Kamis, 15 Januari 2009

Teror Cambuk di Serambi Mekkah

Amiruddin al Rahab
Penulis adalah Pemerhati Politik dan HAM di Aceh.
Sumber : Acehkita.com

Aceh memang selalu penuh kejutan. Setelah mengalami gelombang tsunami yang meluluh lantakan, kini muncul gelombang cambuk yang menggetarkan. Betapa tidak, karena pelaksanaan hukum cambuk dihadirkan bak sebuah pertunjukan yang memaklumatkan kepada seluruh Rakyat Aceh, bahwa rotan berdiameter 0,75 sentimeter dan panjang satu meter siap mendera pungung mereka kapan saja.

Tak ada yang meragukan keislaman Aceh, dari dulu hingga kini. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang hendak dituju dari pemberlakukan hukum cambuk itu? Tanpa jelas tujuannya maka segala bentuk hukum dengan selubung syariat Islam itu akan sia-sia. Apalagi hukum berdasarkan syariat itu diberlakukan di tengah centang-perenang administrasi kepemerintahan dan aparat hukum di Aceh saat ini. Bahkan administrator kepemerintahan Aceh di segala level ditengarai korup pula.

Dari dramaturgi hukum cambuk Aceh itu, bukanlah masalah prosedur atau substansi dari hukuman itu sesunguhnya yang menjadi masalah, melainkan konteks dan makna politiknya yang paling merisaukan.

Makna politik
Dari prosesi hukum cambuk di halaman Mesjid Agung Bireuen akhir Juni lalu itu, secara politik ada beberapa makna yang bisa dipetik. Pertama, elite politik Aceh ternyata tidak sensitif dalam menangkap isi hati rakyat Aceh. Ketidaksensitifan itu terlihat dari pilihan kebijakan yang mereka buat. Kebijakan yang dibuat bukan untuk mencari jalan keluar dari masalah riil yang dihadapi yaitu deraan kekerasan akibat operasi militer dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta kemiskinan kronis yang kian diperparah oleh bencana tsunami.

Singkat kata, kita tidak melihat adanya kebijakan yang cemerlang dari para elit Aceh baik di DPRD maupun di Pemprov NAD atau dari pemimpin politik daerah untuk mencari jalan keluar bagi korban kekerasan dan kemiskinan untuk mendapatkan hak-hak meraka. Akibatnya elite Aceh berputar-putar dipersoalan maisir (perjudian) dan mesum yang remeh-temeh.

Kebijakan mengurus soal remeh-temah ini dibungkus dengan slogan untuk menciptakan “rasa malu” dalam masyarakat Aceh (Republika, 24/6). Sepantasnya yang harus “malu” itu adalah para elite Aceh, karena mereka mempertontonkan ke depan khalayak Aceh dan nusantara betapa tidak becusnya mereka mengurus daerah, sehingga rakyat terperosok ke persoalan maisir dan mesum.

Para elite politik Aceh semestinya melakukan refleksi bahwa seluruh persoalan yang dihadapi rakyat Aceh kini—kecendrungan maisir atau mesum—terjadi karena kegagalan elite Aceh di segala level dalam membangun ekonomi rakyat di satu sisi, dan kegagalan mereka menjadi panutan moral di sisi lain. Contah nyatanya adalah begitu banyak elit Aceh yang ditengarai korup, satu diantaranya adalah Gubernur Aceh sendiri.

Kedua, hukum cambuk yang dipertontonkan itu mengonfirmasikan kepada kita bahwa kebijakan politik dan hukum yang dibuat di Jakarta atau Aceh ujung-ujung hanya menjadikan rakyat Aceh sebagai korban. Rakyat di sini adalah betul-betul rakyat Aceh yang hidupnya dibelit kemiskinan dan kesulitan hidup dengan ukuran apa pun. Singkatnya, rakyat seperti ini telah menjadi korban empat kali. Pertama, mereka menjadi korban dari keganasan operasi militer yang tiada henti sepanjang tahun 1989-1998.

Kedua, mereka kembali menjadi korban ketika krisis ekonomi melanda di tengah mengharu birunya reformasi 1999-2000. Ketiga, mereka kembali menjadi korban ketika keadaan tidak menentu antara operasi militer atau berunding dalam menyelesaikan persoalan Aceh sepanjang tahun 2000-2002. Keempat, menjadi korban dari situasi yang paling mengenaskan yaitu Darurat Militer dan Darurat Sipil sepanjang tahun 2003-2004. Hukuman cambuk atas nama syariat Islam ini menjadikan mereka korban untuk kelima kalinya.

Ketiga, pemberlakukan hukuman cambuk itu memperlihatkan watak asli dari politik lokal: diskriminasi berdasarkan kelas sosial. Sebab Qanun No 13 tentang maisir dan Qanun No 15 tentang mesum jika ditelaah secara sosiologis dan politis, yang mudah dijerat adalah mereka yang berada pada golongan ekonomi dan politik lemah yaitu rakyat jelata.

Dua tindak ini mudah terjadi di kalangan jelata karena kebodohan, ketidakberdayaan secara ekonomi, atau karena tidak tersedianya ruang untuk mereka mengekspresikan diri secara lebih baik. Sementara bagi mereka yang berada di kalangan elite dan berduit tentu hal itu bisa dengan mudah mereka cegah, karena mereka punya uang, punya kuasa dan punya pengaruh.

Makna politisnya Qanun sejenis ini bukan niat pembuatnya yang salah, melainkan realitas politiknya yang menunjukkan adanya dominasi kuasa. Artinya ketika para elite Aceh di DPRD dan jajaran teras Pemprov mengagas dan mensahkan kedua Qanun itu, mereka secara tidak langsung telah merefleksikan kepentingan kelompok elite. Kepentingan itu adalah pertama tetap mendominasi rakyat Aceh dan mempertahankan kepatuhan rakyat atas kuasa yang mereka genggam.

Kedua adalah untuk melindungi kuasa ditangan mereka dari gugatan rakyat yang menderita akibat berbagai kebijakan yang salah di era sebelumnya. Singkatnya, para elit memposisikan dirinya sebagai orang yang paling bermoral dan paling tahu apa yang tepat untuk rakyat, tanpa mereka memberikan ruang bagi rakyat itu untuk menyampaikan apa yang mereka perlukan.

Oleh karena itu bukan mengherankan, jika tidak ada satu pun Qanun yang dibuat untuk menghukum kejahatan yang lebih mungkin dilakukan oleh kelompok elite, seperti korupsi, persekongkolan jahat, pembalakan liar hutan, money politics, dan sogok. Atau Qanun untuk menghukum para penista kemanusian dan pelanggar HAM. Dengan demikian dapat dikatakan ketiadaan Qanun seperti itu merefleksikan elite Aceh telah melakukan pemilihan subjek dan objek hukum yang hendak ditujunya.

Teror
Dari pemilahan itu dapat dikatakan bahwa hukum cambuk di Aceh tak lebih dari sekedar teror kepada rakyat Aceh dari kalangan elitenya. Teror itu kian menjadi-jadi ketika pelaksanaan cambuk itu dibuat terbuka bagaikan kenduri yang disuguhkan kepada semua orang. Pesannya hanya satu, “kepada seluruh rakyat Aceh jangan coba-coba melakukan maisir atau mesum”. Jika melakukan hal tersebut, kelak algojo cambuk akan mendaratkan rotan bulat sepanjang satu meter itu ke pungung.

Pada gilirannya, secara politik hukuman cambuk ini akan membungkam rakyat Aceh untuk menyatakan aspirasi politik mereka, karena jiwa mereka telah terteror dan dipermalukan sedemikian rupa oleh elitenya sendiri. Dengan kata lain, jika elite Aceh tidak mengoreksi perlakuan hukum cambuk ini, maka rakyat Aceh akan lumpuh secara politik. Akibatnya jiwa rakyat Aceh kian terpuruk, dan mereka akan mudah menjadi korban untuk yang kesekian kalinya.

Kelumpuhan jiwa politik akibat hukum cambuk yang diberlakukan secara sembrono ini harus dicegah. Oleh karena itu elite Aceh di segala level harus dengan lapang hati untuk mengubahnya agar ia lebih manusiawi. Pemerintah pusat juga jangan membiarkan proses cambuk ini terus terjadi secara diskriminatif. Yang ingin saya kemukan adalah kebijakan yang dibuat oleh para elite Aceh semestinya lebih ditujukan untuk mendatangkan rasa percaya diri bagi rakyat Aceh untuk menghadapi belitan persoalan yang begitu berat saat ini.

Elite Aceh harus menghindari kebijakan yang dapat meruntuhkan kepercayaan diri atau kian memperlemah kemampuan lokal dalam merespon perubahan dan perkembangan pascatsunami dan darurat militer atau darurat sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar