Rabu, 04 Februari 2009

Janji Pembentukan KKR Papua Terlupakan



(foto: download. google.com)

Berita Sinar Harapan, 7 April 2007

Jakarta-Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sudah berlaku lebih dari lima tahun. Namun, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dijanjikan dalam UU tersebut hingga kini tak juga terwujud. Bahkan, janji untuk itu sepertinya kian terlupakan dari agenda nasional maupun daerah.

Menurut Amiruddin al Rahab dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), terlupakannya agenda KKR Papua dari pemerintah pusat tidak terlepas dari lalainya unsur pemerintah di Papua. DPRP dan Majelis Rakyat Papua (MRP), serta Gubernur Papua seharusnya segera mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres).

Ini sesuai Pasal 46 Ayat (3) UU No 21 Tahun 2001 yang menyebutkan susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas, dan pembiayaan KKR diatur dengan Keppres setelah mendapat usulan dari Gubernur. “Tanpa ada usul dari Papua maka Presiden akan terus kesulitan memulainya,” kata Amiruddin saat menjadi pembicara dalam bedah buku berjudul Trust Building dan Rekonsiliasi di Papua, Kamis (5/4). Buku tersebut berisi hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai rekonsiliasi di Papua.

Amiruddin menambahkan, pembentukan KKR sangat penting untuk memberikan kepastian titik pijak bagi rencana perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Papua. Pasalnya, hasil kerja KKR yang disusun dari kesaksian korban. Dari sisi sejarah pun, KKR di Papua dapat digunakan untuk merehabilitasi sejarah meng-Indonesia-nya Papua.
“Untuk itu klarifikasi mutlak dilakukan oleh kedua belah pihak dengan mempertimbangkan secara saksama setiap fakta dan argumen yang diajukan.” Paparnya.

Bangun Kepercayaan

Sementara itu, Adriana Elisabeth, peneliti LIPI yang menjadi penulis utama dalam buku itu mengatakan, pembentukan KKR diperlukan untuk membangun kepercayaan antarsemua kelompok di Papua. Kepercayaan merupakan faktor yang sangat penting mengingat masyarakat Papua umumnya saling menaruh curiga satu dengan yang lainnya. Kecurigaan ternyata bukan hanya antara rakyat dan pemerintah, tetapi juga antarsuku.
Permasalahan di Papua pun mencakup tiga bidang, yakni sejarah politik bergabungnya Papua dengan Indonesia, militerisasi dan kekerasan, serta kemiskinan. Namun sayangnya, pemerintah hanya menjawab permasalahan tersebut dari sisi kemiskinan.
Dengan demikian kebijakan yang diambil cenderung mencari jalan untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan. Sedangkan, dua masalah lainnya selalu ditolak oleh pemerintah dan dianggap sudah tuntas.

Di samping itu, kebijakan pemerintah daerah (Pemda) Papua juga tidak mencakup upaya rekonsiliasi. Pada masa Papua di bawah Gubernur Freddy Numberi, ide yang dikeluarkan adalah ide pemekaran. Namun, ide pemekaran ini selanjutnya ditentang Gubernur JP Solosa. Kini Gubernur Barnabas Suebu menyelesaikan masalah Papua melalui pendekatan pembangunan dan kesejahteraan.
(tutut herlina/
daniel tagukawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar