Selasa, 20 Januari 2009

Ilusi Prinsip Suara Terbanyak

Amiruddin al-Rahab

Pemerhati politik dan hak asasi manusia di Jakarta

Koran TEMPO, 20 Jan 2009

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-IV/2008 yang menyatakan Pasal 214 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD disambut gembira oleh banyak kalangan karena membatalkan ketentuan penetapan calon terpilih melalui nomor urut. Konsekuensi dari putusan MK itu, suara terbanyak menjadi dasar penetapan calon terpilih. Tepuk tangan diberikan kepada MK atas putusannya itu. Putusan MK itu dilihat sebagai jalan tol bagi perwujudan kedaulatan rakyat karena akan menghasilkan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang bermutu dan dekat kepada rakyat. Sungguhkah demikian?

Sepintas lalu tampaknya memang demikian. Namun, jika ditilik lebih dalam dan direnungkan agak matang, keputusan itu jauh panggang dari api. Pertama, putusan MK itu akan mendegradasi fungsi partai politik. Partai politik yang berfungsi sebagai suprastruktur institusionalisasi proses politik akibat putusan MK itu mendadak sekadar menjadi administrator bagi orang seorang (calon legislator) untuk memasuki arena politik. Artinya, partai kehilangan kedaulatannya atas setiap calon legislator.

Dalam situasi seperti ini, fungsi partai politik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi luruh. Padahal pasal ini mewajibkan partai melakukan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat; penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan; menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; serta menjadi tempat partisipasi politik warga negara dan melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Ketika partai hanya berfungsi sebagai administrator, partai mudah dikuasai oleh orang seorang. Partai di masa datang betul-betul akan menjadi loket pembelian formulir bagi setiap orang yang hendak menjadi calon legislator. Secara substansi, partai akan berubah fungsi dari sarana mewujudkan visi dan misi yang dibimbing oleh ideologi dan disiplin partai menjadi sekadar tempat untuk orang seorang mengejar kekuasaan. Pada tahap ini partai sebagai substansi sebagaimana diatur oleh UU No. 2 Tahun 2008 telah mampus.

Kedua, ketika disiplin dan ideologi partai menjadi nomor kesekian, seluruh calon legislator yang didukung oleh setiap partai menjelma menjadi gerombolan. Sebab, setiap orang akan mengejar kepentingannya sendiri dan mengabaikan visi dan misi partai tempatnya bernaung.

Akibat dari putusan MK itu, partai politik tidak bisa lagi diharapkan menjadi pilar pendukung kehidupan berbangsa yang baik. Proses politik betul-betul menjelma menjadi "pasar bebas" politik yang ditentukan suplai dan demand-nya di dalam pasar. Artinya kader yang dibina dan dididik oleh partai politik serta setia pada visi dan misi partai akan mudah hilang di pasar karena dikalahkan oleh seorang petualang politik yang bisa membanjiri pasar dengan segala metode pemasaran.

Bukankah dalam proses pencalonan saat ini kita telah melihat bagaimana "pasar bebas politik" itu telah dipraktekkan. Bayangkan partai politik bisa dengan mudah menempatkan seseorang yang tidak pernah menjadi anggota partai itu menjadi calon legislator di daerah yang juga tidak dikenal oleh si calon tersebut. Semua itu dilakukan dengan motif bahwa si calon legislator dinilai populer di mata orang banyak dan mampu menambah pundi-pundi bos partai bukan karena ia memiliki kemampuan state craft yang andal.

Maka itu, putusan MK tersebut dalam jangka panjang akan menghancurkan partai politik. Dengan demikian upaya reformasi untuk menjadikan partai politik sebagai suprastruktur politik yang andal dalam menata dan mengisi infrastruktur politik menjadi tidak akan pernah terwujud. Karena itu, MK dengan keputusannya tersebut dapat dikatakan telah membunuh partai politik. Padahal kita baru 10 tahun ini memiliki partai politik secara sungguh-sungguh. Jika sudah seperti itu, lantas apa jalan keluar yang bisa diambil untuk menyelamatkan partai politik dari pembajakan para kutu loncat, pesohor, pesolek, dan bromocorah politik di segala level.

Tak ada jalan lain. Para pimpinan partai politik, pertama, harus menegakkan disiplin partai dengan ketat mengacu pada visi dan misi. Artinya sedari awal harus disadarkan kepada semua calon legislator bahwa sistem penetapan suara terbanyak bukanlah arena saling bunuh di dalam partai, melainkan peluang untuk meneguhkan kesetiaan visi dan misi serta ideologi kepada partai. Jika ini tidak dilakukan oleh setiap pimpinan partai, calon legislator akan membunuh partai dari dalam. Sebab, akan terjadi "homo homini lupus" sesama calon legislator. Implikasinya, ideologi, disiplin, visi, dan misi partai akan diabaikan demi mengejar kepentingan orang seorang. Di tataran inilah etika politik untuk kehidupan bersama yang lebih baik akan hancur.

Kedua, pimpinan partai harus sesegera mungkin menertibkan kampanye para calon legislator agar isu yang diusung tidak mencederai program partai. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya sabotase terhadap program partai oleh calon legislator partai itu sendiri demi mengejar suara untuk diri sendiri.Jika tidak, program partai tidak berguna karena tidak akan bisa jalan dan didukung oleh calon legislator sendiri. Dengan kata lain, para calon legislator akan masuk ke "lubang hitam" kebohongan dengan mengumbar segala janji kosong tanpa memperhitungkan program partai tempat dirinya berasal. Ketika itu terjadi, para calon legislator akan menggali kubur bagi partainya sendiri.

Ketiga, pimpinan partai harus menegakkan disiplin dalam kampanye para calon legislator untuk mencegah persaingan tidak sehat. Artinya ruang bagi semua calon legislator dalam kampanye harus disediakan oleh partai. Dengan demikian, calon legislator yang banyak uang namun belum berprestasi dalam partai bisa mendukung partai yang berprestasi tapi kekurangan uang. Itu diperlukan karena kampanye akan lebih banyak mengusung orang seorang ketimbang partai.

Mengapa itu semua harus dilakukan pimpinan partai politik? Tak lain dan tak bukan agar wajah dunia politik kita tidak menjadi kian suram akibat putusan MK yang kurang mempertimbangkan konsekuensi politik yang lebih jauh. Perlu diingat, proses persaingan pembentukan citra personal, para calon legislator akan mencari para pemodal untuk membiayai kampanye, iklan, dan mobilisasi dukungan. Jika terpilih, para calon legislator ini akan mengabdi kepada para pemodal itu. Gerbang korupsi menganga sejak dari sini.

Padahal, dalam kenyataannya, tidak ada korelasi antara jumlah pemilih yang diperoleh dan kualitas seseorang ketika dia menjadi anggota DPR dalam mewakili masyarakat. Maka dari itu nomor urut tidak bisa dilihat serta-merta sebagai pengkhianatan bagi kualitas kedaulatan rakyat. Nomor urut semestinya dilihat pula sebagai kemampuan partai dalam mendidik dan membentuk kader terbaiknya untuk dipilih oleh rakyat. Dengan nomor urut, sesungguhnya rakyat telah dipermudah untuk memilih karena partai yang baik tentu menempatkan kader terbaiknya di nomor jadi itu.

Karena itu, meyakini suara terbanyak akan mampu meningkatkan mutu anggota DPR sebagai wujud kedaulatan rakyat sesungguhnya adalah ilusi. Karena mempercayakan perbaikan proses dan produk politik kepada "invisible hand" dalam pasar bebas politik. MK sungguh telah menempatkan rakyat semata-mata menjadi konsumen dari "barang dagangan" dalam pasar politik tak bertuan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar