Kamis, 12 Maret 2009

Otsus Papua Sekarat

Amiruddin al Rahab
Suara Pembaruan, 4/3/2009

Sejak 2002 sampai 2008, dana otonomi khusus (otsus) yang digelontorkan ke Papua hampir Rp 13,89 triliun. Untuk 2009, direncanakan sebanyak Rp 8,3 triliun dana otsus untuk Papua, Papua Barat, serta Aceh.

Meskipun dana yang digelontorkan sebesar itu, pelaksanan Otsus Papua masih menghadapi tantangan dan permasalahan. Tantangan itu di antaranya menyangkut pembangunan yang belum merata, jumlah penduduk miskin, dan pengangguran yang cukup tinggi, kapasitas sumber daya manusia belum memadai, serta dukungan infrastruktur yang jauh dari harapan. Selain itu, masih lambatnya penyelesaian penyusunan perda provinsi dan perda khusus yang merupakan amanah dari UU Nomor 21 Tahun 2001.

Saat ini, kondisi Papua dinilai oleh banyak pihak kian buruk akibat tidak terkendalinya pemekaran kabupaten dan rendahnya kapasitas aparat pelaksana di daerah, serta tidak konsistennya pemerintah pusat. Performa kinerja pemerintahan di Papua kian buruk pula akibat maraknya dugaan korupsi. Artinya, banyaknya rupiah yang digelontorkan ke Papua tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.

"Bahwa penyelenggaraan peme-rintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menempatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya masyarakat Papua."

Undang-Undang Otsus Papua dirancang untuk mengatasi seluruh masalah mendasar yang dinyatakan "belum sepenuhnya" ada itu. Namun, setelah tujuh tujuh tahun UU Otsus diimplementasikan, keadaan belum juga berubah.

Berdasarkan data BPS, sejak 2005 hingga 2008 Papua menduduki peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Pada 2007 tercatat IPM Papua hanya 63,41. Fransiskan International dalam factsheet-nya pada 2008 mengemukakan bahwa pada 2004, sekitar 80% penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Hal itu tampak pula dari 25.6% penduduk buta huruf, 36.1% tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan, dan 61,6% belum memiliki akses pada fasilitas air bersih. Hampir 90% desa di Papua tidak memiliki akses bagi pelayanan kesehatan, yang paling sederhana seperti puskesmas pembantu (pustu) dengan mantri dan bidan. Sebanyak 41,8% penduduk Papua berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS per hari.

Padahal, jika kita bandingkan dengan royalti PT Freeport rata-rata 75 juta dolar AS per tahun (Kompas, 11/11/03), masalah itu semestinya bisa diatasi jika pemerintahan di Papua berjalan secara efektif. Apalagi, dalam siaran persnya pada Juni 2008, PT Freeport menyebutkan telah memberikan royalti sekitar 620 juta dolar atau setara dengan Rp 5,7 trilliun (www.ptfi.com/news). Padahal, penduduk Papua secara keseluruhan hanya 2,7 juta jiwa, dengan populasi asli Papua sekitar 1,7 juta jiwa. Rodd McGibbon dalam bukunya Papua: Plural Society in Perils (Washington: The East-West Center, 2004) menyatakan, pada 2000 penduduk sebanyak 35% pendatang dan 2005 diperkirakan penduduk pendatang menjadi 41% dan akan melonjak menjadi 53,5% pada 2011.

Angka pertumbuhan penduduk yang timpang, status kesehatan yang rendah termasuk karena angka kematian ibu dan anak yang tinggi, gizi buruk, serta penyebaran virus malaria, HIV/AIDS adalah faktor-faktor yang diperkirakan berpotensi membuat rakyat Papua akan menjadi small and dwindling minority beberapa tahun ke depan.

Infus Baru

Beranjak dari data di atas, otsus tampaknya tidak bisa mengatasi masalah mendasar. Oleh karena itu, dapat dikatakan Otonomi Khusus Papua berada dalam keadaan sekarat. Jika tidak ditolong segera dengan infus baru, otsus akan mampus. Artinya, Otsus Papua tidak bisa lagi diharapkan untuk mengubah keadaan di Papua. Makanya diperlukan rumusan baru yang lebih mampu menjadi solusi Papua.

Agar Otsus Papua tidak sekarat, beberapa agenda yang harus dilakukan segera. Agenda-agenda ini, sekaligus menjadi pilar untuk mengevaluasi otsus secara konprehensif, sehingga menjadi solusi baru.

Pertama, menempatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam dinamika politik Papua secara proporsional dan signifikan. Tujuannya adalah agar MRP berperan mempercepat terjadinya kebijakan affirmatif action dalam menangani masalah-msalah krusial di Papua, yaitu kemiskinan, hak asasi manusia, sarana pelayanan publik, dan pengelolaan kekyaan alam demi kesejah- teraan rakyat Papua.

Kedua, menghentikan wabah pemekaran yang membebani keuangan daerah dan memecah-belah rakyat Papua. Pemekaran di Papua telah menjadi pemicu terjadinya berbagai macam konflik dan kekerasan, baik politik maupun sosial ekonomi, pada tingkat publik dan domestik. Dalam lima tahun Papua dipecah menjadi 39 kabupaten/kota dan 2 provinsi. Karena pemekaran dipacu terlalu cepat, akibatnya terjadi pembengkakan birokrasi secara mendadak dengan kapasitas terpasang rendah, yang dengan sendirinya juga menyerap anggaran yang mahabesar.

Ketiga, perlu koreksi total/menyeluruh sikap dan tindakan pemerintah pusat dan Papua yang masih menjalankan pemerintahan di Papua seperti Papua bukan daerah dengan status khusus. Jika sikap pemerintah seperti itu terus berlanjut, maka itu akan bisa menjadi bumerang. Oleh karena itu, diperlukan semacam blue print baru Otsus Papua yang terdiri dari provinsi per provinsi. Menyusun blue print dibutuhkan semacam dialog yang intensif dengan multi stakeholders di Papua dan Jakarta.

Keempat, perlu dibentuk badan semacam BRR Aceh di Papua untuk mengelola kekayaan alam Papua agar bersinergi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua dan perlindungan atas lingkungan hidup. Badan sejenis BRR itu akan berfungsi sebagai perancang dan pelaksana kebijakan terpadu pembangunan dan mengelolanya secara mandiri berkordinasi dengan pesiden dan gubernur.

Kelima, perlu segera dipastikan mekanisme keadilan berjalan di Papua, khususnya dalam masalah hak asasi manusia. Dalam bidang hak asasi manusia dan keadilan, gubernur, DPR-P dan MRP harus bisa duduk bersama untuk merancang instrumen HAM yang melindungi hak hidup orang Papua dan sesuai dengan karakteristik Papua, kemudian diusulkan kepada presiden untuk ditindaklanjuti.

Dengan menapaki kelima langkah di atas, mudah-mudahan otsus bisa siuman dari sekaratnya dalam format baru. Langkah-langkah ini harus menjadi perhatian para caleg dari daerah Papua.

Penulis adalah Koordinator Pokja Papua di Jakarta, anggota Tim Penulis buku Papua Roadmap - LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar