Selasa, 07 Juli 2009

Pesan dari Aceh untuk Jakarta

Amiruddin al-Rahab
Koran Tempo, 6 Mei 2009

Legislator Partai Aceh (PA) dengan kepala tegak akan memasuki gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. PA berhasil menjadi pemenang dan mendapat mandat politik secara penuh dan meyakinkan dari rakyat Aceh. Maknanya untuk lima tahun ke depan, rakyat Aceh telah mempercayakan masa depannya kepada PA.

Meskipun Aceh baru saja keluar dari pertikaian bersenjata, pemilu dengan 44 kontestan (38 partai nasional dan 6 partai lokal) berjalan lancar. Jikapun ada gangguan selama proses pemilu, seperti intimidasi, teror, dan kekerasan yang berlangsung di Aceh, hal itu bisa diibaratkan "pecahnya satu gelas dan piring dalam sebuah kenduri". Mengenai itu, ada pihak yang akan menyelesaikannya, yaitu Panwaslu, KIP (KPU Aceh), dan polisi, bahkan Mahkamah Konstitusi.

PA berhasil meraih sekitar 50 persen kursi DPR Aceh, yaitu bisa mendapat 33 atau 35 kursi dari 69 kursi yang tersedia. Jika dilihat perolehan suara pemilih, PA berhasil meraih 839.014 pemilih dari 1.773.195 pemilih yang menggunakan hak suaranya. Posisi kedua dan ketiga diisi Partai Demokrat dengan 207.676 suara dan Partai Golkar 95.672. Partai Keadilan Sejahtera di posisi keempat dengan 69.613 suara. Partai lokal selain PA tidak ada yang masuk lima besar (KIP Aceh, 25 April 2009).

Melihat raihan kursi PA yang mayoritas tunggal ini, ada dua pesan politik yang tersirat di dalamnya untuk Jakarta (pemerintah pusat). Tiga pesan itu menampakkan gejala yang baik bagi Aceh dan bagi Indonesia.
Mulusnya reintegrasi

Pesan pertama bagi Indonesia adalah pencapaian PA dalam meraih kursi DPR Aceh merupakan pertanda mulusnya proses reintegrasi politik. Artinya, proses politik yang berjalan hampir tiga tahun setelah nota kesepahaman Helsinki berjalan sesuai dengan harapan. Karena itu, bisa dibaca bahwa Indonesia di bawah duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla berhasil memfasilitasi Gerakan Aceh Merdeka bermetamorfosis dari kekuatan gerilya bersenjata menjadi kekuatan politik yang mendukung proses demokrasi.

Dalam cara pandang seperti ini, PA masuk ke koridor politik formal yang diikat oleh Undang-Undang PA. Artinya, seluruh sepak terjang PA di DPR Aceh harus didedikasikan untuk mengimplementasikan Undang-Undang PA secara konsekuen dan konsisten. Untuk itu, dan demi kesejahteraan serta ketenteraman rakyat Aceh, PA harus memulai babak baru dalam berkomunikasi secara politik dengan tiga kekuatan besar di pusat, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat. PA bisa mengandalkan fraksi Partai Demokrat di DPR RI sebagai jangkar ke panggung nasional.
Kerja sama PA dengan PD ini sangat dimungkinkan karena PD memperoleh suara kedua terbanyak di DPR Aceh, yaitu 12 kursi, yang tersebar di semua daerah pemilihan.

Sementara itu, anggota DPR RI asal Aceh juga didominasi oleh Partai Demokrat. Jika kerja sama PA dengan PD ini terjalin baik, PA tidak akan terisolasi di Aceh.
Dalam artian politik, kerja sama PA dengan PD nantinya akan menjadi wajah baru keindonesiaan di Aceh. Dua kekuatan ini sama-sama kekuatan baru dalam gelanggang politik. Inilah babak baru Aceh, di mana Indonesia dan Aceh saling mengintegrasikan diri dalam sistem politik dan aktor politik yang baru.

Setelah keanggotaan DPR Aceh nanti dilantik, reintegrasi politik telah berjalan 75 persen. Sisanya, 25 persen, terletak pada kinerja fraksi PA di DPR Aceh, yaitu dalam memulihkan harkat dan martabat korban kekerasan di masa konflik. Pada korban dan keluarganya inilah PA dan juga PD berutang banyak, karena para korban dan keluarganya telah memberikan jalan dan sekaligus mempercayakan nasib mereka untuk lima tahun ke depan.

Sumbu utama

Pesan kedua, PA merupakan satu-satunya kekuatan politik baru yang mampu menggeser kekuatan politik nasional dan kekuatan politik lokal lainnya secara signifikan dan mengesankan. Dapat dikatakan rakyat Aceh telah menempatkan PA sebagai sumbu utama politik di Aceh saat ini. PA akan menjadi penentu arah dan laju pembangunan politik dan ekonomi Aceh. Kehadiran PA akan mengubah segala hal dalam ranah politik dan pemerintahan di Aceh.

Karena itu, semua pihak di Jakarta, khususnya instansi dan badan dalam pemerintah pusat, harus meninggalkan paradigma yang bernada memojokkan PA. Bertolak dari hasil pemilu, PA merupakan mitra potensial pemerintah pusat untuk membangun dan memajukan kehidupan rakyat Aceh. Jika unsur-unsur pusat terperangkap dalam paradigma lama melihat Aceh, hasil yang dicapai dalam tiga tahun ini akan menjadi sia-sia.
Untuk itu, para pemimpin PA dan pemerintah pusat serta pemimpin partai di tingkat nasional perlu kiranya menilik hasil kajian Profesor Olle Tranquis tentang transisi di Aceh. Profesor Olle dan kawan-kawan secara tersirat dan tersurat dalam penelitiannya mengenai proses demokrasi dan pembaruan politik di Aceh menyatakan diperlukannya kerangka politik bersama dalam menata Aceh.

Tantangan

Dalam pandangan Profesor Olle, selama tiga tahun ini proses transisi di Aceh terjebak pada hal-hal yang pragmatis dan bersifat transaksional. Jika keadaan ini berlanjut, setelah kemenangan PA, Aceh akan memasuki lorong transisi tanpa ujung (frameless transition).

Sebagai kekuatan politik dominan yang mengisi legislatif dan eksekutif Aceh, yang disimpulkan Profesor Olle perlu menjadi pemicu bagi para elite PA di DPR Aceh dalam memperbaiki diri dan kinerja. Tantangan utamanya adalah PA harus memacu diri menjadi pelayan rakyat Aceh sesegera mungkin.

Untuk berhasil menjalani lakon baru ini, PA harus mengubah mental dan budaya politiknya, yaitu dari perasaan sebagai pemenang dan pejuang menjadi sebagai pelayan yang bisa dikritik dan dikontrol oleh rakyat Aceh dari segala lapisan. Singkatnya, ke depan, PA semestinya mulai memposisikan diri sebagai pengayom seluruh rakyat Aceh tanpa pengkotak-kotakan. Sekaligus menjadi sandaran pemerintah pusat dalam mengelola Aceh baru.

Untuk bisa mencapai itu, PA dan pemerintah Aceh tidak memiliki waktu yang panjang untuk merumuskan kerangka pembangunan agenda hak asasi manusia, politik, sosial dan ekonomi, serta budaya di Aceh. Sekali lagi, pesan rakyat Aceh jelas kepada Jakarta, bahwa PA telah dinobatkan sebagai pembawa masa depan bagi Aceh. Selanjutnya tergantung kelihaian, kesabaran, dan kecerdasan PA dalam memainkannya. Semoga.*

Analis politik dan hak asasi manusia di ELSAM, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar