Jumat, 16 Januari 2009

Partai Lokal atau Partai Sekoci?

Amiruddin Al Rahab dan Reza Idria M Roem
Serambi Indonesia, 10/07/2008

JAGAT politik Aceh saat ini kian dinamis dan bergejolak. Apalagi setelah pengumuman hasil verifikasi faktual yang menyatakan kelayakan enam parpol lokal sepekan lalu. Pemilu 2009 akan menjadi sejarah dan ajang pertama bagi partai lokal (parlok) di Aceh meramaikan bursa pemilihan wakil masyarakat Aceh untuk parlemen daerah dan nasional.

Apakah parlok membawa harapan baru bagi rakyat Aceh? Jawabannya tentu ”ya” dengan huruf kapital dan mungkin tanda seru. Untuk menjawab ada tundingan bahwa keberadaan Parlok bukanlah keinginan rakyat. Tak beralasan kiranya bila ada wacana prematur yang menyatakan rakyat Aceh tidak butuh partai lokal, sebelum peluang berdemokrasi ini dilakoni dengan mandiri oleh rakyat Aceh. Jika mau membaca dan memahami MoU Helsinki secara jeli dan rendah hati, tujuannya jelas, bahwa partai lokal disediakan sebagai wadah bagi kekuatan politik yang sebelum perdamaian belum memiliki ruang berpartisipasi secara politik dalam membangun Aceh sejajar dengan kekuatan-kekuatan politik yang telah menikmati kekuasaan selama perang.

Tetapi nalar dan nafsu berkuasa di ladang baru ini tak luput diendus dengan cermat oleh partai politik nasional dan para “pemain lama” yang kemudian datang (beberapa pulang) dan menyaru dalam deklarasi-deklarasi partai lokal baru yang beberapa tak lebih merupakan sekoci-sekoci turunan dari bahtera besar yang berlabuh di pusat kekuasaan negara (baca: partai nasional). Kadang mereka turun dengan restu partai induk, namun ada “pemain lama” yang tidak tahan melihat peluang halalnya mendirikan partai lokal, dan melangkahi aturan dari partai induknya. Hal ini dibuktikan dengan beberapa persengketaan dan tuntutan recall dari partai induk yang selama ini menaunginya, karena dianggap membelot.

Aturan hukum tentang perkara ini sedang diperdebatkan dalam anggaran masing-masing partai, tapi lebih elok bagi kita untuk melihat hal yang sangat esensial dalam tataran hidup demokrasi-politik yakni etika berpolitik. Dan tulisan ini ditujukan kepada rakyat Aceh yang memiliki harapan kepada partai politik lokal sebagai warna baru dalam demokrasi, dengan tetap menghormati keberadaan rakyat Aceh yang mungkin masih menaruh kepercayaan pada partai berskala nasional dan bisa mengenali partai tersebut dengan baik misalkan bisa diidentifikasi dari pohonnya yang rimbun atau janggutnya yang rimbun dan lain-lain yang sudah menjadi penanda partai tersebut. Namun untuk rakyat Aceh yang menaruh harapan pada partai lokal, persoalan mengenali dan untuk apa memilih parlokl adalah menjadi hak mereka untuk mendapat informasi serta pendidikan politik untuk hal tersebut.

Dalam ranah etika politik, dalam topik ini terutama bagi pelajaran berpolitik rakyat Aceh, makna kehadiran partai lokal dalam MoU adalah tindakan affirmatif action bagi kelompok-kelompok politik yang dipinggirkan atau disingkirkan dari jagat politik Aceh selama rezim DOM dan Darurat Militer berkuasa di Aceh. Jika dirumuskan dalam kalimat pasif, maka partai politik lokal tidak ditujukan untuk menjadi wadah bagi para kekuatan politik atawa calo politik politik yang telah leluasa menjalankan seluruh syahwat politiknya di Aceh selama rezim DOM dan Darurat Militer mengendalikan Aceh. Dalam ungkapan ideal, kehadiran partai lokal ditujukan agar kelompok-kelompok politik yang dipinggirkan atau disingkirkan, dan tentu saja juga bagi generasi muda Aceh yang ingin membangun kehidupan berpolitik yang lebih demokaratis sehingga terwadahi dan menjadi bagian utuh dari pengelolaan dan perkembangan menuju terwujudnya frasa “Aceh Baru” di masa depan, yang berbeda dari iklim kelam politik masa silam.

Sebab, selama DOM sampai Darurat Militer seluruh kekuatan politik formal yang menginduk pada partai-partai Jakarta tidak satu pun kegiatan mereka dan misi politik mereka dihalangi secara berarti oleh rezim DOM dan penguasa Darurat Militer. Jika pun ada kendala, kendala itu sunguh tak berarti dan sebanding dengan kendala yang dihadapi oleh kekuatan politik yang dipinggirkan atau disingkirkan. Mengapa demikian karena para kekuatan politik era rezim DOM dan DM tetap mengisi DPRA dan DPR-RI bahkan DPD, Bupati serta Gubernur. Bukankah persekutuan para petinggi politik dari partai-partai yang menginduk pada Jakarta inilah yang telah membuat dan mengimplementasikan semua kebijakan dan mengelola anggaran seluruh aspek kehidupan masyarakat Aceh?

Dengan posisi etika seperti itu, maka ruang baru yang tersedia bagi kelompok politik yang terpinggirkan dan tersingkirkan dari ranah demokrasi-politik semasa DOM dan kekuasaan militer hendaknya tidak kembali dipersempit oleh kekuatan politik yang telah berkelindan dengan kekuasaan selama ini. Jika ruang itu dipersempit, berarti di situ pulalah etika berdemokrasi politik menjadi hilang. Yang mengemuka hanyalah nafsu berkuasa. Kita tahu, hasrat berkuasa yang berlebih ini yang membuat banyak orang di Aceh dulunya menghadapi kesulitan hidup melampaui batas nalar.

Syahwat berkuasa inilah yang saat ini berkecamuk di Aceh yang menimbulkan gejolak politik di akar rumput. Tak keliru kiranya, jika dikatakan gejolak itu dibentuk oleh para politisi yang telah bergelimang kenikmatan tetapi tetap ingin mempertahankan kenikmatan itu dengan mempersempit ruang bagi yang belum pernah mendapat ruang. Ini tentu ironi. Semestinya para politisi perpanjangan tangan partai Jakarta ini bisa menahan diri dari rayuan berkuasa melalui partai sekoci baru dengan label lokal.

Jikapun dipaksakan, maka rakyat patut menanyakan tentang etika berpolitik tuan-tuan tersebut, mungkin memang ada yang terguncang sehingga kehilangan kepercayaan diri atau kepercayaan terhadap partai yang telah dibangun dan dibela selama ini. Jika gejala ini yang mendorong dibentuknya partai-partai berlabel lokal sebagai sekoci dari partai Jakarta tentu itu akibat candu kekuasaan yang tak lekang di kepala. Sebenarnya hal tersebut selain mengacaukan jagat politik Aceh sekaligus dapat memunculkan keraguan rakyat terhadap seluruh partai nasional yang ada di Aceh. Bahkan bisa pula bermakna partai-partai Jakarta telah gagal secara total dalam membentuk para pemimpin yang dalam mengemban amanat rakyat Aceh.

Atau yang terjadi lebih gawat dari itu ketika rakyat beranggapan politisi Aceh yang telah menjadi kader-kader partai Jakarta dalam laga di tingkat nasional mengalami keciutan mental dan kapasitas sehinga balik surut ke kampung. Jika hal ini yang terjadi tentu memalukan rakyat Aceh sendiri, karena para politisi yang diharapkan menjadi pembela dan perwakilan Aceh di Jakarta ternyata bukan seorang petarung sejati sebagaimana indatu Aceh di masa lalu. Melainkan para politisi yang merasa baju politik kelas nasional namun kebesaran, sehingga berusaha merebut ukuran baju di Kutaraja. Atau mungkin kehilangan baju di arena nasional, karena panik, agar tidak telanjang buru-buru menyabet jemuran di kampung.

Yang diharap Aceh adalah pemimpin atau politisi yang tangguh yang bisa bicara di Aceh tapi gaungnya menyentuh langit atau jagat politik Jakarta. Apalagi yang bisa mengaum di Jakarta dengan getarnya mencapai seantero republik ini. Jika mental itu tidak dikandung, maka tak mengherankan jika beberapa politisi Aceh yang mentas di Jakarta sontak surut ke kampung untuk menyelamatkan pundi-pundi dan sekaligus cuci muka.

Sekali lagi sunguh ini ironi, karena jika kita kembali pada MoU Helsinki dan UU PA, partai lokal Aceh dirancang untuk menjadi terjadinya sirkulasi elit dalam menciptakan konfigurasi baru dalam peta politik Aceh. Dengan adanya konfigurasi baru, berarti ada aliran darah segar dalam kompetisi elit di Aceh. Harapannya adalah munculnya elit-elit baru, segar dan muda dari kelompok-kelompok baru yang diimbangi pula dengan tokoh-tokoh muda dan segar dari partai-partai cabang Jakarta. Namun, jika tokoh lama yang gagal di partai nasional namun menyeberang ke partai lokal, atau tokoh tua balik kampung dan ingin mencari suara di partai lokal, apa kata dunia?

Maka dari itu, marilah sama-sama dijaga peluang memiliki iklim politik ideal dan demokrasi dengan mendalami makna sebenarnya dari MoU Helsinki. Jika tidak, maka MoU Helsinki dan UU PA hanya akan menjadi pembenar bagi ajang mengumbar hasrat berkuasa atau bagi-bagi kekuasaan di Aceh secara bergiliran dengan sarana baru yakni partai politik sekoci. Bukankah proses pemilihan gubernur tempo hari cukup menjadi pelajaran. Tentu dengan mengemukakan semua pikiran ini, penulis tidak seujung kuku pun berniat menghalangi hak politik orang untuk mendirikan partai politik apa pun labelnya.

Bagi rakyat Aceh yang masih memiliki kepercayaan terhadap partai nasional yang bisa dikenali bentuknya, ini bukanlah satu masalah. Tapi sekali lagi kita berharap rakyat Aceh yang hendak mempercayakan suaranya pada partai lokal, bisa betul-betul jeli dalam melihat dan memilih, agar tak hanyut dalam partai sekoci. Jadi, kenali jauh-jauh hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar