Jumat, 16 Januari 2009

Aceh Inspirasi Nusantara

Amiruddin al Rahab
(Kata Pengantar pada buku Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh (3), Tifa & LSPP, Jakarta, 2008.


Berpuluh tahun sudah Aceh dijuluki sebagai Serambi Mekah. Jika Aceh kita lihat sebagai sebuah produk, julukan Serambi Mekah itu sesunguhnya adalah merek atau penanda Aceh. Dengan merek seperti itu kesan yang hendak ditampilkan adalah Aceh akan menjadi wilayah yang penuh damai dan suci, atau tempat orang-orang menggapai kesempurnaan batin dan lahir.

Namun merek Serambi Mekah itu bagi Aceh yang telah didera nestapa begitu panjang terasa telah compang-camping, karena tak menunjukan tuahnya. Sebab pemerintah pusat bersama bala serdadunya selama DOM dan DM telah mencampakan merek Serambi Mekah itu ke comberan kemudian menganti paksa dengan merek Aceh Pemberontak atau Aceh Separatis. Tak mengherankan kemudian Aceh lebih dicitrakan anyir darah, salakan senjata, penculikan, dan mayat menggelimpang di jalanan.

Melihat perkembangan sekarang ini, di mana perdamaian menjadi kata kunci bahkan mungkin kata sakti yang paling banyak mendatangkan harapan baru, merek Aceh daerah konflik harusnya telah kita tinggalkan. Sebab merek beraroma anyir darah ini jika terus terpasang akan memerangkap kita terus-menerus dalam kerangkeng ketakutan dan ketidakpercayaan diri. Akibatnya semua kreasi dan kreativitas kita akan terpasung oleh ketakutan tersebut. Tentu hubungan atau relasi dengan yang di luar Aceh pun akan tersusun berdasarkan ketakutan itu. Implikasi seriusnya adalah seluruh daya pikir dan denyut masyarakat serta relasi sosial Aceh akan ditata berdasarkan ketakutan dan sak wasangka yang bernama konflik.

Kita tentu tak mau terus-menerus dalam kerangkeng ketakutan tersebut. Oleh karena itu memereki ulang (rebranding) Aceh menjadi penting saat ini agar semangat perdamaian yang menjadi roh dari geliat sosial-politik dan ekonomi-budaya masyarakat Aceh berkembang. Baik ke dalam maupun ke luar. Dengan ruh perdamaian Aceh juga akan mudah membangun relasi dengan dunia lain. Oleh karena itu merek baru Aceh adalah Inspirasi Nusantara.

Mengapa Aceh Inspirasi Nusantara harus dipilih menjadi merek Aceh? Sejarah Aceh dari masa kolonial sampai masa global ini sesunguhnya telah memberikan inspirasi bagi perjungan melawan kekejian kekuasaan yang tiran atau ketidakadilan. Bahkan setelah digempur tsunami pun Aceh tetap menjadi inspirasi, yaitu inspirasi bagi muncul dan tumbuhnya solidaritas kemanusian yang tanpa sekat. MoU Helsinki yang meneguhkan perdamaian di Aceh juga inspirasi besar bagi rakyat Republik Indonesia untuk menumbuhkan solidaritas. Selain itu proses dan hasil MoU juga menunjukan sebuah kualitas intelektual yang wahid dalam menyelesaikan masalah politik, yaitu berunding.

Dalam menuliskan kata pengantar ini saya membaca tulisan-tulisan Otto Syamsuddin Ishak sebagai inspirasi baru. Artinya saya menempatkan pikiran-pikiran Otto bukan sekedar catatan akan peristiwa melainkan menjadikan catatan itu sebagai inspirasi baru untuk menata Aceh sekarang dan masa datang. Dalam semangat seperti itu Aceh akan menjadi inspirasi bagi semua orang di luar Aceh dan di dalam Aceh sendiri.

*****

Aceh saat ini adalah inspirasi dalam kancah politik Republik Indonesia. Hal itu telah mewujud sejak era kolonial sampai era global ini. Keberanian dan kegigihan Aceh di masa kolonial telah menjadi inspirasi bagi perjuangan anti kolonial di seantero nusantara. Bahkan Republik Indonesia hasil proklamsi 17 Agustus 1945 berhutang semangat dan material pada Aceh. Pada gilirannya Aceh menjadi tiang penyangga republik muda itu untuk mewujud.

Di era global ini Aceh menghadirkan kembali inspirasi baru. Sebab Aceh telah mempertontonkan sebuah ketekunan dan keyakinan akan pendirian dalam melawan kekuasaan yang tiran dari republik yang ikut ia bidani hadirnya dahulu. Saya rasa perjuangan Aceh mengajarkan kepada siapa saja, bahwa kedaulatan daerah (provinsi) hanya bisa direbut jika rakyat daerah itu tekun dalam memperjuangkan prinsipnya. Meski pun dalam perjuangan itu sekian banyak penderitaan dan onak duri menghadangnya. Paling tidak harga diri tidak pernah digadaikan untuk mendapatkan pengakuan. Pelajaran utamanya adalah Aceh bukan wilayah taklukan para petinggi politik dan militer Jakarta, melainkan tetap menjadi Indonesia dalam wajah yang lain. Meski pun di dalam Aceh tetap ada jonggos Jakarta yang membangun Indonesia yang berwatak tiran.

Inspirasi baru itu tampak pada terjadinya pembaharuan luar biasa dalam kancah politik Indonesia, yaitu orang seorang bisa maju dalam pemilihan kepala daerah tanpa melalui kendaraan partai politik. Bukan itu saja, Aceh juga menjadi pelopor dalam pembentukan partai politik dalam teritorial provinsi.

Semua itu tentu bermula dari berhasilnya Aceh melakukan terobosan dalam menyelesaikan masalah pusat dan daerah. Terobosan itu adalah dibukanya meja perundingan untuk mencari jalan keluar dari sebuah masalah politik. Bagi Indonesia berunding dalam menyelesaikan masalah pusat dan daerah adalah hal yang baru. Sejak Indonesia merdeka tidak pernah pemerintah pusat membuka meja perundingan untuk mencari jalan keluar bagi masalah pusat dan daerah. Semua pergolakan daerah diselesaikan dengan cara main hantam melalui pasukan bala tentara.

Ketika meja perundingan dibuka, tentu ujungnya adalah langkah-langkah perdamaian. Memasuki tahun 2008 ini perdamaian Aceh telah berusia dua tahun. Selama dua tahun ini, dari Aceh kita tidak lagi menerima berita duka layaknya di masa perang. Seturut perkembangan perdamaian, dari Aceh paling banyak muncul adalah berita harapan akan adanya perbaikan.

Harapan yang memuncak, pada galibnya adalah suatu upaya untuk mempertahankan perdamaian. Ketika perdamaian tidak menghadirkan harapan, maka perdamaian itu akan mudah pupus. Di Aceh, harapan itu masih bergelora. Oleh karena itu perdamaian di Aceh masih memiliki nafas panjang.

Oleh karena ini bukan lagi saatnya kita memperbincangkan soal konflik di Aceh. Semua energi harus dipusatkan pada upaya menjaga perdamaian dan mencari pilar-pilar penopang perdamaian itu agar ia mampu bertahan dalam jangka panjang. Jika pun membicarakan mengenai penyelesaian masalah pelanggaran HAM dan pemenuhan hak-hak korban kekerasan, pembicaraan ditempatkan dalam kerangka memperkuat tiang perdamaian.

Agar perdamaian itu berumur panjang tentu semua pengalaman di masa lalu perlu dikonstruksi ulang agar bisa dipakai untuk sebuah konstruksi baru Aceh. Dalam keperluan itu sejarah dan memori memiliki tempatnya sendiri. Orang yang lupa akan sejarah dan memori akan mudah melumpuhkan perdamaian karena terlalu percaya diri, yang pada ujungnya lupa diri. Meskipun demikian sejarah tak bisa disusun berdasarkan fantasi atau desas-desus. Sejarah harus disusun berdasarkan fakta-fakta dan keterangan yang valid agar kita tak tersesat di dalammnya.

Kumpulan tulisan Otto ini merupakan informasi sejarah yang penting, sebab ia menghadirkan sebuah sikap terhadap suatu peristiwa yang terjadi. Artinya jarak antara peristiwa dan rekaman yang ditulis Otto begitu dekat. Dengan kata lain Otto dengan tulisan-tulisannya hadir sebagai sejarawan yang menulis masa kini dengan proyeksi ke masa depan, tetapi bertumpu kukuh pada masa lalu. Jika dibaca dalam kekinian, tulisan-tulisan itu terasa seperti tulisan sejarah yang hidup, sebab ia berhasil memadu antara memori, fakta, dan pengalaman nyata. Itulah keistimewaan Otto.

******

Dalam perkembangan kekinian, khususnya sepuluh tahun setelah rezim militer Soeharto redup, Aceh bukan lagi sekedar hamparan tanah yang datar seperti peta di dinding sekolah menengah atau sekedar sebutan etnis. Sejak tahun 1998 dan terlebih lagi setelah MoU di Helsinki dihasilkan Aceh telah menjelma menjadi sebuah identitas politik. Artinya rasa keAcehan saat ini jauh lebih melebar dan mendalam ketimbang sebelum tahun 1998.

Manuel Castells dalam bukunya The Power of Identity menyatakan identitas politik adalah identitas yang tidak semata-mata disandarkan pada asal-usul, melainkan disandarkan pada perlawanan terhadap yang menindas dan keterasingan, serta marah terhadap ketidakadilan politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian identias politik adalah identitas yang dikonstruksi berdasarkan sejarah, geografi, dan kesamaan biologis, serta melalui institusi baru atau insitusi lama yang dihidupkan kembali, juga melalui memori kolektif atau fantasi personal. Oleh karena itu proses pembentukan identitas politik penuh dengan rangkaian tindakan perlawanan. GAM adalah simbolisasi dan institusionalisasi dari identitas politik ini. Akibatnya, Aceh yang tadinya sekedar etnis dan kartografis telah bertansformasi menjadi identitas politik. Perubahan Aceh yang menjelma menjadi identitas politik yang telah meluas dan mendalam itu, telah membuat Indonesia tidak punya pilihan lain selain beranjak ke meja runding.

Identitas politik pada galibnya adalah upaya untuk membangun subjek politik. Jika kita simak MoU Helsinki secara cermat, tampak bahwa GAM membawa rakyat Aceh bermetamorfosis dari sekedar objek elit menjadi subjek politik yang akan mampu menjungkirbalikkan tatanan lama menuju proyek bersama menuju kehidupan sosial-politik baru. Hal ini pulalah kemudian yang mendapat penegasan dalam UU PA, yaitu rakyat Aceh menjadi subjek dalam perubahan yang akan terjadi di Aceh. Salah satu jalur utamanya adalah diperbolehkan mendirikan partai politik di ruang provinsi dan dijamain hak setiap orang maju dalam tarung politik pilkada.

Ketika Aceh telah menjadi identitas politik, tentu selalu ada kekuatan politik lain yang hendak menghancurkannya. Salah satu cara penghancuran itu adalah mengajak rakyat Aceh menempuh langkah surut untuk kembali sekedar menjadi sekedar anggota dari kumpulan etnis. Cara paling kasar untuk menyeret rakyat Aceh sekedar menjadi puak-puak etnis itu adalah dengan cara menggadang-gadang pembentukan provinsi baru dan kabupaten baru di Aceh dengan dalil demi kesejahteraan. Jika itu terjadi Aceh betul-betul mundur 400 tahun. Padahal orang pandir pun tahu, bahwa antara kesejahteraan tidak ada korelasinya dengan adanya provinsi baru. Yang ada korelasinya adalah provinsi baru akan mencuri lebih banyak anggaran untuk rakyat demi membiayai para pencatut politik dan bromocorah kekuasaan yang akan mengangkangi berbagai jabatan politik dan birokrasi serta anggaran.

Berkat terbangunnya Aceh menjadi identitas politik, maka semua pihak di Aceh didorong untuk masuk kedalam arena transisi. Yaitu satu masa di mana kekuatan politik lama belum lagi hancur, tetapi kekuatan politik baru belum lagi menunjukkan wujud utuhnya dalam menyangga terus-menerus Aceh yang telah menjelma menjadi identitas politik . Inilah situasi Aceh saat ini.

Dalam situasi transisi ini Aceh berada dalam masa yang paling kritis yaitu peluang untuk maju dan hancur sama peluangnya. Artinya pertarungan politik begitu terbuka antara kekuatan politik yang selama puluhan tahun disingkirkan secara paksa dari ruang publik dengan kekuatan lama yang mendominasi seluruh ruang politik Aceh dengan kekerasan di bawah naungan ketiak tentara. Dalam masa transisi ini pula orang mudah bersalin rupa, jika di masa lalu menjadi bagian dari kekejian, kini bisa menjadi pihak yang paling depan memperjuangan pembaharuan. Sebaliknya pihak-pihak yang tadinya martir perjuangan, bisa mudah meluncur menjadi bromocorah atau calo politik karena tak kuat menahan nafsu untuk menggengam uang dan kekuasaan. Singkatnya masa transisi adalah masa ujian yang paling berat bagi kekuatan pembaharuan di Aceh.

Hanya yang kuat menahan diri dari godaan uang dan kekuasaan yang akan tetap menjadi pemimpin yang mendatangkan harapan. Mereka yang lemah akan cepat ditinggalkan. Aceh telah berkali-kali membuktikan hal ini.

Karena situasi yang kritis seperti itulah tulisan-tulisan Otto menjadi relevan kehadirannya sekarang ini. Sebab semua tulisan itu bisa dijadikan cermin di muka untuk melihat manis atau bopengnya wajah Aceh dan pemimpin Aceh. Apapun kelas pemimpin tersebut, apakah kelas LSM-an atau kelas partai-partai-an. Apalagi mereka yang mengaku dirinya intelektual.

******

Artikel-artikel yang terhimpun dalam buku ini pada awalnya tentu bukan diniatkan sebagai suara publik Aceh, melainkan sebagai respon individual Otto atas sebuah fenomena atau persaoalan yang menjadi perhatian orang banyak.

Ignas Kleden pernah mengemukakan bahwa seorang yang sensitif secara sosial tentu akan selalu tergoda untuk menyatakan sikapnya tentang suatu hal yang terjadi atau yang mendapat perhatian orang banyak. Maka dari itu setiap artikel yang dipublikasikan di media massa tidak dapat dikategorikan sebagai fokus atau pusat perhatian intelektual seorang penulis, tetapi lebih merupakan refleksi dari situasi saat tulisan itu dibuat dan alasan mengapa reaksi seperti itu diberikan terhadap persoalan seperti itu. Singkatnya, sebuah artikel pendek dalam surat kabar kurang lebih menjadi deskripsi suatu dialog, rekaman suatu tanggapan, atau dokumentasi simpati, empati atau antipati penulis terhadap kondisi yang dihadapainya bersama banyak orang lainnya.

Maka dari itu sebuah artikel di media massa adalah sikap dan pandangan yang sangat pribadi. Dalam posisi seperti itulah seorang penulis akan berbeda dengan seorang anggota parlemen atau pengurus partai politik. Oleh karena itu seorang penulis adalah seorang yang individualis dalam pikirannya. Jika pun setelah tulisan itu beredar ada orang bersetuju dengan isi tulisan itu, itu tak lain sebuah kebetulan karena orang-orang lain itu tidak bisa menyatakan pandangannya atau pendiriannya terhadap sebuah masalah. Sebagai individualis, setiap tulisan dari seorang penulis akan menyemburatkan keotentikan pikiran dan sekaligus sikap terhadap suatu fenomena sosial-politik.

Tulisan-tulisan yang disajikan dalam buku ini, seharusnya pula dilihat sebagai kreativitas individu seorang Otto Syamsudin Ishak. Hanya dengan menempatkannya sebagai karya individulah kita mampu menyimak dan mendalami, serta kemudian merefleksikan isi setiap artikel yang ada. Jika tidak menempatkannya sebagai hasil keotentikan sikap pribadi, maka kita akan mudah diombang-ambingkan oleh fantasi kita sendiri dan kemudian akan menggiring kita meluncur ke dalam jurang sak wasangka.

Artikel-artikel yang dihimpun dalam buku ini menunjukan sikap pribadi dan keorisinalitasan sikap dan pandangan Otto terhadap perkembangan yang terjadi di Aceh dalam kurun 2000 sampai 2005. Dalam masa lima tahun itu Aceh sunguh mengalami suatu gejolak politik antara surutnya politik yang penuh kekerasan dan menyingsingnya sebuah sistem yang penuh harapan. Namun, saat harapan itu muncul kontradiksi Aceh dengan pemerintah pusat terjerumus pula ke titik terendah dari politik kekerasan yang terejawantah dari meningkatnya kekuatan perlawanan bersenjata di satu sisi dan dipilihnya kekuatan militer dalam bentuk darurat militer oleh pemerintah pusat di lain sisi. Singkatnya antara tahun 2000-2005 hubungan pusat dan daerah di Aceh mencapai tabir jurang yang paling menggetarkan. Hubungan seakan putus, rasionalitas hilang. Senjata dan bala tentara disembah sebagai ajian ampuh untuk menyelesaikan soal.

Dalam situasi seperti itu tak mengejutkan ketika Otto mengemukakan Aceh telah menjadi centrum perbenturan segala kepentingan. Kepentingan global dan nasional bisa saling bahu-membahu di Aceh untuk berperilaku biadab maupun berperilaku untuk menyokong kemanusian. Contohnya adalah di masa lalu kepentingan global yang tampak dari Exxonmobil Oil bisa bersekutu dengan tentara demi mengejar keuntungan. Bahwa rakyat Aceh terhimpit oleh segala macam bentuk kedurjanaan, Exxonmobil tak ambil peduli. Karena keamanan adalah urusan Indonesia dan urusan Exxonmobil hanyalah mendapatkan keamanan itu entah apapun caranya. Pada galibnya, kini sedang terjadi kompetisi antara humanisme (komunitas-komunitas sosial) dan kapitalisme rente (badan usaha dan negara). Meskipun, ada pertarungan internal yang tajam antara kelompok serdadu, politisi, dan penguasa dalam kaum domestik di Aceh dan Jakarta.

Bahkan lebih jauh Otto mengedepankan dua soal yang jarang mendapat perhatian orang, yaitu kuatnya tarung antara kecenderungan pola pikir yang domestik dan kosmopolitan dalam melihat Aceh. Bak setajam mata elang, Otto mengupas dua kecenderungan kosmopolit dan domestik yang telah menjadi semacam demam pikiran di Aceh dan Jakarta.

Kekuatan yang menjadi pendorong bagi perjuangan Aceh adalah kian menguatnya pola pikir yang kosmopolitan. Yaitu sikap dan cara pikir yang terbuka dan mau melibatkan pihak lain untuk mencari jalan keluar dari sebuah masalah. Dalam pola pikir kosmopolitan berunding dengan melibatkan pihak asing untuk mencari jalan keluar adalah sebuah keniscayaan yang harus dicari dan dibela. Namun bagi kaum domestik, laku utamanya adalah menutup rapat semua soal seakan hanya kita yang tahu masalah kita sendiri, tanpa peduli bahwa masalah itu telah telanjang bulat di tempat lain. Aceh dalam hemat Otto merupakan arena bagi kosmopolitanism ini. Elit-elit Aceh yang bersekutu dengan petinggi Jakarta dalam merawat kekerasanlah yang menjadi penganjur dan pembela, serta mengembangbiakkan perilaku mendomestikasikan masalah Aceh.

Singkatnya bisa dikatakan, dalam tulisan-tulisannya Otto seperti orang membawa senjata trisula yang ketiga ujungnya sama tajamnya. Satu ujung trisula itu mengarah tajam menghujam keindonesiaan yang bangkrut di Aceh yang diwakili oleh para petinggi Indonesia di Jakarta dan di Aceh. Sula keduanya menohok ke hulu hati para petinggi Aceh yang menjadi babu dari para petinggi Jakarta demi merawat pundi-pundinya sendiri di belantara kekejian yang begitu berbau anyir. Sula ketiganya menghantam siapa saja yang merasa dirinya menjadi intelektual, aktivis mahasiswa, atau LSM baik di Aceh maupun Jakarta, karena Otto tanpa tedeng aling-aling dalam tulisan-tulisannya mengkritik sikap mendua dari para aktivis.

Dengan trisula-nya yang tajam itu, kerap pula Otto tidak terlalu banyak disukai oleh orang. Apalagi orang di Jakarta yang baru saja mengenal Otto. Hal ini pernah terjadi ketika Otto dalam sebuah seminar di LIPI mengemukakan Indonesia di Aceh hanya berdaulat sepanjang jalan beraspal. Di luar jalur aspal itu Indonesia kehilangan daya jangkaunya, karena semua jajaran pemerintahnya tak pernah peduli dengan nasib rakyat di area tanpa aspal itu. Dalam kesempatan yang sama Otto juga menyampaikan, untuk menegakkan kedaulatan di area tanpa aspal, Indonesia di Aceh mengirim batalion raider yang disebut Tontaipur (Batalion Intai Tempur). Pandangan Otto ini disikapi sinis oleh Ahmad Sobari dengan mengemukakan Otto berpandangan masokis dalam melihat Aceh. Yang dimaksudkan oleh Sobari adalah Otto terlalu membesar-besarkan masalah Aceh dan terlalu melebih-lebihkan kekejian Indonesia.

Jika dicermati lebih jauh memang Otto bisa dikatakan intelektual Aceh yang sendirian bahkan cenderung kesepian. Tetapi kesendirian dan kesepiannya itu pulalah yang menjadi kekuatan Otto dalam mengulas berbagai masalah Aceh yang dicermatinya. Sebuah fenomena politik yang seakan biasa saja di mata orang awam, di tangan Otto bisa dipiuh sedemikian rupa sehinga menyembulkan sari pati dari persoalan itu. Simaklah tulisannya yang diberi tajuk Mengusir Kucing untuk Harimau. Dalam tulisan ini Otto menyorot adanya gejala penguasa PDMD untuk menyingkap laku korupsi yang dilakoni oleh Gubernur Puteh. Banyak kalangan memuji langkah PDMD kala itu, terutama dari mereka yang mengaku aktivis antikorupsi. Namun Otto dengan enteng menyindir, antikorupsi penting tapi jangan sampai ketika gerakan antikorupsi itu dijadikan energi oleh para penyokong PDMD untuk menutupi korupsinya yang lebih yahud. Artikel ini memperlihatkan betapa tajamnya dan jelinya Otto menyikapi sebuah fenomena.

Ketajaman yang sama juga hadir dalam tulisannya ketika menyinggung diberlakukannya Syariat Islam di Aceh. Otto mengemukakan siapa yang akan menjadi algojo cambuk ketika hukum cambuk diberlakukan. Semua pihak tak siap, gubernur tak siap, jaksa berkilah, dinas syariat bengong. Dengan ringan Otto menyindir, bak bahasa iklan ”Dicari: Algojo Demi Tuhan”. Kekuatan daya nalar Otto betul-betul terasa dalam tulisannya tentang Syariat Islam ini dalam artikel yang lain. Ketika semua elit Aceh mendengungkan puja-puji, Otto memasang kuda-kuda untuk mengingatkan agar orang Aceh tak mabuk syariat. Jangan-jangan syariat ini hanyalah taktik Jakarta untuk menundukkan Aceh ala Snouck Hurgronje di masa lampau. Sebab, Syariat Islam di Aceh hanya menjangkau yang remeh temeh di seputar akhlak, bukan dalam kerangka mengurus kemaslahatan umat. Bahkan lebih jauh, pemberlakuan syariat di Aceh dilihat Otto lebih menjadi faktor disintegratif ketimbang faktor integratif bagi Aceh di masa depan. Singkatnya, Otto mengemukakan, ironi ketika ulama Aceh bertepuk tangan atas tipuan Jakarta ini.

Itulah sekelumit tentang tiga mata trisula Otto dalam menulis. Jika anda melanjutkan membaca buku ini melampaui pengantar ini, maka anda akan mengalami satu sensasi intelektual yang tak terpikirkan sebelumnya.

Jika Anda orang Aceh, dalam pengertian hanya sebatas etnis, maka hati Anda akan berdegup kencang antara memilih bersekutu dengan pikiran-pikiran yang diabadikan oleh penulis buku ini atau Anda mengalami mimpi buruk betapa naifnya Anda selama ini. Jika Anda orang Aceh dalam pengertian politik, maka isi dari beberapa artikel yang terpapar dalam buku ini akan mudah memperteguh Anda untuk tetap beritijihad di jalan kemanusiaan, sebab kemanusian tak mengenal etnis. Oleh karena itu setelah membaca buku ini jangan pernah Anda bertanya kepada siapapun yang berbicara dan menulis mengenai Aceh tentang asal usul etnisnya, jika anda tidak ingin mendapat jawaban sebagaimana dirisalahkan oleh Otto dalam artikelnya bahwa Anda lebih pandir dari keledai atau onta yang hanya mampu memamah biak di Mekah.

Sebab Aceh telah menjadi identitas politik dan inspirasi bagi nusantara, maka tak ada pilihan lain, kecuali memperteguh perdamaian. Semoga. Selamat membaca.***

Jakarta, April 2008

1 komentar: