Kamis, 15 Januari 2009

Komisi Kebenaran Aceh: Merajut Kebenaran dari Pengalaman Korban

Amiruddin al Rahab

Tabloid Beujroh Aceh. (www.htpp//beujroh.org)


Perdamaian telah bersemi di Aceh. Namun rasa duka belum lagi beranjak jauh. Terus mengapai-gapainya tangan duka itu, tak lain karena masih belum dijadikannya pengalaman dan keberadaan korban sebagai soko guru bagi pembentukan Aceh Baru. Bahkan keberadaan dan pengalaman korban dibantah sedemikian rupa. Sesungguhnya, korban dalam seluruh perseteruan bersenjata di masa lalu itu adalah pihak yang paling banyak menanggung beban dan paling tahu esensi dari konflik itu. Namun mengapa ketika fajar damai menyingsing di Aceh, mereka dikebelakangkan?

Korban kekerasan yang kini populer dengan sebutan korban pelanggaran HAM adalah kenyataan yang tak terbantah di Aceh. Korban dengan seluruh pengalamannya adalah bukti terkuat dari mengganasnya angkara murka yang dilakukan atas nama NKRI maupun atas nama perjuangan Aceh.

Maka dari itu rancang bangun Aceh Baru hendaknya didirikan di atas fondasi pengalaman para anak kandung Aceh yang telah menjadi korban tersebut. Tujuanya adalah agar tak ada satu pun tangan di Aceh tergoda untuk mengulangi seluruh kegetiran yang merendahkan harkat diri itu.

Itulah wajah Aceh saat ini. Damai yang berwajah kelabu. Ribuan orang atau keluarga masih bertanya-tanya, apa sesunguhnya yang menimpa mereka tempo hari itu? Apakah semua bentuk perlakuan kasar, cenderung di luar batas pri kemanusiaan yang mereka alami di masa lalu, adalah sebuah takdir nan tak bisa dielakkan, ataukah sebuah perpanjangan tangan dari ketidak mampuan pemimpin para serdadu untuk mengendalikan nafsu pasukannya?. Ataukah sebuah ambisi para Jenderal yang diperbudak oleh ilusinya sendiri tentang keutuhan wilayah yang disandarkan pada letupan dan hujaman senjata?.

Mengapa Korban Dilupakan

Mengapa korban kekerasan di dalam konflik bersenjata kerap dilupakan ketika perdamaian menjelang. Pertama, para pihak yang berkonflik belum siap menerima kenyataan sesunguhnya dari tindak-tanduk mereka ketika bertikai. Ketidak siapan itu, baik karena kedua pihak takut terkuaknya segala kebobrokan mereka akan menghancurkan mitos-mitos kepahlawanan yang telah mereka bangun di masa lalu, maupun karena tidak siap menerima betapa kejinya masing-masing pihak memperlakukan apa yang mereka sebut bagian dari mereka.

Kedua, para pihak ingin menyembunyikan wajah mereka yang paling buruk dengan menyembuyikan buktinya yang paling kuat, yaitu kesaksian korban. Hal ini terjadi karena elit yang berdamai sesunguhnya tidak menunjukkan konflik itu untuk kesejahteraan atau kemaslahatan rakyatnya, tetapi hanya sekedar untuk mencari kuasa dan harta. Ketika damai mendatangkan peralihan kuasa dan harta, maka nasib rakyat yang menjadi korban bukan menjadi urusan perdamaian.

Ketiga, masing-masing pihak memanipulasi perdamaian untuk memulai membiakkan benih-benih otoriterian baru. Artinya dengan membantah atau mengabaikan pengalaman korban, maka para elit tidak akan bisa dikoreksi kebijakan-kebjakannya pasca perdamaian. Dalam pemerintahan yang otoriter kesaksian korban bukan faktor yang penting untuk perbaikan, yang penting hanyalah sikap para petinggi.
Korban bukan Statistik

Perdamaian yang melupakan korban adalah perdamaian yang menempatkan korban sebagai benda mati. Sebagai benda mati, maka korban yang memiliki rasa, pertimbangan, kegetiran dan harapan dialihkan menjadi deret angka. Ketika menjadi deret angka, seluruh hal yang berdimensi manusia menjadi hilang. Korban kemudian hanya dipertimbangkan sebagai statistik yang dipilah-pilah tanpa mempertimbangkan keberadaannya.

Saat korban telah menjadi angka statistik, maka otomatis korban menjadi makhluk pasif. Korban bahkan menjadi makhluk pandir, serta tidak tahu kebutuhan dirinya sendiri. Serta-merta kemudian korban menjadi objek dari para petinggi yang merasa tahu segala hal tentang diri korban tanpa bertanya terhadap mereka. Kemudian korban hanya menjadi sebuah pengandaian.

Metode kerja BRA sepanjang tahun 2006 lalu, dalam hemat saya berkerja dalam tataran pikir seperti itu. Maka dari itu tidak mengherankan berbagai program BRA berantakan, dan korban terus merangsek ke BRA dengan tuntutan agar mereka diperlakukan sebagai subjek. Jika pun pengurus baru BRA berkehendak membuat database tunggal korban konflik tidak akan banyak menolong selama perspektif pandangnya tetap menempatkan korban sebagai objek benda mati.(Serambi, 28 Mei 2007)

Di KKR: Korban adalah Subjek

MoU Helsinsky semangatnya menempatkan korban sebagai subjek. Maka dari itu dalam agenda Hak Asasi Manusia (HAM), MoU menyatakan pengalaman dan kesaksian korban adalah dasar berpijak yang paling kuat bagi mewujudkan keadilan dalam Aceh Baru. Salah satu metode yang dipilih untuk menempatkan korban sebagai subjek itu adalah disepakatinya pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Semangat ini kemudian diperkuat oleh UUPA.

Mengapa Komisi Kebenaran? Perdamaian di Aceh, sesunguhnya adalah masa transisi, yaitu transisi dari konflik berenjata menuju kehidupan normal tanpa permusuhan. Maka dari itu transisi baru mulai di Aceh. Transisi itu belum berakhir, karena masalah mendasar dari masa lalu, yaitu masalah hak asasi manusia belum diungkap dan disepakai cara menyikapinya secara bersama. MoU, UU PA dan Pilkada semestinya menjadi tiang-tiang penyangga utama proses penyikapan terhadap masalah hak asasi manusia tersebut, karena didalam penyikapan terhadap persoalan hak asasi manusia itulah, transisi ke perdamaian yang lebih adil dapat diuji.

Konflik bersenjata yang panjang telah meruntuhkan kohesi sosial di Aceh. Hal itu secara tidak langsung terlihat dari terbelahnya persepsi masyarakat dalam melihat konflik tersebut, yaitu antara pendukung GAM dan pendukung Jakarta . Terbelahnya persepsi mengenai masa lalu itu, pada gilirannya telah menimbulkan relasi yang buruk dalam masyarakat Aceh masa kini. Akibat dari relasi yang buruk itu adalah rendahnya sikap saling percaya di tengah masyarakat. Rendahnya sikap saling percaya ini akan menjadi kendala politik paling serius bagi masa depan Aceh.

Demi pulihnya kepercayaan dan menjaga kelangsungan perdamaian kesaksian korban menjadi mutlak diperlukan. KKR akan menjadi sarana untuk kepercayaan itu tumbuh berdasarkan pengalaman dan kesaksian korban. Dengan demikian perdamaian dan keadilan tidak semu lagi.

Kebenaran melalui KKR akan mengembalikan kohesi sosial masyarakat dan kemudian mereduksi dendam dan kebencian. Sejalan dengan tumbuhnya kepercayaan di tengah masyarakat kredibilitas institusi-institusi pemerintah yang di masa lalu dipersepsi menjadi bagian dari kekerasan juga bisa dipulihkan.

Demi menjadikan korban sebagai subjek dalam merancang Aceh Baru, maka KKR peranannya ditempatkan sebagai investigator yang mengkaji fakta-fakta mengenai eksekusi-eksekusi yang tidak sah. Hal ini memerlukan pernyataan resmi mengenai berbagai peristiwa, fakta-fakta dan pengungkapan identitas-identitas yang bertanggungjawab, ( truth seeking dan telling ). Mediator yang berupaya mendorong dilakukannya dialog antar berbagai kelompok agar kepercayaan terbangun kembali. ( healing ).
Memfasilitasi Penyelesaian agar negosiasi bersifat mengikat. Hal ini mencakup masalah kompensasi dan rehabilitasi dan sekaligus penetapan disiplin baru bagi para pelaku ( reparation ). Bahkan Komisi juga membuka peluang bagi para pihak untuk maju ke meja hijau untuk mendapatkan keputusan Hakim atas meraka yang paling bertanggung jawab ( restoration of injustice )

Dengan demikian maka KKR akan menjadi sarana bagi negara untuk mengakui secara resmi seluruh pengalaman kekerasan yang dialami korban di masa lalu.
Selain itu, Komisi juga memungkinkan terjadinya katarsis secara terbuka tentang kekerasan dan penderitaan di masa lalu. Di samping itu pula, juga memberikan forum bagi korban dan kerabatnya menceritakan kisah mereka agar menjadi kesadaran dan pengakuan publik. Sejalan dengan ini, Komisi akan memberikan dasar formal bagi kompensasi dan sekaligus memberikan dasar bagi penuntutan bagi pelaku yang paling bertanggungjawab.

Dengan mempertimbangkan semua hal di atas, maka KKR akan menjadi perajut kebenaran di Aceh. Kebenaran yang dirajut dengan sarana KKR ini akan menjadi fondasi yang paling kuat bagi rancang bangun Aceh baru di masa datang, karena pengalaman mereka yang paling menderita menjadi dasar pengambilan kebijakan.

Gubernur Irwandi Yusuf dan jajarannya, saya rasa sangat mengerti soal ini. Bapak Gubernur saya rasa juga bukanlah orang yang melupakan korban. Entah kalau bapak gubernur lupa akan pengalaman dirinya sendiri. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar