Selasa, 20 Januari 2009

MoU Helsinki: Kado bagi Rakyat Aceh

Amiruddin

Anggota Aceh Working Group, Kepala Divisi di Elsam, Jakarta
Koran Tempo, 18 Agustus 2005

Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia di Helsinki pantas disyukuri oleh rakyat di Aceh dan seluruh rakyat Indonesia. Perdamaian itu adalah kado yang berharga bagi 60 tahun Indonesia merdeka.

Draf MOU memperlihatkan bahwa kedua belah pihak serius, bahkan lebih serius daripada Jeda Kemanusiaan ataupun COHA. MOU dibuka dengan kalimat yang sungguh memperlihatkan komitmen. Rumusannya adalah "The government of Indonesia and Free Aceh Movement (GAM) confirm their commitment to a peaceful, comprehensive, and sustainable solution to the conflict in Aceh with dignity for all."

***

Bagaimana peaceful, comprehensive, and sustainable solution itu dirumuskan?

Pertama, pemerintahan Aceh akan mengemban "all sector public affair, which will be administered in conjunction with civil and judicial administration", kecuali hubungan luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, keadilan, dan kebebasan beragama.

Sementara itu, kerja sama internasional dalam bidang ekonomi bisa langsung dilakukan oleh Aceh pada masa datang tapi tetap berkonsultasi dengan pemerintah di Jakarta. Sementara itu, Wali Nanggroe dibentuk sebagai simbol budaya dan politik Aceh. Karena itu, Aceh diperbolehkan memiliki bendera, lambang, dan lagu sendiri. Untuk berpartisipasi dalam kerangka politik baru inilah peran partai politik lokal di Aceh menjadi penting.

Kedua, secara ekonomi Aceh akan menerima 70 persen dari seluruh hasil deposit hidrokarbon (minyak dan gas) dan kekayaan alam lainnya, baik di darat maupun di laut. Selain itu, Aceh bisa mengelola langsung semua pelabuhan laut dan udara serta melakukan perdagangan secara bebas di dalam dan ke luar Aceh. Untuk perkembangan ekonomi ini, perwakilan GAM akan ikut serta dalam Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh.

Ketiga, untuk pembaruan hukum di Aceh, pemerintah Indonesia menjanjikan, seluruh draf hukum nantinya akan berpedoman pada kovenan hak-hak sipil dan politik serta hak sosial-ekonomi dan budaya sebagaimana diakui PBB. Sedangkan pelanggaran hukum pidana oleh militer akan diperiksa di pengadilan umum. Sejalan dengan pembaruan hukum ini, agenda hak asasi manusia juga diperhatikan dengan akan dibentuknya pengadilan HAM sendiri di Aceh serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Yang keempat adalah amnesti dan reintegrasi. Kepada anggota GAM akan diberikan amnesti. Dengan demikian, seluruh hak mereka sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Sementara itu, untuk menjamin reintegrasi setelah amnesti, pemerintah Indonesia akan memberikan lahan pertanian dan pelatihan kerja. Para korban juga mendapatkan hak yang sama. Bahkan dinyatakan mantan anggota GAM yang memenuhi syarat bisa menjadi anggota TNI atau Polri organik di Aceh.

***

Empat hal yang telah dikemukakan di atas akan menjelma menjadi kenyataan jika jantung dari MOU ini berfungsi secara sehat. Jantung MOU itu adalah poin security arrangements (SA). Jika GAM dan pemerintah Indonesia tidak mampu mengendalikan sayap bersenjata mereka masing-masing, MOU ini dalam hitungan hari akan menemukan ajalnya.

Poin krusial dari SA adalah proses demiliterisasi dan decommissioning. Militerisasi di Aceh terjadi oleh dua faktor. Pertama, adanya gelar pasukan TNI dan Brimob Polri dalam jumlah besar yang disertai oleh pembentukan kelompok bersenjata lokal. Kedua, beredarnya senjata di tangan GAM dalam jumlah banyak, baik karena penyelundupan senjata ke Aceh maupun perdagangan senjata gelap.

Untuk itu, Aceh Monitoring Mission (AMM) harus memperhatikan proses decommissioning secara jeli. Terhadap GAM, karena tidak adanya register senjata GAM, AMM harus melakukan identifikasi dan verifikasi secara teliti atas semua senjata yang diserahkan GAM.

Sementara itu, terhadap TNI, AMM harus mengawasi secara ketat pergerakan dan penarikan pasukan nonorganik. Hal ini krusial karena dalam MOU (poin 4.8), TNI dinyatakan hanya melaporkan gerakan pasukan jika berjumlah satu peleton. Dengan ketentuan seperti ini tentu bisa saja pasukan bergerak dalam jumlah kecil, misalnya satu atau dua regu, untuk melakukan kekacauan.

Karena itu, AMM harus sejak awal melakukan identifikasi terhadap kelompok-kelompok pengacau (spoiler), baik dari GAM maupun TNI dan Brimob. Jika perlu, kalau kekacauan terjadi, AMM harus mengajak GAM dan TNI untuk bersama mengklarifikasi dan mengatasinya.

Akhirnya, ada tiga hal penting dalam masalah Aceh ini. Pertama, sebagian besar tuntutan yang selama ini diminta rakyat Aceh diberikan oleh pemerintah. MOU itu mengembalikan harkat dan martabat rakyat dan tokoh Aceh yang telah disia-siakan oleh para pemimpin politik selama ini. Sementara itu, martabat Indonesia juga terjaga dengan diakuinya Aceh oleh GAM sebagai bagian dari Indonesia. Tidak hanya itu, seluruh pembaruan di Aceh dinyatakan bertolak dari konstitusi Indonesia.

Kedua, kunci perdamaian di Aceh adalah mengendalikan senjata. Karena itu, AMM memiliki beban dan peran yang besar untuk menjamin senjata tidak menyalak. Dengan demikian, TNI dan GAM harus respek terhadap kerja AMM.

Ketiga, penandatanganan MOU bukan berarti konflik selesai. Konflik bersenjata telah beralih ke medan politik. Karena itu, langkah-langkah politik di Aceh sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan yang tumbuh di kedua pihak. Kapasitas institusi yang melakukan implementasi MOU ini harus sangat terjaga independensi dan kredibilitasnya. Di samping itu, rasa memiliki semua pihak terhadap isi MOU ini juga menjadi penting. Sebab, tanpa rasa memiliki yang luas di tengah masyarakat, perjanjian damai ini akan rapuh. Semoga perdamaian ini menjadi kado bagi seluruh rakyat Aceh ketika merayakan 60 tahun Indonesia merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar