Kamis, 12 Februari 2009

Pemilu 2009: Akankah Membawa Perbaikan bagi Papua?

Amiruddin Al Rahab
Poengky Indarti


“bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menempatkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, (pen) khususnya masyarakat Papua.”
(UU Otsus Papua, Menimbang (f))




(Gubernur Papua Bas Suebu)


Pengantar

Dalam hitungan hari, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat akan dilangsungkan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Ini adalah pemilu ke-tiga dalam era reformasi. Dari Pemilu ini tentu ada harapan baru, sekaligus kekhawatiran. Harapan merefleksikan akan selalu ada perbaikan, sementara kekhawatiran merefleksikan kehati-hatian dalam melihat perkembangan. Tak terkecuali di Papua. Bagi Papua, pemilu kali ini sangat strategis dalam menentukan arah perkembangan pengelolaan demokratisasi, pembenahan dalam pengelolaan sumber daya alam, institusionalisasi penyelesaian masalah politik dah hak asasi manusia. Lebih mendasar lagi, pemilu 2009 ini merupakan momentum penting untuk membenahi hubungan Pemerintah Indonesia dengan masyarakat Papua.

Untuk memaksimalkan harapan dan sekaligus kehati-hatian tersebut, kami masyarakat yang peduli dan memperhatikan perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya dan hak asasi manusia menggarisbawahi beberapa persoalan mendesak yang harus mendapat perhatian semua pihak, khususnya Pemerintah Indonesia dan pimpinan teras di partai politik peserta pemilu.

Persoalan Pokok Indonesia di Papua

Persoalan pokok di Papua akan kami masukkan ke dalam tiga isu besar, sebagai berikut:

1. Pengelolaan kekayaan alam Papua

Secara garis besar, kekayaan alam Papua sampai saat ini masih dikelola tanpa arah dan tanpa perencanaan. Akibatnya, kekayaan alam Papua dieksploitasi secara besar-besaran hanya untuk memenuhi permintaan pasar dunia, yang pada gilirannya hanya menguntungkan para pemilik modal dan segelintir elit pemburu rente, baik di tingkat internasional, Jakarta maupun Papua.

Multi National Corporations (MNCs) beroperasi di Papua mengembangkan perkebunan besar (sawit, tebu), mengeksploitasi hutan dan kekayaan alam lainnya, serta menyingkirkan masyarakat asli Papua dari tanah mereka tanpa mendapatkan imbalan yang pantas. Bukan itu saja, orang asli Papua yang diusir atas nama pembangunan tersebut di kemudian hari menanggung beban hidup yang jauh lebih berat dan menjadi lebih miskin jika dibandingkan dengan kehidupan mereka pada saat sebelum hadirnya MNCs di Papua. Perempuan adalah kelompok penduduk yang menanggung resiko paling berat dari eksploitasi alam Papua. Selain terusir dari tanahnya dan mengalami pemiskinan sistemik, status kesehatan mereka menurun karena dampak racun limbah industri dan keterputusan hubungan dengan sumber daya alam khususnya air. Realita jual-beli seks di area industri hutan dan tambang menyebabkan perempuan rentan menjadi korban penjualan manusia dan tertular virus HIV/AIDS.

Greenpeace dan FWI mencatat, saat ini ada 137 konsensi perijinan yang memakan lahan hampir 31,89 juta ha dari 42,198 juta ha tanah Papua. Artinya akan dan terus berlangsung ekploitasi kekayaan alam Papua, baik di dalam tanah maupun di atas tanah. Pertanyaan besarnya adalah apa keuntungan yang bisa didapat oleh rakyat Papua dari ekploitasi maha dahsyat itu selain bencana dan tragedi kemanusiaan?

Sebagai pembanding bisa disimak beberapa data berikut ini. Berdasarkan data BPS, Papua sejak tahun 2005 hingga 2008 menduduki peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia dengan indeks pembangunan manusia terendah, di mana tahun 2007 tercatat IPM Papua hanya 63,41. Fransiskan Internasional pada tahun 2008 mengemukakan bahwa di tahun 2004, ada sekitar 80% penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Hal itu tampak pula dari 25.6% penduduk, buta huruf, 36.1% tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan dan 61,6% belum memiliki akses pada fasilitas air bersih. Hampir 90% desa di Papua tidak memiliki akses bagi pelayanan kesehatan, yang paling sederhana seperti puskesmas pembantu (pustu) dengan mantri dan bidan. Padahal, penduduk Papua secara keseluruhan berjumlah 2,7 juta jiwa. Pada 2000 ada 35% pendatang dan di tahun 2005 diperkirakan penduduk pendatang menjadi 41% dan melonjak menjadi 53,5% pada 2011. Angka pertumbuhan penduduk yang timpang ini, status kesehatan yang rendah termasuk karena angka kematian ibu dan anak yang tinggi, gizi buruk serta penyebaran virus HIV/AIDS adalah faktor-faktor yang diperkirakan berpotensi membuat rakyat Papua akan menjadi “small and dwindling minority” beberapa tahun ke depan.

Dari data di atas tampak bahwa ekploitasi terhadap kekayaan alam Papua yang masif berkorelasi negatif dengan kesejahteraan penduduk asli Papua. Pembenahan dan penataan pengelolaan kekayaan alam Papua agar lebih memberikan dampak positif bagi kesejahteraan penduduk asli Papua tampaknya adalah agenda mendesak yang tak bisa ditunda lagi. Namun perlu dicatat, bahwa Papua sebagai daerah yang berstatus Otonomi Khusus, harus mendapatkan dana perimbangan dari pengelolaan kekayaan alam, yaitu: kehutanan 80%, perikanan 80%, pertambangan umum 80%, pertambangan minyak bumi, 70%, dan pertambangan gas alam 70%. (Pasal 34 UU Otsus)

2. Hak Asasi Manusia dan Keadilan

Pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia dan agenda keadilan lainnya di Papua dalam tahun 2008 lalu macet total. Salah seorang tokoh Papua menyatakan: menanti keadilan datang dari pemerintah pusat, seperti “merebus batu.” Hal itu tampak dari belum adanya perkembangan yang berarti dalam menangani hasil penylidikan Komnas HAM dalam peristiwa pelanggaran HAM berat di Wamena (2003) dan Wasior (2001). Untuk dua berkas penyelidikan Komnas HAM ini, DPR-RI, DPD, Jaksa Agung dan Presiden serta Komnas HAM membisu. Tidak satupun pimpinan nasional, partai Politik peserta pemilu berani bicara tentang masalah-masalah mendasar di Papua ini.

Di tengah kondisi perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia seperti itu, terus pula terjadi beberapa peristiwa kekerasan, termasuk yang bisa diidentifikasi sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia Papua. Beberapa bentuk pelanggaran yang diidentifikasi adalah terus digunakannya metode penyiksaan terhadap tahanan di kepolisian, khususnya terhadap mereka yang diberi label oleh Pemerintah sebagai pemimpin gerakan separatis. Pembunuhan kilat terhadap orang asli Papua, seperti yang terjadi di Wamena pada tanggal 9 Agustus 2008 mengakibatkan meninggalnya Opinus Tabuni masih terjadi juga di beberapa tempat di daerah pendalaman, serta masih seringnya intimidasi, teror dan tindakan memata-matai terhadap para Pembela Hak Asasi Manusia yang sedang menjalankan kerja-kerja mereka dalam mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Gejala lain yang masif adalah tersumbatnya kebebasan berekspresi. Di tahun 2008 telah terjadi beberapa kali upaya penangkapan dan pemeriksaan sampai dijadikan tersangka pihak-pihak yang mencoba mengibarkan bendera atau pernak-pernik bergambar bendera Bintang Kejora. Upaya pemeriksaan dan sampai menjadikan tersangka terhadap para pihak yang mengibarkan bendera menunjukkan belum berubahnya persepsi terhadap kondisi dan ekspresi politik Papua oleh aparat keamanan dan hukum. Artinya, Otonomi Khusus yang mensyaratkan Papua dapat memiliki bendera, lambang dan lagu sendiri belum bisa diinternalisasi ke dalam politik ke-Indonesia-an sesuai dengan dinamika politik yang berkembang di Papua.

Manifestasi dari belum bisa diinternalisasikannya simbol dan lambang Papua ke dalam ke-Indonesia-an itu adalah dengan diterbitkannya PP No.77/2007. Implikasi dari kegagalan menginternalisasikan simbol dan lambang Papua itu adalah kian terbuka lebarnya ruang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di satu sisi, dan kian mudahnya kekerasan pecah di Papua, di sisi lain. Kekerasan di Papua dilakukan oleh aparat keamanan dan hukum Indonesia maupun oleh kelompok oposisi.

Dalam perkembang seperti itu, korban-korban pelanggaran HAM di Papua terus bertumpuk dan bertambah. Sebagian korban pelanggaran HAM itu saat ini berada dalam situasi ekonomi yang sulit dan trauma yang mendalam. Penanganan korban yang terus ditunda-tunda akan menjadi bumerang bagi upaya berbagai agenda pemerintah di masa datang.

Dalam konteks pelanggaran HAM seperti yang telah diuraikan di atas, terjadi kekerasan dan pelanggaran HAM berbasis gender. Kebijakan teritorial yang militeristik mengakibatkan perempuan Papua mengalami berbagai macam bentuk kekerasan dan eksploitasi seksual aparat keamanan. Perempuan Papua yang menjadi korban tersebut selanjutnya akan mengalami pemiskinan, dikucilkan oleh masyarakat (termasuk anak yang lahir dari eksploitasi seksual) serta menyimpan trauma masa lalu yang berat tanpa sedikitpun akses pada kebenaran, keadilan dan pemulihan yang menjadi hak mereka.


Kemacetan dalam penyelesaian masalah hak asasi manusia di Papua adalah karena lalainya pemerintah pusat dan pemerintah di Papua dalam mengimplementasikan ketentuan UU Otsus, khususnya pasal 45 dan 46.

Pasal 45 secara tegas mewajibkan pemerintah pusat dan provinsi menegakkan, memajukan, melindungi dan menghormati HAM di Papua. Untuk melaksanakan kewajiban itu, pemerintah membentuk Perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua.

Khusus untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (psl.46) ditegaskan bahwa susunan keanggotaan, kedudukan dan pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapat usulan Gubernur. Artinya dalam memproses masalah pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan klarifikasi sejarah sebagai persiapan menyusun rekonsiliasi, inisiatif Gubernur sangat menentukan. Sayangnya sampai sekarang ini Gubernur belum pernah mengambil langkah untuk ini. Begitu pula DPR Papua dan MRP juga belum pernah mengajukan rancangan kepada Gubernur. Akibatnya, agenda hak asasi manusia yang lainnya, seperti pembentukan pengadilan HAM di Jayapura juga hilang dari perhatian pemerintah dan masyarakat Papua. Sementa kantor Perwakilan Komnas HAM di Jayapura bagaikan “hidup segan mati pun tak mau” karena tidak diurus secara baik oleh Komnas HAM, serta kurang mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Papua dan DPR Papua.

3. Otsus dan Demokratisasi

Otsus Papua saat ini dalam keadaan sekarat. Beberapa perkembangan yang menunjukkan hal itu:

Pertama, Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam dinamika politik Papua tidak mendapatkan porsi yang tepat dan signifikan. Padahal, MRP dirancang untuk keperluan mempercepat terjadinya affirmatif action dalam menangani masalah-msalah krusial di Papua akibat buruknya pembangunan dan pelanggaran HAM yang masif di masa lalu, serta militerisasi yang meluas di era DOM.

Karena MRP tidak mendapatkan peran sesuai dengan porsinya, banyak agenda perbaikan sosial, ekonomi, politik dan hak asasi manusia terhenti. Oleh karena itu, jika MRP terus dibiarkan dalam situasi sekarat seperti ini, maka Otsus dalam beberapa waktu ke depan akan lumpuh total. Dengan demikian, perdasus sebagai instrumen affirmatif action pun kehilangan substansinya.

Kedua, wabah pemekaran yang membebani dan memecah belah rakyat Papua, telah menjadi penyebab yang memicu terjadinya berbagai macam konflik dan kekerasan, baik politik maupun sosial ekonomi, di tingkat publik maupun domestik.

Pemekaran terjadi mulai dari provinsi, kabupaten/kota, distrik (kecamatan) hingga kampung. Pemekaran tanpa kendali dan tanpa kajian yang akurat dengan prosedur yang tepat pula, kini telah menjadi beban besar Pemerintah. Banyak sumberdaya terserap ke arena pemekaran ini, baik anggaran maupun sumber daya manusia. Artinya, akibat pemekaran terjadi pembengkakan birokrasi secara mendadak, yang dengan sendirinya juga menyerap anggaran yang besar.

Implikasinya adalah Pemerintah Provinsi sebagai pengemban Otsus, sama sekali tidak siap dalam menata dan mengatur birokrasi, baik dalam arti mempersiapkan kualitas pejabat maupun menyusun postur pemerintahan daerah. Gejala negatif dari perkembangan ini adalah mulai maraknya korupsi di semua level pemerintahan, tidak adanya infrastruktur pendukung pemerintahan yang memadai di daerah baru, tidak adanya pejabat yang kompeten dalam menjalankan dinas-dinas di kabupaten, dll.

Akibat dari semua itu, terjadi krisis politik yang berimplikasi pada krisis kepemimpin di Papua. Gejalanya adalah para Bupati mengabaikan Gubernur, Gubernur tidak bisa berkordinasi dengan para Bupati, merebaknya isu etnis dan agama serta kolusi untuk mengisi jabatan-jabatan strategis di provinsi dan kabupaten. Yang lebih merusak adalah keterpecahbelahan rakyat Papua karena eksploitasi sentimen primordialisme oleh elit politik Papua maupun Nasional saat mengampanyekan pemekaran.

Dalam situasi pemekaran yang terus bergerak seperti itu, tidak akan pernah bisa disusun rencana pembangunan yang komprehensif untuk bisa membangun fasilitas pelayanan publik. Artinya rencana aksi yang affirmatif tidak akan bisa disiapkan oleh Pemerintah Provinsi untuk mengimplementasikan Otsus. Parahnya, pemekaran ini tidak lepas dari rancangan satuan-satuan intelejen untuk mengontrol rakyat Papua.

Ketiga, menduanya sikap aktor politik di Pusat. Terjadi sikap yang mendua terhadap Otsus Papua di kalangan aktor politik di pusat. Partai-partai politik saat ini gencar mendukung pemekaran, baik provinsi maupun kabupaten. Pemekaran menjadi isu kampanye. Hal ini tampak dari gencarnya, anggota DPR-RI Komisi II mengunjungi rencana daerah pemekaran baru. Megawati ketika berada di Sorong, misalnya, mengkampanyekan bahwa pembentukan Provinsi Papua Barat adalah hasil buah kerja PDI-P. Partai Golkar dan Partai Demokrat ditengarai juga akan mendukung pembentukan provinsi lain di Papua. Saat ini, di DPR RI, telah disiapkan RUU Provinsi Papua Selatan, Papua Barat Daya dan Papua Tengah.

Sementara Pemerintah juga melakukan cara yang sama, yaitu membiarkan, jika tidak dikatakan mendukung proses pengerdilan Otsus dengan mengeluarkan beberapa peraturan baru yang berimplikasi mengamputasi UU Otsus. Sebagai contoh, UU No.35/2008 tentang Pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Otsus menjadi UU, yang memungkinkan Papua Barat memiliki MRP sendiri, menerima DAK dan menghilangkan kesatuan kultural Papua.

Ke-empat, gagalnya demiliterisasi. Otsus secara mendasar ditujukan untuk mendemokratiskan sistem politik di Papua. Salah satu unsur demokratisasi di Papua adalah terjadinya demiliterisasi terhadap kehidupan sosial politik. Artinya aparat militer tidak lagi menjalankan peran sosial-politik dan ekonomi, tetapi lebih fokus pada masalah pertahanan.

Gejala yang terjadi sekarang adalah kian massifnya peranan militer dan satuan-satuan intelejen di Papua, mulai dari pembentukan pos-pos baru, penempatan satuan baru dan pendirian teritorial baru, yaitu Kodim dan Korem baru, antara lain di Merauke dan Pegunungan Tengah.

Demiliterisasi yang gagal ini membuat ruang bagi upaya demokratisasi ruang politik di Papua menjadi sesak. Akibatnya, untuk mendapatkan ruang politik beberapa pihak kembali kepada kebiasaan “tradisional”, yaitu menaikkan bendera sebagai cara untuk menarik perhatian.

Seturut dengan gejala ini adalah selalu ditampiknya upaya untuk menjembatani dialog antar kelompok-kelompok oposisi di Papua dengan pemerintah secara lebih baik.

Penutup dan Rekomendasi

Beranjak dari paparan di atas, diperlukan komitmen baru untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua, khususnya persoalan hak asasi manusia Papua di bidang EKOSOB dan SIPOL. Di samping itu, setelah tujuh tahun Otsus di implementasikan tampak beberapa hal kelemahan mendasar. Oleh karena itu, diperlukan satu ruang politik untuk membicarakan ulang disain Otsus Papua. Hal ini sangat mendesak karena Papua saat ini telah menjadi 2 provinsi dan potensial menjadi beberapa provinsi baru ke depan.

Oleh karena itu, untuk merancang Otsus baru untuk Papua diperlukan:

1. Koreksi total/menyeluruh atas sikap dan tindakan pemerintah pusat dan Papua, karena ada gejala krusial dalam menjalankan pemerintah di Papua, yaitu dalam menjalankan pemerintahan di Papua, aparat pemerintah masih memperlakukan Papua sama dengan provinsi tanpa status khusus. Jika gejala ini tidak dikoreksi, maka Otsus Papua akan menjadi bumerang.
2. Blue Print baru Otsus Papua yang terdiri dari provinsi per provinsi. Untuk keperluan ini dibutuhkan semacam dialog yang intensif dengan multi stakeholders di Papua dan Jakarta.
3. Untuk mengelola kekayaan alam Papua agar bersinergi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua dan perlindungan atas lingkungan hidup, diperlukan kebijakan terrpadu yang memerlukan lembaga/badan antar provinsi yang mengelolanya secara mandiri.
4. Dalam bidang hak asasi manusia dan keadilan, Gubernur, DPR-P dan MRP harus bisa duduk bersama untuk merancang insturmen HAM yang melindungi hak hidup orang Papua dan sesuai dengan karakteristik Papua, kemudian mengusulkannya kepada Presiden untuk ditindaklanjuti.
5. Perlunya perlindungan secara khusus kepada Para Pembela HAM di Papua agar situasi HAM di Papua membaik dan berdampak memberikan citra positif pada Pemerintah Indonesia, khususnya di tingkat internasional.
6. Perlu mengkaji kembali penempatan pasukan, satuan teritorial, aparat intelejen yang sangat massif di Papua, karena hal ini berdampak pada semakin buruknya kondisi HAM di Papua dan tidak transparannya anggaran pemerintah.
7. Pemekaran harus dihentikan sampai Pemerintah Provinsi bisa mengatur secara baik seluruh tata kelola birokrasi dan perencanaan anggaran daerah secara komprehensif bersama dengan para bupati yang ada sekarang. Untuk itu semua pihak harus menghentikan operasi pemecahbelahan rakyat Papua melalui tawaran uang dan kekuasaan semua.
8. Seluruh upaya pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM orang asli Papua yang diperlukan dalam konteks Otonomi Khusus ini harus secara serius dan sungguh-sungguh melibatkan komponen Perempuan Papua, sebab Perempuan Papua bukan hanya paling rentan menjadi korban dari kekerasan dan pelanggaran HAM di tanah Papua, tetapi juga memainkan peran penting di Papua maupun di tingkat Nasional dalam upaya-upaya mengatasi kekerasan dan menegakkan HAM;
9. Kepada semua kekuatan politik (partai politik) perlu memasukkan agenda pemajuan perlindungan dan pemenuhan HAM orang asli Papua dalam program politik mereka dan memperhatikan secara seksama kondisi Papua sekarang ini agar bisa merancang agenda perbaikan ke depan.
10. UU Otsus telah kehilangan roh dan spiritnya. Oleh karena itu, UU Otsus perlu dievaluasi secara menyeluruh bersama-sama dengan Rakyat Papua, dan selanjutnya dilakukan revisi agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan riil rakyat Papua.

Jakarta, 12 Februari 2009

Imparsial, Elsam, LIPI, Komnas Perempuan, SKP Jayapura, Pokja Papua, JATAM, WALHI, KONTRAS Jakarta, Federasi KONTRAS, INFID, PPRP, ICW, JPIC-MSC, HRWG, PBHI, YLBHI, Foker, Praxis, Demos, ICTJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar