Selasa, 20 Januari 2009

Narasi Pembunuhan Massal 1965-1966 (Menyambut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi)

Amiruddin al-Rahab
(Peneliti Senior Politik dan HAM di ELSAM)

Koran Tempo, 30 September 2004

"Di Jawa Timur atau Jawa Tengah banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI dibunuh, disembelih atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian. Tetapi, kemudian ini jenazah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, memelihara, orang ini dilarang."

Dengan geram Presiden melanjutkan.... "Saya tidak membicarakan motif daripada pembunuhan ini, itu lain perkara, tetapi ini jenazah diklelerkan. Malah orang mau mengurus jenazah diancam. Ada yang diklelerkan di pohon, ada yang diklelerkan di pinggir sungai, ada yang dicemplungkan di dalam sungai, dilemparkan bagai bangkai anjing yang sudah mati." (Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965--Pelengkap Nawaksara, 2003, halaman 294-306).

Pembunuhan massal di Jawa Timur dan Jawa Tengah dilihat Soekarno sebagai imbas dari pertikaian politik pascaperistiwa G-30-S. Untuk mengakhiri pembunuhan itu, Presiden Soekarno mengatakan, "Jangan gontok-gontokan." Pernyataan itu disampaikannya dalam amanatnya kepada HMI, 18 Desember 1965, di Istana Bogor, dan KAMI di Istora Senayan, 21 Desember 1965.

Terjadinya pembunuhan massal setelah peristiwa 30 September 1965 seperti yang dikeluhkan Presiden itu bukanlah isapan jempol. Oei Tjoe Tat dalam biografinya menegaskan, Fact Finding Commission yang dipimpinnya pada Desember 1965 melaporkan kepada Presiden Soekarno jumlah korban 78 ribu jiwa di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Robert Cribb dalam bukunya, The Indonesia Killing (2000), memperkirakan jumlah orang yang terbunuh sekitar 500 ribu jiwa. Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pernah pula pada 1966 menyatakan, jumlah korban 800 ribu jiwa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta 100 ribu jiwa di Bali. Bahkan Jenderal Sarwo Edi, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pernah menyatakan, jumlah korban pembunuhan setelah peristiwa 30 September 1965 berkisar sekitar 3 juta jiwa.

Menyambut kehadiran Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu, perlu kiranya diperhatikan kegeraman dan keprihatinan Presiden Soekarno tentang pembunuhan massal itu. Dari amanat Presiden Soekarno di atas, terlihat pembunuhan massal pada 1965-1966 merupakan peristiwa yang paling kuat mewakili apa yang disebut pelanggaran HAM yang berat, baik dari segi jumlah dan karakteristik korban, pola kekerasan, luas geografi kejadian, maupun jumlah dan keragaman status pelakunya.

Selain itu, seluruh pembunuhan itu bertali-temali dengan dendam kesumat serta berkelindan dengan persoalan sosial-politik, terutama pertarungan memperebutkan kekuasaan, baik di daerah maupun di pusat. Implikasi dari bertalitemalinya pembunuhan massal itu dengan perebutan kekuasaan adalah mengawetnya wacana antikomunisme yang melampaui akal sehat di satu sisi, sedangkan di sisi lain wacana komunisme menjadi legitimasi seluruh kekuasaan rezim Orde Baru selama 30 tahun.

KKR dalam memeriksa pembunuhan massal pada 1965-1966 sepertinya akan menemukan beberapa kesulitan. Kesulitan terjadi karena UU KKR diikat degan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menentukan dua bentuk pelanggaran HAM, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Untuk mengatasi itu, perlu diperhatikan, pertama, tidak tersedianya dokumen yang memadai tentang peristiwa pembunuhan itu. Dokumen Fact Finding Commission Oei Tjoe Tat saat ini tidak jelas rimbanya. Amanat Soekarno yang disinggung di awal tulisan ini adalah ucapan resmi yang bisa digunakan untuk memperkirakan besaran peristiwa pembunuhan itu. Berhubung tidak adanya dokumen, kesaksian lisan menjadi sumber pokok.

Orang-orang yang potensial menjadi saksi, baik korban atau pelaku, yang tersebar di 348 kabupaten dan kota, terutama di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Sebaran wilayah yang demikian itu tentu memerlukan dana dan tenaga yang luar biasa untuk menjangkaunya. Jika KKR tidak mampu menyediakan infrastruktur dan tenaga yang andal untuk menjangkau daerah-daerah itu, korban pembunuhan pada 1965-1966 akan menjadi korban kedua kalinya.

Kedua, kesulitan menempatkan narasi korban atau pelaku sebagai bukti yang kuat untuk menerangkan peristiwa. Seluruh karakteristik pembunuhan massal dan relasi kekerasan yang mendasarinya hanya mungkin didapat dalam memori individu per individu. Gabungan dari narasi individu-individu korban dan pelaku yang memiliki dimensi faktual dan kejiwaan itulah kebenaran tentang masa lalu itu. Karena narasi personal itu menjelaskan sikap, posisi, dan gejala kejiwaan korban dan pelaku dalam peristiwa kekerasan itu.

Narasi dari mereka yang terlibat (korban dan pelaku) adalah pintu utama untuk mengetahui bagaimana dan mengapa pembunuhan massal itu terjadi. Bertolak dari narasi yang saling mengoreksi itulah kemudian para pihak mampu beranjak dari posisinya semula. Untuk mengatasi kesulitan kedua ini, KKR harus mengesampingkan prosedur formal KUHAP seperti yang disyaratkan UU No. 26/2000. KKR harus memiliki prosedur acaranya sendiri.

Terakhir dan paling pokok adalah anggota KKR harus mampu menciptakan satu atmosfer yang sehat tentang pengusutan pembunuhan massal pada 1965-1966 ini. Diperlukan pengkondisian dan sosialisasi kepada semua pihak bahwa membuka peristiwa 1965 bukan berarti menghidupkan kembali partai komunis di Indonesia.

Dr. Budiawan dalam bukunya, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Antikomunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (2004), mengingatkan bahwa rekonsiliasi bukan melulu persoalan teknis hukum, melainkan upaya menciptakan budaya pengakuan dan kerelaan mengoreksi posisi pelaku dan korban menjadi sangat relevan.

Misi KKR-lah yang memproyeksikan korban atau pelaku menjadi sosok yang baru sama sekali. Jika KKR gagal menghadirkan atmosfer yang kondusif, berarti gagal membawa korban dan pelaku keluar dari posisinya semula. Akibatnya, pembunuhan massal pada 1965-1966 tetap menjadi misteri politik. Pada gilirannya wacana antikomunisme di Indonesia tetap menjadi arena "gontok-gontokan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar