Selasa, 10 Februari 2009

Merawat Ke-Indonesiaan



(Foto, anak-anak Papua, www.hampapua.org)

Amiruddin al Rahab
(Pengamat Politik dan HAM)

Buleetin Asasi, ELSAM

Berakhirnya bulan Mei dalam setiap tahun setelah gerakan reformasi terjadi, terasa ada satu hal yang bolong di dalamnya. Yaitu mengkerdilnya ke-Indonesiaan serta menjauhnya perubahan ke arah yang baik.

Dalam situasi seperti itu, apa makna Kebangkitan Nasional yang ke 100 tahun sekarang ini? Kebangkitan Nasional hanya bermakna jika peringatannya tidak ditempatkan pada kenangan, melainkan pada tekad untuk merawat ke-Indonesian 100 tahun ke depan. Gerakan reformasi sesunguhnya adalah upaya terus-menerus untuk merawat ke-Indonesiaan agar keluar dari kehancuran akibat dimangsa otoriterianisme.

Yang diharapkan setelah jatuhnya rezim militer Soeharto adalah terwujudnya ke-Indonesiaan yang menghargai kemanusian dan hak asasi manusia dengan memenuhi keadilan bagi mereka yang menjadi korban, baik korban akibat kedurjanaan politik mau pun akibat struktur ekonomi yang tidak adil. Seiring dengan itu juga memberikan ganjaran yang setimpal kepada mereka yang menjadi penyokong dan penganjur segala bentuk politik kerdujanaan di masa lalu itu. Singkat kata, ke-Indonesian yang baru adalah ke-Indonesian yang menentukan batas antara politik kedurjanaan dengan politik yang menghargai kemanusian dan hak asasi manusia (civility politic).

Akibat tidak pernah jelasnya garis demarkasi antara politik kedurjanaan dengan politik keadaban membuat ke-Indonesian kini kian compang-camping. Hal itu tampak dari mengap-mengapnya rakyat di Sidoarjo yang ditelan lumpur Lapindo, mengigilnya Jamaah Ahmadiah akibat dimangsa oleh egoisme keagamaan, menjeritnya rakyat yang papa akibat dijerat harga BBM yang melambung tinggi. Penjarahan hutan dan bencana alam mendera setiap saat hampir di seantero nusantara. Singkatnya, rakyat dibiarkan terkapar tanpa pangan dan keamanan diri oleh para elit di semua level. Sementara para petinggi partai politik hanya sibuk bersolek dengan beragam iklan menjual diri sambil mengagahi ke-Indonesian sedemikian rupa. Pemimpin-pemimpin di daerah sibuk berternak kabupten/kota baru demi menyulap keuangan negara dan mengobral segala potensi daerah dengan harga murah demi PAD.

Dalam situasi seperti ini, demokrasi yang kini dikembangkan terasa tidak mampu menjadi sarana untuk meneguhkan keadilan. Bahkan banyak pihak yang menilai demokrasi yang kini berkembang justru mempermudah para penyokong rezim lama untuk bersalin rupa menjadi penganjur demokrasi dan sekaligus memperkudanya. Para penyokong rezim lama ini malah dengan gagah berani dan merasa tanpa dosa mengemukakan mari kita melihat ke depan dengan melupakan masa lalu. Singkatnya masalah kekinian jauh lebih mendesak untuk diselesaikan, ketimbang menguak luka lama. Padahal, langkah melupakan begitu saja, akan menjadi preseden buruk bagi politik dan hukum dalam merekonstruksi ke-Indonesiaan yang baru. Artinya, dengan melupakan, pemerintah seakan memberikan sinyal lampu hijau kepada semua pihak yang dulu melakukan dan bertanggung jawab atas politik kedurjanaan untuk terus merasa benar dan bahkan kekerasan boleh dipraktekan kembali dalam menjalankan politik kenegaraan. Toh semuanya bisa dilupakan dan dimaafkan.

Di era Soeharto, ke-Indonesiaan hadir di Aceh menebar maut, di Papua begitu diskriminatif, di Maluku dan Poso memendam segregasi agama, di Kalimantan mengandung prasangka etnis serta di Jawa mengadung kecemburuan kelas sosial yang menajam. Artinya konstruksi ke-Indonesiaan yang dikonstruksikan oleh rezim militer-golkar Soeharto begitu bermasalah bagi ke-Indonesian kita sebagai bangsa. Karena ke-Indonesian rezim militer-golkar Soeharto terlalu pencemburu pada daerah sehingga berwatak menyerang-yerang, terlalu rakus sehingga menyedot semua yang ada di daerah ke pusat, terlalu bengis sehingga mudah memvonis warganya menjadi sesat, ekstrem, separatis, OTB bahkan GPK, serta terlalu suka menggadaikan semua SDA.

Singkatnya, sikap pemerintah dan kekuatan politik yang mendiamkan seluruh kekerasan yang terindikasi secara kuat sebagai pelanggaran HAM dan memiskin rakyat Indonesia secara sistematis, menunjukan bahwa dalam sepuluh tahun ini belum ada perbedaan yang berarti antara karakter politik pemerintahan masa lalu dengan masa kini. Maknanya adalah elit-elit politik, partai politik dan pemerintah gagal merawat ke-Indonesiaan dalam sepuluh tahun ini. Akibatnya aksi-aksi kekerasan terus terjadi, kemiskinan tetap menjerat leher rakyat Indonesia dan SDA Indonesia diobral muruh kepada pihak asing demi rente.

Beranjak dari fenomen-fenomen seperti itu, sesunguhnya pengungkapan kebenaran akan watak rezim masa lalu dalam bidang ekonomi dan politik sunguh harus kita pikirkan matang sekarang ini sebagai cara kita merawat ke-Indonesiaan secara baru demi 100 tahun ke depan. Indonesia 100 tahun kedepan adalah Indonesia yang bisa menjadi taman sari bagi kehidupan bersama yang lebih baik.

Kalau dipertanyakan mengapa ke-Indonesia perlu dirawat? Jawabannya adalah untuk mencegah disintegrasi bangsa. Mengapa bangsa terancam disintegrasi? Sebenarnya jawaban yang mendasar adalah karena tidak ada ruang bagi kehidupan bersama yang lebih baik. Namun, elite Negara sering menyembunyikan atau tak cukup kesatria untuk mengakui adanya sikap yang mengancam kehidupan bersama itu dalam mengelola negara. Oleh karena itu, segala watak ke-Indonesiaan yang dibangun oleh rezim Soeharto, mesti kita ubah jika ingin Indonesia masih ada 100 tahun lagi.

Oleh karena itu merawat ke-Indonesia demi 100 tahun ke depan, perlu diambil langkah-langkah yang memberikan kepastian akan dipenuhinya hak warga negara untuk tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu (right to know) dan hak atas keadilan (right to justice) serta hak untuk berpartisipasi secara politik (right to participate) dan hak atas informasi (right to information) .

Atau dalam ungkapan para ahli hukum rule of law harus ditegakan. Sebab tanpa rule of law, komitmen untuk memperbaiki akibat dari kedurjanaan politik atau kesalahan pengelolaan ekonomi negara tidak akan ada.

Atau bagaimana saat ini kita memaknai ke-Indonesiaan kita tanpa adanya pengakuan akan kebenaran di masa lalu yang telah mengoyahkan seluruh sendi-sendi pondasi kebangsaan dan kenegaraan yang bernama Indonesia ini? Atau apa makna menjadi Indonesia saat ini, ketika kita terpencar ke dalam puak-puak etnis dan agama begitu mudah, bahkan saling membunuh dalam ikatan ke-Indonesiaan? Maka dari itu merawat ke-Indonesiaan, berarti merawat kemanusian kita. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar