Selasa, 03 Februari 2009

ULAMA, DENDAM DAN KEBENARAN

Amiruddin al Rahab
Anggota Aceh Working Group, Analis Politik di ELSAM, Jakarta)
(24 September 2007, www.acehinstitute.org)

Banyak ulama yang kehilangan jati diri dan kedaulatannya sebagai personifikasi keluhuran nilai agama setelah mereka asik masuk dengan kekuasaan.









(foto:Pertemuan ulama dayah se Aceh, 202.152.32.84. dari google)

ONFLIK bersenjata yang panjang selalu meninggalkan luka di wajah dan jiwa sebuah masyarakat. Tidak terkecuali di Aceh. Maka dari itu, setelah perdamaian terjadi, persoalan besar yang dihadapi adalah dimana dan bagaimana menempatkan pengalaman korban untuk menjaga perdamaian itu? Salah menempatkan pengalaman korban, perdamaian akan guncang. Salah satu bentuknya adalah membiaknya dendam, serta tergodanya kembali semua pihak mengacungkan kapak perang.

Dalam pertemuan dengan para Ulama se Aceh di Balai Teuku Umar, Makodam IM, Pangdam IM TNI Mayjen Supiadin AS meminta para Ulama berperan aktif untuk mengajak para anak-anak dari korban konflik agar tidak memupuk dendam. Para Ulama itu diminta oleh Pangdam mencegah berkembangnya dendam melalui “kegiatan pengajian, ceramah-ceramah dan khutbah.” (Serambi Indonesia, 5/9/07)

Sayangnya himbauan Pangdam itu tidak menembatkan peran para Ulama Aceh sebagai reformator yang mendatangkan harapan baru bagi anak-anak korban, melainkan masih menempatkan peran para Ulama sesuai peran tadisionalnya selama konflik yaitu sekedar pembawa pesan dari pihak militer. Peran pembawa pesan ini secara politik disebut kolaborator.

Ulama Reformator
Peran sebagai kolaborator kekuasaan itu oleh Tim Kell dalam The Root of Acehnese Rebellions 1989-1992 (1995) digambarkan sebagai agen yang selalu mendukung kebijakan pemerintah. Sejak itu posisi ulama Aceh sebagai panutan telah dilucuti oleh pemerintah berkat kian merasuknya kekuasaan sampai ke kampung-kampung berkat penyeragamam bentuk pemerintahan desa. Akibatnya legitimasi para ulama yang kolaborator ini rendah di masyarakat.

Peneguhan ulama sebagai kolaborator kekuasaan itu terkandung dalam penyatuaan semua ulama Aceh kedalam MUI. Tim Kell mengemukan fungsi MUI adalah “as a means of mobilising Muslim support for the goverment’s development policies” atau dalam istilah Menteri Agama kala itu fungsi para Ulama adalah “to translate goverment policy into language that the ummah (muslim community) understands.”(49-50) Dalam konteks Aceh, kebijakan pembangunan yang dimaksudkan sepanjang tahun 1980-1990-an tentu saja kebijakan operasi militer. Tim Kell menyebutnya “in the late 1980-an the MUI in Aceh once again fulfilled a security role, assisting the army in its counterinsurgenscy campaign against Achenese rebels.” (p.51)

Dengan posisi para ulama selama DOM seperti itu tentu akan sulit bagi para ulama untuk menyakinkan para anak-anak korban konflik untuk tidak menyimpan konflik. Sebab para ulama itu sendiri adalah bagian dari konflik. Implikasinya adalah peran baru Ulama sebagaimana yang diharapankan Pangdam IM tidak akan mudah mendatangkan keperpercayaan dikalangan para keluarga korban dan anak-anaknya. Akibatnya apa yang hendak dituju oleh Pandam juga akan sulit dijangkau.

Agar himbauan Pangdam itu menjadi bermakna dan produktif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dikerjakan; Pertama Ulama se Aceh harus mentransformasikan dirinya dari peran tradisional yang kolaborator menjadi reformator. Untuk memasuki peran sebagai reformator ini langkah pertama yang harus dilakoni oleh para Ulama adalah menjaga jarak dengan kekuasaan. Menjaga jarak di sini bisa dimulai dengan tidak mendatangi markas-markas militer. Dengan kata lain seharusnya para komandan militerlah yang harus lebih banyak mendatangi ulama yang berada di tengah-tengah umatnya. Dengan demikian sang ulama akan bisa langsung mengkomunikasikan kepada umatnya mengenai niat dan maksud para komandan militer tersebut. Langkah ini akan membuat legitimasi para ulama membaik perlahan-lahan.

Langkah menjaga jarak seperti itu memiliki akar maqalah yang berbunyi; “seburuk-buruknya ulama adalah dia yang sering bertandang ke istana, dan sebaik-baiknya umara adalah dia yang meminta pertimbangan ulama dalam menjalankan kekuasaannya.” Ungkapan ini pantas untuk direnungkan karena banyak ulama yang kehilangan jati diri dan kedaulatannya sebagai personifikasi keluhuran nilai agama setelah mereka asik masuk dengan kekuasaan. Singkatnya, menjaga jarak dengan kekuasaan juga akan membuat para ulama terhindari dari olok-olok politik yang kerap mengatakan bahwa kehadirannya diistana kekuasaan sekedar menjadi stempel karet kebijakan penguasa.

Dengan adanya jarak yang terjaga maka para Ulama Aceh akan menjelma menjadi reformator atau pembaharu bagi masa depan masyarakat Aceh. Oleh karena itu sebagai reformator para ualama dalam menangani konflik dan korban konflik harus mengambil posisi sebagai penjaga dan pewarta kebenaran. Para ulama harus berdiri diposisi mereka yang menjadi korban serta bersama dengan korban untuk memperjuangkan hak-hak korban, baik hak sosial-ekonomi maupun sipil dan politik. Dalam peran seperti ini Ulama tidak lagi menjadi pihak yang membantah, menyingkirkan dan menistakan pengalaman para korban dan keluarganya.

Kebenaran yang harus dibela oleh para Ulama Aceh terkait dengan konflik adalah kebenaran yang faktual, yaitu kebenaran mengenai siapa, apa, kapan dan bagaimana sebuah perlakuan tak manusiawi terjadi. Singkatnya adalah kebenaran tentang pengalaman seseorang dan atau komunitas menghadapi tindakan kekerasan yang tidak manusiawi selama konflik bersenjata meledak.

Untuk mengambil posisi bersama dengan korban itu, rumusan dari Pelapor Khusus PBB Prof. M. Cherif Bassiouni tentang korban bisa membantu. Bassiouni mendefinisikan korban dalam kerangka hak asasi manusia adalah “seseorang dikatakan sebagai ‘seorang korban’ dalam hal ia menderita akibat dari tindakan atau perbuatan yang dinyatakan sebagai kekerasan oleh norma HAM internasional dan hukum humaniter. Artinya orang tersebut baik secara individual maupun kolektif mengalami penderitaan yang mencakup kerusakan fisik dan mental, emosional, kerugian ekonomi, atau hak-hak legal fundamentalnya terabaikan sama sekali.”

Jika rumusan dari Bassiouni dioperasionalkan maka para Ulama akan menjadi soko guru bagi bangkitnya semangat korban untuk mengapai asa baru. Sejalur dengan itu, para Ulama se Aceh juga akan menjadi pihak pertama yang akan memulihkan kepercayaan korban dan para anak-anaknya kepada semua pihak di Aceh dan Indoensia. Dengan posisi itu pula para Ulama di Aceh akan bisa pula memulihkan posisi sosial dan legitimasi moralnya di tengah masyarakat Aceh telah terlunta-lunta menjadi korban kekerasan.

Kebenaran dan Keadilan
Kedua, dendam hanya bisa luruh ketika dihadapan dengan kebenaran. Martha Minow (1998) dalam bukunya Between Vengeance and Forgiveness, mengungkapkan dendam hanya akan meluruh jika terjadi “restoring dignity to victim.” Oleh karena itu “prosecutions and amnesties” belum cukup untuk menghilangkan dendam. Maka dari itu Matha Minow menegaskan perlu ditempuh langkah-langkah lainnya, yaitu:
“commission of inquiry into the facts; opening access to secret police files; removing prior political and military officials and civil servants from theirs post and from the rolls for public benefits; publicizing names of offenders and name of victim; securing reparations and apologies for victim; devising and making available appropriate therapeutic services for any affected by the horrors, devising art and memorials to mark what happened, to honor the victim, and to communicate the aspiration of “never again”; and advancing public educational programs to convey what happen and to sterengthen participatory democracy and human rights.” (p. 23)

Dalam prasyarat yang dikemukan Martha Minow di atas maka kebenaran bermakna sebagai pengakuan atas seluruh pengalaman getir yang dirasakan korban melalui suatu mekanisme yang jelas dan teruji. Hal ini diperlukan karena “vengeance is the impulse to retaliate when wrongs are done.” Maka dari itu mengakui kebenaran pengalaman para korban menjadi langkah pertama menuju pemulihan harkat diri para korban dan keluarganya. Berkat turutan pengalaman korban itu semua pihak kelak akan bisa belajar, termasuk para ulama untuk mengkoreksi peran mereka selama konflik terjadi.

Untuk mekanisme itu para cendekia Aceh dalam MoU (Ps.2 (3) dan UU PA (Ps. 229) telah menyatakan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) adalah sarananya. Dengan sarana KKR ini, seluruh pengalaman korban akan diuji dan ditelusuri kebenarannya dengan meminta keterangan dan kesaksian semua pihak. Agar sesuai dengan harapan Pangdam IM, para Ulama perlu menempatkan perannya sebagai pendukung utama untuk membentuk KKR di Aceh.

Dengan kata lain, melalui proses pencarian kebenaran itulah kemudian keadilan mendekat kepada korban dan anak-anaknya. Agenda keadilan disini tentu bukan sebagai upaya untuk menutup mulut atau menakut-nakuti korban dan anak-anaknya, melainkan satu upaya untuk membawa kembali para korban berserta anak-anaknya ke pentas umum dengan tujuan harga diri dan martabatnya pulih. Singkatnya agenda keadilan berupaya menumbuhkan percaya diri dari para anak-anak korban sehingga mereka tidak lagi merasa dan menjadi warga yang diasingkan dari komunitasnya, sehingga keadilan melenyapkan stigma, yang pada gilirannya akan mengikis dendam.

Dalam mengikis dendam itu pendekatan yang bisa dipakai adalah pendekatan survivor’s justice (keadilan dari mereka yang survive). Artinya disini bukanlah pembalasan dari mereka yang merasa menang yang menjadi ukuran keadilan. Mahmood Mamdani dalam bukunya yang sangat terkenal When Victim Become Killer: Colonialism, Nativisms, and the Genocide in Rwanda (2001) mengemukan survivor’s justice lebih menitikberatkan pada rekonsiliasi. Makna dari rekonsiliasi di sini adalah mereka yang survive dari amuk senjata dan kekerasan selama konflik berupaya untuk kembali membangun dirinya bersama dengan kelompok-kelompok lainnya. Kesalahan tidak ditumpukan pada pundak individu-individu, melainkan pada sistem yang memungkinkan seluruh tindakan yang tak manusiawi itu terjadi. Kata kuncinya adalah pengakuan terhadap seluruh pengalaman korban dan segera melakukan perombakan terhadap seluruh institusi yang mendukung kekerasan terjadi di masa lalu. Langkah ini ditujukan untuk mencegah terulangnya pengalaman buruk dimasa lalu kembali hadir di masa kini.

Ketiga, korban berserta keluarganya dalam konteks menjaga kerberlanjutan perdamaian Aceh harus didekati sebagai dunia dan diri Aceh saat ini. Korban berserta keluarganya bukanlah dunia asing atau diluar masyarakat Aceh. KKR dengan sokongan para Ulama berperan penting untuk mengejawantahkan pendekatan ini. Jika korban dan keluarganya didekati sebagai dunia yang asing, maka Aceh tidak akan bisa bercermin dan tidak akan mengenal masa lalunya. Dengan sendirinya juga tidak akan bisa melangkah ke masa depan, karena tidak tahu wajah pembanding bagi masa depan yang didengung-dengungkan. Pengalaman anak-anak korban inilah bertumpu masa depan Aceh . Tanpa mengakui kebenaran dari para korban dan anak-anaknya, perdamaian di Aceh akan menjadi banal.

Beranjak dari tiga hal yang tepapar di atas dapat dikatakan masalah dendam setelah konflik berlalu bukanlah masalah perseorangan, melainkan masalah kolektif. Hal itu terjadi karena kekerasan di dalam konflik adalah pengalaman kolektif yang terjalin dalam tempo yang panjang. Oleh karena itu tidak ada tempat bagi melupakan atau lupa. Tempat yang tersedia adalah mengingat dan kemudian mentranformasikan ingatan itu menjadi suatu yang produktif yaitu menjadi ruang sembuh. Kesembuhan disini tentu bermakna sosial, yaitu kesembuhan Aceh sebagai komunitas.

Jika kembali pada himbauan Pangdam IM, agar generasai baru Aceh tidak memupuk dendam, maka langkahnya adalah peyembuhan bukan melupakan. Penyembuhan dalam konteks memori kolektif tentu tidak dapat dicapai dengan pengajian atau kotbah moral, melainkan dengan mewujudkan keadilan. Dari sudut prinsip, al-Quran menyatakan, “Wahai orang-orang beriman, tegakan keadilan dan jadilah saksi-saksi bagi Allah, walau pun mengenai diri kalian sendiri,” (QS al-Nisa (4):135). Prinsip inilah yang seharus menjadi pengangan dalam membasuh luka korban untuk menegakan harga dirinya kembali. Ulama mestilah menjadi motor bagi pewujudan dari keadilan itu dalam seluruh tindakannya. Bukan sekedar pembawa pesan dari Makodam. Semoga.(Drs. Amiruddin al Rahab, MSi.| www.acehinstitute.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar