Selasa, 20 Januari 2009

Ke Helsinki Mencari Damai

Amiruddin al Rahab

KORAN TEMPO, 14-07-2005

Perundingan informal babak kelima antara delegasi Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, kembali digelar. Perundingan perdamaian akan ditingkatkan menjadi perjanjian formal (nota kesepahaman) jika kedua pihak bersepakat. Rangkaian perundingan di Helsinki telah mendatangkan harapan baru bagi rakyat di Aceh setelah didera gelombang masa darurat dan tsunami.

Sayangnya, di Jakarta, silang pendapat antara pemerintah dan DPR masih meruncing. Dewan menolak perundingan dilanjutkan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyikapi dengan keras dengan mengatakan, "Kalau tidak ingin menumpahkan darah dan air mata, ya, harus berunding" (Koran Tempo, 12/7).

Sikap sebagian anggota DPR dari Komisi I ini bagi rakyat Aceh menyeramkan karena menutup pintu untuk damai. Proses politik di DPR sangat menentukan gagal atau berhasilnya langkah pemerintah di Aceh.

DPR sepertinya gagap menyikapi perubahan konteks politik Aceh saat ini. Untuk mendukung langkah strategis pemerintah dalam merancang perdamaian di Aceh, kelihatannya sebagian anggota DPR tidak siap.

Di masa lalu, seluruh masalah Aceh adalah monopoli ABRI/TNI. DPR hampir tidak pernah dilibatkan dalam mencarikan jalan keluar bagi persoalan Aceh. Monopoli TNI atas Aceh membuat DPR merasa terbebas dari beban politik masalah daerah bergolak. Sekarang, setiap anggota DPR harus memikul sebagian tanggung jawab atas keputusan pemerintah.

Di samping itu, anggota DPR di Senayan telat dalam mengubah sudut pandang dalam melihat masalah Aceh. Sudut pandang yang dipakai masih sudut pandang politik otoritarian. Sudut pandang otoritarian selalu bertumpu pada argumentasi usang, yaitu keutuhan teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Aceh sekadar masalah domestik. Para penganjur domestifikasi ini selalu jatuh pada pilihan kekerasan, yaitu penumpasan tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi rakyat Aceh.

Padahal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam penelitiannya mengenai konflik Aceh pada 2004 menyimpulkan, berkembang dan bertahannya GAM adalah karena salahnya cara penyelesaian yang dipilih, yaitu menggunakan kekerasan dengan memberlakukan Aceh sebagai daerah operasi militer (Nurhasim dkk, 2004)

Dalam melihat Aceh sekarang, harus bergeser 180 derajat, yaitu keutuhan NKRI hanya mungkin terjamin di Aceh jika rakyat merasa aman dan nyaman. Tumpuan dari sudut pandang ini adalah human security. Selain itu, tidak ada satu pun persoalan di Aceh yang betul-betul persoalan domestik, mengingat setelah bencana tsunami melanda, segala hal yang ditutup rapat di Aceh telah mengglobal. Dunia mengetahui seluruh kesulitan hidup rakyat Aceh. Orang-orang yang menolak perundingan dengan alasan mencegah penginternasionalan masalah Aceh kini bak katak dalam tempurung.

Perundingan di Helsinki menunjukkan adanya pergeseran sudut pandang dari kedua belah pihak. Hal itu terlihat dari dicapainya titik temu antara pemerintah Indonesia dan GAM. Karena itu, sikap pemerintah dalam melanjutkan perundingan harus didukung. Apalagi saat ini GAM telah mengakui pula Aceh bagian dari Indonesia (Koran Tempo, 12/7).

Ada dua alasan perundingan ini pantas didukung. Pertama, langkah ini merupakan langkah maju dalam menangani masalah Aceh. Kedua belah pihak bertemu dalam satu meja untuk merumuskan agenda perundingan. Dengan kata lain, perundingan lebih bermakna dan mendapat dukungan yang pasti pula dari kedua belah pihak. Bahkan, 19 orang bupati Aceh mendukung proses perdamaian. Begitu pula pengurus beberapa partai politik di tingkat nasional yang bersedia partainya menjadi biduk GAM untuk maju dalam pemilihan kepala daerah secara langsung Oktober nanti.

Kedua, rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh setelah diporakporandakan oleh tsunami hanya mungkin dilakukan dalam situasi yang damai. Sehingga segala fund and force yang dimiliki rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia betul-betul bisa didayagunakan untuk membangun Aceh. Implikasinya, senjata yang menyalak harus dihentikan. Jikapun masih terjadi, itu harus dianggap sebagai dinamika menuju damai.

Utang pemerintah untuk proses perdamaian ini adalah memastikannya secara terperinci dan teragenda dengan waktu yang pasti. Kapan setiap elemen mengimplementasikan kesepakatan. Terutama menghentikan main senjata dan mengontrol perwira militer dalam melontarkan pernyataan politik provokatif. Selain itu, memastikan pemerintah Aceh mampu menjalankan roda pemerintahnya dengan lebih accountable dan tidak korup.

Utang pemimpin GAM adalah memastikan seluruh jajaran GAM meletakkan senjata selama proses damai berlangsung. Selain itu, gerakan ini mengendalikan satuan-satuannya untuk tidak melakukan provokasi dan tindakan kriminal seperti menculik tokoh masyarakat.

Dengan memastikan semua hal itu, agenda yang telah disepakati untuk ditindaklanjuti ke tahap formal seperti self government, security arrangement, political issues, perbaikan ekonomi, amnesti, dan keadilan serta hak asasi manusia baru bisa didorong ke tahap agenda operasional yang konkret.

Sementara itu, pemerintah Indonesia semestinya tetap membuka pintu bagi GAM buat membentuk partai politik lokal dalam koridor otonomi khusus untuk ikut dalam pemilihan kepada daerah. Begitu pula dengan pemberian peluang bagi Aceh untuk memakai simbol-simbol tradisinya.

Kemungkinan pembentukan partai lokal dan penggunaan panji-panji tradisi bagi daerah otonomi khusus bukanlah hal yang baru. Bukankah dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua hal itu telah diberikan? Apa salahnya bagi Aceh--demi perdamaian yang permanen--hal itu dimungkinkan pula?

Akhir kata, jika upaya damai kali ini gagal, Indonesia kehilangan kesempatan untuk menunjukkan niat baiknya kepada rakyat di Aceh. Dengan demikian, pemerintah dan elite politik Indonesia dan Aceh kehilangan kesempatan pula untuk dipercayai oleh rakyat Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar