Selasa, 20 Januari 2009

Fungsi Polri dalam Pemilu

Amiruddin al-Rahab
Pemerhati Politik dan HAM, Staf Senior di ELSAM

Koran Tempo, 21 Oktober 2008

Suhu politik nasional mulai mendidih. Setiap kekuatan politik mulai pasang kuda-kuda, bahkan jauh hari ada yang memainkan jurus pembuka. Penyebabnya adalah dimulainya proses pemilu untuk meraih kursi di DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi dan DPR RI, serta kursi DPD. Dalam seluruh proses tarung politik ini akan terjadi pertikaian internal dan eksternal antarpartai politik dan atau antarkader dalam partai politik itu sendiri. Gejala pertikaian ini telah muncul ke permukaan dengan segala bentuk manifestasinya. Saling gugat dalam menentukan nomor urut telah terjadi. Saling ancam antarpengurus partai telah terkuak. Bahkan saling rebutan kantor pun terjadi. Saling bakar bendera dan nama partai pun terjadi.

Seturut dengan itu, massa pendukung partai dan individu calon anggota legislatif juga akan terseret dalam pertikaian, yang bisa berujung perusakan, penganiayaan, dan kekerasan fisik lainnya.

Dalam sabung politik yang mulai riuh itu, ada sosok lain yang mesti mendapat perhatian lebih, yaitu aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Perhatian kepada Polri bukan dalam arti melihat dia sebagai peserta sabung, melainkan sebagai wasit sabung. Kenapa tidak? Dalam seluruh tahapan sabung politik itu, aparat Polri ditempatkan sebagai penegak hukum sekaligus penjaga ketertiban masyarakat. Singkat kata, selama ini dalam berbagai pilkada, aparat Polri (di semua tingkatan) betul-betul diposisikan sebagai antagonis, yaitu selalu berseberangan dengan kekuatan politik mana pun demi menjaga netralitas. Dalam situasi sulit seperti itu, polisi juga harus melindungi jajaran KPU.

Dalam konteks politik yang kian memanas menjelang pemilu, ada dua hal yang harus diperhatikan oleh jajaran Polri. Pertama, menjaga netralitas agar tidak menjadi sasaran tembak atau diseret oleh partai-partai politik. Kedua, menjaga profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya yang berhubungan dengan penegakan hukum dalam seluruh proses sengketa dan konflik dalam proses sabung politik nasional ini.

Kedua langkah itu harus mendapat perhatian serius oleh Kapolri baru. Sebab, netralitas dan profesionalisme Polri sempat diragukan oleh banyak kalangan dalam dua peristiwa di Jakarta tempo hari. Yaitu, peristiwa demo penolakan kenaikan harga BBM yang berujung tindakan anarkistis dan peristiwa penyerangan kelompok AKBB oleh kelompok kaum bersorban di Monas.

Dalam dua peristiwa di Jakarta itu jajaran Polri seperti terdadak dan tidak siap menghadapi situasi perkembangan politik. Karena terdadak, polisi di satu sisi terkesan membiarkan, terutama aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum sorbanan. Sedangkan terhadap aksi menentang kenaikan harga BBM, aparat polisi bertindak eksesif. Bahkan ada insiden kekerasan oleh aparat polisi di Unas. Dari kesan seperti itu, tak mengherankan jika ada sebagian orang menilai jajaran kepolisian berasyik-masuk dengan kepentingan politik.

Sementara itu, dalam peristiwa perselisihan hasil pilkada di Maluku Utara, jajaran Polri juga tampak kebingungan. Peran polisi terlihat sangat minim, yaitu hanya sebagai penyangga antarkelompok pendukung. Sedangkan kedua kelompok terus-menerus meningkatkan penggalangan opini dan masa, dan tentu saja dana untuk menggagalkan keputusan pemerintah. Bahkan satu sisi tampak aparat polisi di lapangan menjadi korban pertikaian pilkada Maluku Utara ini. Bahkan polisi di Maluku Utara tampak tidak bisa menegakkan hukum secara profesional.

Dari tiga contoh di atas, sesungguhnya tampak ada unsur di dalam jajaran Polri yang belum maksimal bekerja dan belum bisa menempatkan diri dalam perubahan politik yang terjadi. Unsur itu intelijen keamanan. Dalam situasi sabung politik seperti ini, polisi yang berfungsi sebagai penegak hukum harus memiliki informasi dini yang sangat akurat dan cepat. Tanpa informasi yang akurat dan cepat, aparat polisi di lapangan akan menjadi bulan-bulanan massa. Sedangkan para pemimpin akan telat mengambil langkah preemptive dan preventif untuk mengeliminasi dampak kerusakan. Sementara itu, situasi terburuk dari ketiadaan informasi yang akurat dan cepat adalah jajaran kepolisian dijadikan tameng atau dijebak oleh kekuatan politik tertentu untuk melancarkan propaganda hitam terhadap pesaing politik.

Kapolri baru

Kapolri baru harus mengambil langkah konsolidasi sesegera mungkin, khususnya dengan jajaran intelkam (intelijen keamanan) dalam menyambut sabung politik yang telah berlangsung ini. Pemilu ini adalah ujian utama bagi Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Jika konsolidasi itu tidak tampak di lapangan, berarti jabatan Kapolri taruhannya.

Karena itu, Kapolri harus kembali menegaskan secara terbuka bahwa Polri berfungsi dan tugas pokok Polri adalah sebagai penjaga ketertiban umum dan penegakan hukum dalam seluruh proses Pemilu. Karena itu pula tugas aparat kepolisian adalah mengamankan individu, masyarakat, dan penyelenggaraan pemerintahan. Obyek atau sasaran tugas polisi adalah para pelanggar hukum.

Dengan fungsi, tugas, dan obyek tindakan polisi seperti itu, keputusan dalam mengambil tindakan atas terjadinya pelanggaran hukum atau keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melekat pada setiap diri anggota Polri (Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 2/2002). Atau, dengan kata lain, seorang anggota polisi (pemimpin polisi di lapangan) secara prinsip dapat mengambil tindakan ketika terjadi pelanggaran hukum/kamtibmas tanpa menunggu perintah dari atasan. Untuk itu, jajaran kepolisian diberi kewenangan menggunakan alat kekuatan.

Saat ini jajaran kepolisian dihadapkan pada perubahan politik yang cepat, melebih daya kemampuan jajaran kepolisian mengimbanginya. Meskipun demikian, Kapolri harus menggunakan segala daya yang dimiliki Polri. Dengan kata lain, jajaran kepolisian yang tadinya lamban dipaksa bergerak cepat dengan sekaligus meningkatkan daya pakai kapasitas terpasang yang dimiliki jajaran kepolisian untuk menghindari keterdadakan.

Sekarang ini lembaga kepolisian (Polri) adalah lembaga yang paling diharapkan peranannya oleh semua pihak dalam menjaga seluruh proses Pemilu. Karena itu, Kapolri baru tidak boleh ragu-ragu dalam menegakkan hukum terhadap semua bentuk pelanggaran hukum yang menjadi kewenangan polisi untuk menindaknya. Inilah ujian bagi Kapolri. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar