Provinsi untuk meredam animo orang-orang menuntut pertanggungjawaban. Orang-orang kemudian lebih sibuk dan menghabiskan energi untuk merancang, mempersiapkan dan mendukung pembentukan Kabupaten atau Provinsi ketimbang mengadvokasi masalah HAM. Implikasinya seluruh kekeliruan dan kesalahan di masa lalu tidak dijadikan pelajaran untuk perbaikan ke depan. Dengan sendirinya masalah pokok di Papua kini wacananya telah bergeser dari masalah hubungan pusat dan daerah menjadi masalah pro atau kontra-pemekaran.

Dari gejala pemekaran seperti di atas, kesimpulan pertama yang dapat kita ambil adalah terjadinya kerjasama yang saling menguntungkan antara tokoh-tokoh Papua dengan kepentingan pusat. Siapa tokoh-tokoh Papua tersebut? Sebagian besar adalah elit-elit lama yang telah menjadi perpanjangan tangan birokrasi serta orang-orang baru yang telah menikmati jabatan dalam sepuluh tahun belakangan ini. Singkatnya mereka adalah bagian utuh dari kekuatan politik masa lalu yang memperbaharui diri dengan gaya politik baru. Sementara orang-orag pusatnya adalah tokoh-tokoh yang masih dengan paradigma lama dalam mengelolah Indonesia. Baik yang datang dari dalam birokrasi Depdagri sendiri mau pun yang datang dari partai-partai politik.

Kesimpulan kedua, hilangnya aktor-aktor politik baru dari panggung politik Papua. Aktor politik baru yang saya maksudkan adalah aktor politik yang menjadi tandingan bagi politik birokrasi lama yaitu PDP dan DAP. Ketika kekuatan baru ini kehilangan pengaruh, maka politik di Papua kembali ke kultur, strutur dan aktor lama. Implikasinya tidak ada kekuatan penyeimbang atau tandingan di Papua saat ini dalam menghadapi gelombang tsunami pemekaran ini. Dapat kita pastikan gelombang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua dalam tahun-tahun mendatang (khususnya setelah Pemilu) akan membesar. Seluruh pemekaran dan rencana pemekaran Kabupaten ditujukan untuk membentuk provisi baru.

Kesimpulan ketiga pemekaran kabupaten dan birokrasi menjadi bahaya besar bagi rakyat dan masa depan Papua sendiri. Bahaya pertama SDA Papua akan dikuras hanya untuk membiayai birokrasi dan jabatan. Anggaran Daerah hanya akan habis untuk biaya rutin kepegawaian. Kedua, Papua betul-betul akan menjadi kapling-kapling yang akan diperdagangkan oleh para war lord baik kepada investor mau pun pada patron politik di pusat. Ketiga, birokrasisasi akan menekan masyarakat sedemikian rupa sehingga menghilangkan ruang untuk menikmai demokrasi secara substantif.

Jika dibandingkan dengan Aceh, bahaya pemekaran di Aceh tidak seberbahaya di Papua. Sebab ada fakor determinan yang menentukan yaitu berhasilnya GAM mengambil alih sebagian kekuasaan baik di Provinsi mau pun di Kabupaten. Dari 21 Kabupaten/kota, GAM saat ini telah memenangi Pilkada di 9 Kabupaten sekaligus Provinsi. Selain itu partai-partai politik sentralis Jakarta mendapat lawan setimpal yaitu partai lokal. Dalam pemilu 2009 nanti besar kemungkinan partai lokal meraih suara 40% atau lebih di DPRA. Artinya modalitas untuk mendorong perubahan politik menjadi berbeda dari struktur dan kultur politik masa lalu di Aceh jauh lebih besar ketimbang di Papua.
Jika gerakan menuntut pembentukan Provinsi ALA-ABAS dicermati maka sangat tampak secara gamblang bahwa itu gerakan dari kekuatan masa lalu dan sangat elitis. Secara politik sulit berkembang karena sangat terbatas. Fenomena pilkada Aceh Selatan beberapa bulan lalu yang dimenangkan oleh calon Bupati dari GAM bisa jadi contoh.

Kembali ke pemekaran Papua, saat ini telah dan sedang terjadi kompetisi terbuka antara tokoh-tokoh Papua dalam memperebutkan kedudukan. Kompetisi terbuka ini membuat pertarungan politik meninggi dan tak tertutup kemungkinan keras ke depan. Dalam pertarungan itu terlibat sesama kekuatan lama, sebab kekuatan baru (PDP) tersingkir dari arena. Hal yang diperebutkan adalah melimpahnya uang di Papua yaitu sekitar Rp. 28 T pertahun dengan jumlah penduduk keseluruhan hanya 2,5 juta jiwa. Jadi politik Papua ke depan lebih diwarnai oleh persekongkolan antara para politisi lokal dengan para politisi di DPR-RI (DPP Partai) dengan calo para mantan petinggi militer atau birokrat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar