Selasa, 20 Januari 2009

Otonomi Khusus, Masa Depan Papua?

Amiruddin al Rahab

Kompas,18 Februari 2006

Judul: Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI
Penulis: Dr. Jacobus Perviddya Solossa, Drs., Msi.
Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xxii + 257 halaman

Papua belakangan ini kembali mencuri perhatian publik nasional dan internasional. Baik karena terjadinya kelaparan massal di Yahokimo maupun karena terjadi penembakan terhadap warga sipil oleh anggota TNI di Paniai atau permintaan suaka politik ke Australia. Peristiwa itu memperlihatkan bahwa agenda perbaikan nasib rakyat Papua seperti pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia dan hukum telah terabaikan.

Selain permasalahan di atas, pemerintah juga sepertinya absen dalam menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur ekonomi rakyat sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Di saat makna Otsus Papua kian tidak menentu dan ketegangan antara Jakarta dan Jayapura terus berlanjut, kehadiran buku Dr Jacobus Perviddya Solossa (mantan Gubernur Papua) menjadi begitu penting.

Ada beberapa sumbangan berharga yang dikandung oleh buku ini. Pertama, buku yang berasal dari disertasi doktoral di Universitas Padjadjaran ini memaparkan latar belakang sosio-politik lahirnya kebijakan otsus. Secara sosio-politik, Solossa menguraikan bahwa otsus tidak jatuh dari langit, tetapi merefleksikan seluruh penderitaan orang Papua dan sekaligus harapan orang Papua untuk keluar dari kesulitan hidup akibat represifnya politik Indonesia di masa lalu.

Luapan kekecewaan yang bermuara pada tuntutan kemerdekaan di tahun 1998 membuat pemerintah pusat bingung dan kehilangan inisiatif. Inisiatif datang dari Papua, yaitu konsep otsus sebagai jalan keluar baru untuk mengatasi ketegangan yang kian meruncing. Ibarat dalam ikatan perkawinan yang sudah retak, otsus merupakan mahar baru untuk membenahi kerusakan. Harapan yang terkandung di dalamnya adalah adanya sikap saling koreksi dan saling percaya untuk membangun hubungan baru yang didasari cara dan nilai-nilai yang baru pula.

Latar sosio-politik ini kerap dilupakan saat ini. Akibatnya, kerap kali Jakarta melihat otonomi khusus Papua bukan sebagai langkah politik dan hukum untuk memperbaiki citra pemerintah Indonesia di mata rakyat Papua, tetapi semata-mata masalah administratif kepemerintahan. Cara pandangan yang sangat Jakarta sentris dan administratif inilah yang dikritik Solassa.

Persoalan mendasar

Menurut uraian dalam buku ini, ada dua persoalan mendasar yang akan bisa diatasi oleh otsus jika pemerintah pusat serius. Pertama, soal sejarah politik, yaitu terus berkembangnya pemahaman di kalangan orang Papua bahwa mereka telah menjadi bangsa dengan negara sendiri sebelum bergabung dengan Indonesia. Otsus akan menjadikan orang Papua tuan di atas tanahnya sendiri. Kedua, terjadinya diskriminasi terhadap orang asli Papua oleh birokrasi dan sistem ekonomi Indonesia yang terlihat dari mencoloknya perbedaan kondisi sosial-ekonomi Papua dengan daerah lainnya. Papua adalah salah satu penyumbang devisa terbesar terhadap Indonesia dari hasil kayu dan tambangnya. Otsus akan mengakhiri diskriminasi ini karena akan mendatangkan kesejahteraan.

Sumbangan kedua dari buku ini adalah tawaran konseptualnya. Otonomi khusus Papua dirancang sebagai otonomi dalam kerangka internal self determination (penentuan nasib sendiri secara internal). Artinya, status otonomi Papua bukan sekadar pendelegasian urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seperti otonomi yang dimiliki daerah lainnya di Indonesia, melainkan otonomi yang menjunjung tinggi bentuk self governing dalam kerangka negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan di Papua berada dalam kerangka pembagian kekuasaan antara Papua dan pemerintah pusat (asymmetries autonomy). Maka dari itu, dalam UU Otsus Papua ditekankan bahwa kewenangan Papua meliputi seluruh kewenangan publik, kecuali politik luar negeri, pertahanan, fiskal dan moneter, serta peradilan dan agama. Artinya, dengan otsus, pemerintah daerah Papua memiliki kewenangan penyelenggaraan kepemerintahan secara luas, tetapi ia tidak berdaulat sebagaimana layaknya sebuah negara. Dengan konseptual seperti ini, Solossa menekankan kepercayaan (trust) dari pusat terhadap Jayapura adalah kuncinya (hal 53-55).

Singkat kata, dengan otsus, Papua bisa dikatakan nation without state, seperti Bouganville di Papua Niugini atau Quebec di Kanada. Konsepsi otonomi seperti inilah yang tak pernah dipahami oleh Jakarta dalam melihat Otsus Papua.

Sumbangan ketiga dari buku ini adalah berhasil menunjukkan secara kualitatif dan kuantitaf harapan orang Papua terhadap otsus. Secara kuantitatif, Solossa dengan sampel yang representatif dari seluruh lapisan dan strata masyarakat Papua mampu menunjukkan tingginya harapan orang Papua terhadap otsus untuk memperbaiki kondisi hidup, baik secara sosial-ekonomi, hak asasi manusia, maupun sosial-politik. Sedangkan secara kualitatif, buku ini berhasil menjaring pandangan-pandangan dan harapan-harapan orang Papua dari berbagai strata masyarakat Papua.

Harapan itu terbangun karena diinstitusionalisasikannya harapan orang Papua asli menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, dibentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi dan tempat berpartisipasinya orang asli Papua dalam merumuskan kebijakan di Papua, dan diperbesarnya anggaran untuk Papua dari hasil sumber daya alam Papua. Selain itu, harapan juga tumbuh karena diakuinya simbol-simbol identitas kepapuaan, seperti bendera Bintang Kejora, lagu dan nama Papua (hal 120-121).

Sumbangan keempat adalah konsep pemekaran provinsi Papua. Dalam hal ini, Solossa memperlihatkan karakter seorang birokrat dan politisi yang hati-hati dan visioner. Pemekaran Papua, menurut Solossa, harus tidak menghilangkan karakter asli Papua sebagai rumpun Melanesia. Maka dari itu, ia menawarkan satu Uni-Papua yang terdiri dari beberapa provinsiĆ¢€”paling tidak limaĆ¢€”yang dipimpin oleh seorang gubernur senior. Setiap provinsi itu birokrasinya harus ramping sehingga mampu melayani masyarakat. Sementara kekayaan sumber daya alam diperuntukkan kepada seluruh Papua yang dibagi secara proporsional (hal 198-206). Hal ini dikemukakan karena Solossa melihat Jakarta tidak memiliki visi yang jauh ke depan dalam membangun Papua.

Oleh sebab itu, Solossa menyatakan otsus adalah navigasi orang Papua untuk menata diri ke masa depan. Sejalan dengan itu, dengan otsus, pemerintah pusat juga mengakui kesalahan dan kekeliruannya terhadap Papua selama ini. Dengan adanya pengakuan itu, otsus bisa dikatakan sebagai capaian politik tertinggi Papua dalam melindungi serta membela kepentingan ekonomi dan politiknya dalam negara Indonesia (hal 25-26).

Tetap tanda tanya

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan buku ini. Selintas buku ini bisa diasumsikan sekadar pembenaran terhadap tugas-tugas Solossa dalam menjalankan kewajibannya sebagai Gubernur Papua. Selain itu, bisa pula dilihat sebagai alat propaganda Solossa dalam mencalonkan diri menjadi gubernur untuk masa yang kedua.

Di samping itu, buku ini kurang mengeksplorasi dinamika politik di luar proses formal dari perumusan UU Otsus itu. Mulai dari munculnya gerakan kemerdekaan yang begitu masif di Papua sampai penolakan-penolakan dari pembesar di Jakarta. Padahal, tantangan terhadap otsus dari Papua dan Jakarta tetap ada sampai saat ini. Kekurangan lain adalah tidak dielaborasinya otsus sebagai langkah untuk mendemokratiskan dan merestrukturisasi politik lokal Papua. Solossa seakan lupa bahwa belum maksimalnya otsus bukan saja karena adanya ketegangan dengan Jakarta, tetapi juga disebabkan oleh mesin dan infrastruktur politik yang menjalankan otsus itu tetap mesin politik lama. Artinya, selama otsus konfigurasi politik dan elite politik di Papua masih mesin politik era otoriter Orde Baru.

Ibarat pepatah lama, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Dengan adanya buku ini, kepergian Solossa yang begitu mendadak tidak membuat namanya hilang begitu saja, ia akan tetap dikenang. Singkatnya, jika berhasil diimplementasikan, Otonomi Khusus Papua merupakan warisan terbesar dari Solossa untuk masa depan Papua. Artinya, masa depan orang Papua dalam otsus masih tetap dalam tanda tanya.

Karena itu, buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi birokrat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para calon gubernur serta bupati yang akan ikut pemilihan kepala daerah langsung di Papua. Selain itu, para pemuda, mahasiswa, serta kaum intelektual Papua dan luar Papua yang memerhatikan Papua, tanpa membaca buku ini, pengetahuan kontemporer mereka mengenai Papua akan terasa hambar. Selamat membaca.

Amiruddin al Rahab, Inisiator Pokja Papua dan Peneliti di Elsam-Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar