Jumat, 23 Januari 2009

DPR dan Penculikan (1997-1998)

Amiruddin al Rahab
(Peneliti Senior Bidang Politik dan HAM di ELSAM)


Penculikan atau penghilangan orang secara paksa adalah wajah politik yang kotor. Dalam khasanah hak asasi manusia, penghilangan orang secara paksa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan jenis ini dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM (Pasal 40) jika terbukti, pelaku dan penanggungjawabnya diancam dengan pidana penjara 20 tahun. Sayangnya di Indonesia sampai saat ini belum ada seseorang dihukum sesuai pasal ini, meskipun penculikan nyata terjadi. Khususnya tahun 1997-1998 ketika rezim berguncang.

Setelah 10 tahun reformasi, tentu wajah politik yang kotor itu tidak dikehendaki lagi. Oleh karena itu, penegakan hukum dalam pengertian adanya pemeriksaan di pengadilan secara fair terhadap para pelaku adalah kebutuhan pokok saat ini. Selain itu juga dibutuhkan pemulihan terhadap korban, baik dalam bentuk kompensasi maupun rehabilitasi. Perlunya tindakan hukum terhadap penanggung jawab aksi penculikan yang melibatkan kekuasaan negara, Martha Minow dalam bukunya Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violance (1998) mengemukakan agar ada kepastian hukum. ”No one is above or outside the law, and no one should be legally condemned or sanctioned outside legal prosedur.”(hlm. 25).

Pesanya adalah setiap orang hanya bisa dinyatakan bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab setelah seluruh proses hukum dan pembuktian hukum selesai dilakukan. Dalam peristiwa penculikan di tahun 1997-1998 terhadap puluhan aktivis, belum ada sama sekali proses hukum. Artinya, sampai saat ini belum ada pejabat negara baik Polisi, Jaksa dan Hakim yang memeriksa kejahatan penculikan itu secara saksama. Di sisi lain semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak dalam seluruh drama penculikan itu belum bisa pula menyatakan diri mereka bersih. Oleh karena itu, jika pengadilan hak asasi manusia tentang penculikan itu dibuka, maka itu akan menjadi kesempatan emas bagi pihak-pihak yang selama ini ditengarai terlibat untuk membersihkan dirinya berdasarkan bukti dan kesaksian yang sahi.

Untuk memastikan the rule of law berfungsi dalam peristiwa penculikan, saat ini DPR-RI membentuk Pansus Orang Hilang untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Sikap dari beberapa orang yang menolak kerja Pansus dapat dikatakan lucu sekaligus konyol, karena menghalangi berfungsinya the rule of law. Langkah DPR dengan Pansusnya adalah tepat. Ada tiga alasan untuk itu. Pertama untuk memastikan bahwa proses hukum harus berjalan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Kedua, untuk menunjukan bahwa politik kotor bukan lagi merupakan watak dari perpolitikan saat ini. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan kekuasaan, etika dan moral politik harus ditegakkan sehingga tindakan-tindakan yang menistakan hak asasi manusia tidak bisa ditolerir. Ketiga, untuk menunjukan proses politik harus respek terhadap agenda perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia. Dengan demikian partai politik tidak lagi sekadar alat memburu kekuasaan, tetapi sekaligus adalah alat untuk melindungi hak asasi manusia. Sikap fraksi-fraksi di DPR terhadap peristiwa penculikan menunjukan kualitas Partai yang diwakilinya dalam melihat masalah hak asasi manusia.

Kegagalan menghukum setiap orang yang terlibat dalam tindakan penculikan berarti memberikan lisensi terhadap tindakan serupa agar terulang kembali. Oleh karena itu, aparat negara harus bertindak tanpa ragu terhadap siapa pun yang melakukan penculikan agar negara tidak dinilai membenarkan aksi penculikan. Apa lagi penculikan yang bermotif politik, atau terhadap rival politik. Dukungan politik dalam menyelesaikan masalah pelanggaran berat hak asasi manusia sangat penting. Di mana pun di dunia ini tidak ada masalah pelanggaran berat hak asasi manusia yang bisa diselesaikan tanpa dukungan politik. Masalah pelanggaran HAM di Rwanda, Yogoslavia dan Afrika Selatan menunjukan besarnya dukungan politik internasional dalam menyelesaikannya. Adagiumnya adalah hukum hanya akan memiliki kekuatan ketika dukungan politik berada di belakangnya.

Dalam konteks menyelesaikan penculikan di tahun 1997-1998, konteks terjadinya peristiwa harus dipahami agar dukungan politik terhadapnya tidak menjadi misleading. Pertengahan tahun 1997 kekuasaan rejim militer Soeharto pondasinya goyah. Ketika pondasi kekuasaan kian guncang, cara-cara vigilante dilancarkan militer (TNI dan Intelijen) dalam mempertahankan kekuasaan merebak. Mulai dari pembunuhan Marsinah, Udin, Penyerbuan kantor PDI-P dan lain-lain. Seiring degan aksi vigilante penguasa itu, ribuan anak muda menemukan jati dirinya untuk berani lantang menantang rejim di jalanan. Bahkan sekelompok anak muda mendeklarasikan partai politik baru, yaitu PRD. Sejak PRD muncul, dunia politik nasional berubah warna. Tabu politik telah diruntuhkan. Untuk menjaga tabu politik, slogarde intelijen dan TNI memburu pelopor PRD dengan tuduhan komunis dan menjadi dalang huru-hara pasca-penyerbuan kantor PDI.

Perlawanan tak surut, gelora jiwa muda yang mendapatkan energi mahadahsyat dari mahasiswa membuat gelombang perlawanan tak bisa lagi dibendung. Penculikan dilakukan untuk menghentikan gelombang perubahan itu. Dengan kata lain, aksi penculikan aktivis itu menunjukan adanya tindakan vigilante dari rejim militer yang panik dalam menahan laju perubahan. Penculikan tahun 1997-1998 adalah tindakan kejahatan yang dilakukan secara terencana, rapih, dengan jaringan yang kuat yang berkelindan dengan kekuasaan. Karena begitu rapihnya berkelindan dengan kekuasaan sampai hari ini kita tidak bisa menemukan keberadaan 13 orang dari puluhan orang yang diculik itu. Oleh karena itu, aksi penculikan tidak bisa dilihat semata-mata improvisasi atau kehendak para pelaksana di lapangan. Karena itu, langkah DPR-RI membentuk Pansus untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM tentang penculikan itu adalah tepat. Setelah sepuluh tahun ditelantarkan, harapan semua keluarga hampir padam, bahkan telah berujung pada amarah. Kini, berkat langkah DPR harapan kembali berkecambah. Bukan saja harapan para keluarga, melainkan harapan bagi bangsa ini juga dalam meniti perubahan ke depan.

Momentumnya pun tepat. Artinya, DPR-RI yang telah lupa daratan dalam sepuluh tahun ini, kembali menemukan jalan vitalnya dalam menata perubahan. Singkatnya, tanpa DPR-RI mencarikan jalan keluar bagi persoalan penculikan di tahun 1997-1998 itu berarti segenap anggota DPR-RI dan partai politik yang mereka wakili membenarkan tindakan rejim militer Soeharto. Dengan demikian apa bedanya DPR-RI sekarang ini dengan para anggota DPR di era Soeharto?

Oleh karena itu Pansus Orang Hilang DPR adalah etalase politik bangsa untuk menunjukan bahwa DPR dan partai politik yang diwakilinya berbeda dalam moral dan etika politik dengan para anggota DPR ala yes man hasil telunjuk Soeharto. Jika perubahan watak moral dan etika bisa ditunjukan oleh DPR, maka kemacetan perubahan dalam 10 tahun ini bisa dipacu ulang. Singkatnya, nilai-nilai hak asasi manusia bisa diharapkan menjadi soko guru dalam penyelenggaraan politik dan pemerintahan di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar