Amiruddin al Rahab
GERAKAN separatisme dalam sejarah politik
Dalam pandangan Goerge McT. Kahin (1997) seluruh garakan separatis di masa pemerintahan Soekarno dipicu oleh ketidakpuasan elit daerah dan atau perwira militer daerah terhadap penguasa pusat dan tak jarang pula akibat adanya rivalitas dalam tubuh militer dalam memperebutkan posisi serta sumber daya ekonomi dan politik. Gerakan separatis ini sebagian besar juga dibidani oleh CIA untuk mengguncang pemerintahan Soekarno. Akan tetapi setelah Soekarno tumbang dan para perwira militer tersebut berhasil mengambil alih kekuasaan ke tangannya di tahun 1965 ternyata gerakan separatis tidak serta merta hilang.
Jika di era rezim gotong-royong Megawati ini
Saya dalam tulisan ini mencoba menyelami motif gerakan itu dari pinggir yaitu dari mereka yang selama ini menjadi korban. Di mana korban dalam kesehariannya dan pengalamannya yang merasa dihina karena dikatakan terbelakang, bodoh, dan terperangkap dalam kemiskinan yang akut. Di samping itu para
Membuncahnya kehendak melepaskan diri dari beberapa daerah belakangan ini dan mulai adanya klaim kebenaran oleh sekelompok orang atas nama agama atau etnis terhadap apa yang dibayangkan tentang bangsa menunjukkan bahwa bangunan mengenai bangsa dan negara yang selama 30 tahun dianggap sudah final kini tergugat secara substansial. Akibatnya ikatan yang mendasari bangsa dan negara yang hanya bersandar pada kesamaan kesejarahan dan geografis tak memadai lagi untuk memelihara keutuhan sebuah bangsa.
Ketika
Bayangan mengenai masa depan sama sekali dibangun di luar dari apa yang ada sekarang karena kenyataan-kenyataan saat ini tidak lagi memberikan harapan. Tuntutan kemerdekaan yang disuarakan oleh OPM/ TPN serta PDP di Papua dan GAM serta komponen masyarakat lainnya di Aceh adalah tuntutan yang dilatari oleh pemikiran dan cita-cita politik (ideologi) tertentu yang bertolak dari pengalaman masa lalu di bawah rezim militer. Cita-cita itu telah dirawat dan diperjuangkan dalam sejarah yang juga begitu panjang oleh para pendukungnya. Masalah ketidakadilan dan berbagai problem hak asasi manusia bagi OPM atau PDP serta GAM lebih merupakan bukti dari kebenaran kehadiran mereka dalam menjanjikan masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu setiap korban yang jatuh dalam penumpasan atas gerakan itu oleh aparat keamanan seperti polisi dan TNI hanya akan menambah barisan para syuhada yang akan membela cita-cita tersebut.
Sepanjang tahun 1999-2002 ini secara politik langkah-langkah pemerintah sama sekali tidak mampu mengakomodir isi yang terkandung dalam cita-cita itu. Hal itu terlihat dari sikap pemerintah dan aparat di lapangan yang selalu memposisikan OPM atau PDP dan GAM sekedar pelaku kriminal bukan sebagai representasi politik baru. Kondisi ini yang membuat keadaan dan sikap dari kelompok PDP dan OPM serta GAM kian mengental. Situasi yang mengental itu diperburuk terus-menerus oleh sikap
Cita-cita politik itu juga disuburkan oleh tidak pernah adanya upaya hukum demi mempertanggungjawabkan rangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Tak terjawabnya hak para korban terutama hak untuk tahu mengapa seluruh kekerasan itu terjadi dan mengapa mereka yang menjadi korban, hak untuk mendapatkan keadilan, artinya bagaimana proses penuntutan dan penghukuman terjadi terhadap para pelaku kejahatan tersebut, hak mendapatkan restitusi yaitu hak untuk mendapatkan ganti rugi atas penderitaan yang dialami membuat kepercayaan hilang terhadap semua lapisan birokrasi.
Jadi dalam masalah pertanggungjawaban itu yang dibutuhkan oleh rakyat Papua dan Aceh adalah pengakuan akan adanya kesalahan dan dipenuhinya hak mereka atas keadilan dan untuk tahu sebagai warga negara. Oleh karena itu negara tidak bisa mangkir dari kewajibannya untuk bertanggung jawab. Selama negara mangkir (impunity) maka selama itu pula memori kolektif rakyat Papua dan Aceh dengan pengalaman yang mendera mereka tidak bisa disembuhkan, akibatnya jalan keluar juga tidak bisa ditemukan. Cap separatisme tidak akan pernah menyurutkan cita-cita dan semangat baru itu.
Reformasi menghendaki adanya penyelesaian yang demokratik dan mengakhiri segala bentuk aksi kekerasan. Namun dalam menyelesaikan masalah yang terjadi, reformasi itu di Papua dan Aceh tak kunjung menemukan jalan terang. Dampak dari kekerasan yang terus berkesinambungan telah menghilangkan kesempatan terciptanya ruang publik bagi rakyat Papua dan Aceh menyembuhkan diri secara sosial dan mempersiapkan infrastruktur politik baru di tingkat lokal. Dalam trauma yang tak tersembuhkan itu, gerakan penuntutan kemerdekaan (separatis) terus terpupuk dan terus mencari bentuk-bentuk penyalurannya dengan barisan syuhada yang juga kian panjang.
Jadi roh yang tetap menghidupkan gerakan separtisme di Papua dan Aceh kini adalah perlawanan rakyat yang menderita dan menjadi korban dari kebrutalan militer dan pembangunan. Perlawanan terhadap kebrutalan dan penindasan itulah hakekat dari kehadiran
Jadi yang dinyatakan sebagai gerakan separtisme itu oleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar