Selasa, 07 Juli 2009

GERAKAN PAPUA MERDEKA: PENCIPTAAN IDENTITAS KE-PAPUA-AN VERSUS KE INDONESIA-AN.

Amiruddin al Rahab
(Jurnal Dignitas, Volume III/No.1/2005, ELSAM)

Abstract

The continuation of the Free Papua movement should be understood within the context of their efforts to present the Papuan identity that has long been overshadowed by the integrative policies of Indonesia. This essay shows how the Papuan identity grew and developed, and 'then kept down and only sprea d among the low current of the population after the integration process with Indonesia. When the authority of the integration proponents weakened, this identity re-emerged as a substitute for the Irian Jaya identity and the domination and violent acts of the New Order regime.

This Papuan identity grew stronger mostly due to the dissatisfactory of the Papuans of the discriminative and oppressive acts towards the integrity, and pride of the Papuans, who have been a lot of times been underestimated by the Indonesian people from outside Papua. Thus, the efforts to resolve the Papuan problem should be carried out through the elimination of the discrimination and oppression, on, which have been a counterproductive practice against the effort to build an Indonesian identity in Papua.

Pengantar ke Persoalan

Hubungan pusat dan daerah merupakan isu politik yang rawan dalam sejarah politik Indonesia, karena kerap kali menimbulkan ketegangan. Ketegangan itu bisa dilihat sebagai hubungan tarik-menarik antara kutub integratif dan disintegratif untuk mewujudkan —apa yang sampai hari ini – disebut Indonesia. Dalam dinamika faktor integratif dan disintegratif itu-lah indentitas ke-Indonesia-an dan kedaerahan dibentuk dan menjadi seperti yang kits pahami hari ini. Dinamika yang memperlihatkan sikap daerah yang menentang pusat dalam politik Indonesia dikenal sebagai peristiwa pergolakan daerah atau sekarang disebut gerakan separatisme.

Gerakan separatisme atau kehendak untuk memisahkan diri dari pusat merupakan faktor disintegratif yang keberadaanya hanya bisa dipahami dengan melihat bagaimana faktor-faktor integratif mengejawantahkan dirinya. Dengan cara pandang ini faktor disintegratif tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu berkaitan dengan kerja-kerja faktor integratif. Upaya pemerintah pusat yang memaksakan kehendak serta menyeragamkan seluruh gerak politik daerah, pada tataran tertentu akan melahirkan reaksi dari daerah karena upaya pusat itu diangap telah melakukan intervensi terlalu jauh. Keberadaan Organisasi Papua Merdeka (OPM) atau pihak-pihak yang hendak mewujudkan Papua Medeka serta tumbuhnya dukungan terhadap upaya itu tidak terlepas dari tindakan intimidatif, kekerasan, perampasan tanah, sikap memandang rendah, serta perasaan diperlakuan tidak adil oleh aparatus negara Indonesia di wilayah itu selama proses integrasi terjadi.

Gerakan separatisme yang terjadi di Papua tentu adalah gerakan separatisme yang menank untuk dicermati karena beberapa alasan. Pertama, Papua saat ini adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang proses integrasinya melalui mekanisme internasional dengan penentuan jajak pendapat. Kedua, Gerakan separatisme di Papua menunjukan watak gabungan antara pemahaman tradisional suku-suku atau cargo cultyang meyakini akan datang hari bahagia di masa datang dengan simbolisasi pemujaan terhadap koreri atau bintang kejora di satu sisi dengan disisi lain dipimpin oleh orang-orang yang terdidik secara modern balk di Jawa mau pun di luar untuk melakukan lobi-lobi politik kepada pemerintah pusat. Ketiga, gerakan separatisme di Papua ini bertahan lama dan selalu mampu memperbaharui kepemimpinannya.

Seorang ahli politik Australia R. J. May mengemukakan nasionalisme Papua berkembang tidak berbeda dengan nasionalisme yang berkembang di Papua New Guinea (PNG). May menyebutnya micronasionalisme yang cirri-cirinya adalah perlawanan lokal secara spontanitas, meskipun berbeda-beda gejalanya namun memiliki satu tujuan yaitu reaksi terhadap keadaan perkembangan ekonomi, social dan politik yang memburuk. Gerakan itu dipengaruhi oleh paham lokal suku-suku tentang cargo cult dan memperlihatkan gerakan oposisi lokal terhadap pemerintah pusat.

Micronasionalisme ini berkembang seiring dengan sikap dan sepak terjang pemerintah pusat terhadap gerakan-gerakan lokal yang ada. Atau dengan kata lain, sangat berkaitan dengan intervensi sistem politik yang diangap sebagai pemerintah penjajahan terhadap kehidupan sosial masyarakat lokal .

Bertolak dari pandangan May ini, bisa kita lihat nasionalisme Papua muncul dari gejala perlawanan kelompok-kelompok kecil yang berawal dari gerakan-gerakan suku dan kemudian menjadi berdimensi politik. Menurut Benny Giay gerakan-gerakan suku yang berwatak cargo cult ini pada prinsipnya berhubungan dengan harapan atau impian masyarakat untuk medapatkan pengakuan status, kekayaan, kedamaian, dan kehidupan yang lebih balk. Gerakan-gerakan ini menekankan dan mengunakan ritus-ritus dan doktrin-doktrin religi Berta magis. Secara umum gerakan cargo ini adalah gerakan yang mendambakan kedatangan kekayaan (kesejahateraan) dengan cara-cara yang bersifat magis. Beranjak dari perlawanan yang berdimensi suku¬suku yang berdimensi cargo cult (ratu adil) itu kemudian berkembang menjadi satu identitas yang baru yaitu kepapuaan.

Identitas ke-papua-an itu terbangun sejalan dengan tumbuhnya pendidikan modern di Papua yaitu sekolah Pamong Praia yang didirikan oleh Pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1940. Dalam menjalani pendidikan menjadi pegawai administratif Kolonial Belanda inilah kesempatan bagi anak-anak suku-suku Papua itu memperbincangkan persoalan ke-papua-an dan mendiskusikan kemungkinan-kemungkian Papua Barat menjadi satu bangsa dengan negara. sendiri. Nasionalisme yang mulai tumbuh ini mendapat wadahnya di tahun 1960-an ketika Belanda menjanjikan negara sendiri bagi Papua selepas proses dekolonisasi terjadi. Untuk proses itu bendera, lagu dan lambang negara dipersiapkan. Dari proses ini-lah benih nasionalisme Papua itu tersemai lebih banyak dan menjangkau wilayah suku-suku lebih luas.

Nasionalisme Papua yang telah menumbuhkan identitas ke-papua-an sebagai ganti dari identitas suku-suku itu kemudian terbenam dan menjalar di arus bawah selama berintegrasi kedalam Republik Indonesia. Di kala kekuasan yang menjaga integrasi itu melemah seiring dengan teriadinya reformasi politik di Indonesia identitas kepapuaan itu kembali bangkit. Mundan S. Widjojo dalam melihat proses baru ini menyatakan "ke-papuaan kembali dihidupkan sebagai identitas alternatif dari identitas "Irian Jaya" yang telah identik dengan Indonesia beserta penindasan dan praktek kolonialismenya. Perasaan satu identitas disatukan oleh memori penderitaan kolektif dan kongruensi aspirasi yang bersumber dari mitologi suku-suku bangsa tentang milenium baru dan mesianisme." Nama Papua menjadi penanda dari identitas baru itu dalam membangun identitas bersama, yang berdimensi entosentris.

Dalam mencermati gerakan separatisme atau tumbuhnya nasionalisme kepapuaan ini sebagai identitas politik di Papua pertanyaan yang perlu dijawab adalah apa faktor yang menjadi Tatar belakang gerakan itu muncul dan bertahan. Kedua bagaimana meletakkan gerakan itu dalam formasi politik Indonesia kini.

Separatisme: Faktor-Faktor Pencetusnya

Secara umum banyak yang mengatakan bahwa proses pembentukan identitas keindonesiaan selalu mendapat tantangan dari segelintir elit yang berupaya memunculkan identitas kedaerahan karena kecewa. Upaya memunculkan identitas kedaerahan ini-lah yang kemudian didalam literatur politik Indonesia dikenal sebagai gerakan separatisme. Dalam tulisan ini munculnya identitas kedaerahan —atau kepapuaan— tidak dilihat sekedar gerakan segelintir elit daerah yang sakit hat melainkan dilihat dalam konteks perkembangan sosio-politik dan keseiarahan yaitu bangkitnya sebuah identitas.

Dalam cara melihat seperti ini, apa yang disampaikan R Z. Leirissa dalam bukunya Sejarah Proses Integrasi Irian Jaya menjadi tidak relevan lagi. Dalam buku yang disponsori oleh Depdikbud di tahun 1992 ini Leirissa menyatakan:

Belanda rupanya tidak sia-sia membentuk organisasi-organisasi dan membinanya serta menjanjikan "Kemerdekaan Papua". Penduduk Papua pun nampaknya termakan oleh hasutan dan menanti janji yang akan diberikan oleh Belanda; karena itu gerakan-gerakan para separates buatan Belanda merupakan "born waktu" yang dipersiapkan dan sewaktu-waktu dapat meledak.
Semuanya memang telah direncanakan dan ditanamkan kepada mereka oleh Belanda kemudian ditinggalkannya. Mereka hanya beberapa penduduk ash yang masih mengangan-angankan dan mempertahankan Negara Papua Medeka.

Dengan cara pandang seperti Leirissa ini terasa sangat dangkal dan selalu menyalahkan pihak asing atas kegagalan-kegagalan pemerintah Indonesia mengelola Papua setelah integrasi dinyatakan sah tahun 1969. Selain itu pandangan ini juga memperlihatkan bahwa dalam menyikapi gerakan separatisme di Papua, pemerintah seakan-akan tutup mata atas berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparatus negara RI seperti militer, polisi dan aparat pemerintah Daerah (Pemda) sendiri terhadap rakyat di Papua. Selain itu juga pandangan ini memperlihatkan sikap acuh tak acuh pemerintah atas terjadinya gelombang perebutan tanah, penguasaan oleh HPH dan perusahaan tambang besar seperti PT Freeport Indonesia di Papua.

Dalam menelaah gerakan kedaerahan atau separatisme perlu dilihat berbagai faktor yang memungkinkan gerakan itu tumbuh dan bertahan serta didukung oleh orang banyak. Telaah C. Van Dijk tentang pemberontakan Darul Islam yang terjadi di Jawa, Sumatera, Kalimantan Berta Sulawesi dan karya Kahin dan Kahin yang menganalisa pergolakan daerah dikobarkan PRRI/Parmesta yang terkonsentrasi di Sumatera. dan Sulawesi perlu dikaji untuk memahami gerakan yang kini muncul di Papua.

Ulasan Van Dijk mengemukakan beberapa faktor yang memicu muncul, bertahan dan tumbuhnya dukungan kepada gerakan Darul Islam (DI). Pertama adalah penetrasi negara yang begitu cepat ke dalam kehidupan masyarakat dengan menyeragamkan standar birokrasi sipil dan militer. Penetrasi itu dianggap sebagai ancaman terhadap kehidupan ekonomi dan politik beberapa kelompok di daerah. Kedua sentralisasi pengendalian sumber-sumber keuangan negara. Bagi kekuatan politik di daerah, sentralisasi ini dianggap sebagai ancaman karena akan menghilangkan kesempatan dan kemungkinan untuk mengakumulasi kekayaan yang nanti bisa digunakan untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan ditingkat lokal. Untuk faktor ini Van Dijk mengemukan "di belakang semua konflik ini nampak persoalan uang". Ketiga, adalah faktor yang berkaitan dengan dukungan massa yaitu persoalan tanah. Hamper di semua daerah yang menclukung pemberontakan terjadi kemacetan mobilitas sosial. Van Dijk menyebutnya proses individualisasi kepemilikan tanah telah memecah ikatan komunal lama. Perkembangan ini menimbulkan kegamangan sosial bagi mereka yang telah melepaskan ikatannya dare tanah komunal dipaksa kembali masuk kedalam ikatan desa.
Kahin dan Kahin mengemukakan pemberontakan PRRI/Parmesta buncah karena terjadinya sentralisasi pengelolaan ekonomi yang menimbulkan keresahan di daerah dan beralihnya kekuasaan lokal ke tangan pemerintah pusat dalam penunjukan-penunjukan pejabat daerah tanpa melibatkan maasyarakat daerah. Dua faktor ini muncul karena tidak di¬penuhinya tuntutan oleh otonomi daerah dalam waktu yang lama. Disamping itu Kahin juga mengemukakan manuver politik para, perwira militer di daerah dalam menentang pusat di satu sisi dan dukungan Amerika terhadap pemberontakan itu di sisi lain. Disamping itu juga lemahnya pemerintah pusat untuk mampu mengendalikan para perwira-prwira milliter yang menguasai daerah.

Faktor-faktor yang dikemukakan Van Dijk dan Kahin juga kita temukan di Papua. Jhon RG. Djopari menulis bahwa OPM sejak tahun 1964 telah melancarkan pemberontakan. Menurut Djopari pemberontakan OPM itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: pertama, aspek politik akibat gagalnya proses penentuan nasib sendiri karena seluruh prosesnya diserahkan kepada Indonesia setelah perjanjian New York tahun 1962. Kedua, memburuknya kondisi perekonomian, terutama kelangkaan bahan pangan dan sandang Berta korupsi yang dilakukan pejabat Indonesia yang menggantikan administrator Belanda. Ketiga adalab aspek psikologis yaitu akan cepat bereaksi ketika janji-janji tidak ditepati. Keempat, problem sosial, yaitu hilangnya jabatan dari para kepala-kepala suku ketika beralihnya kekuasaan ke Indonesia dari Belanda. Kelima, adanya pemaham sejenis ratu adil atau cargo cultyang mendambakan jaman baru.

Dari beberapa aspek itu kemudian Djopari menyimpulkan bahwa pemberontakan OPM di Papua terjadi karena " tidak puas terhadap keadaan, kekecewaan dan tumbuhnya kesadaran nasionalisme Papua Barat". Aspek psikologis ini kemudian berpadu dengan sikap diskriminatif atau sikap memandang rendah terhadap orang-orang Papua oleh aparat dari luar Papua. Dari seluruh faktor-faktor yang dikemukakan Djopari ini, satu catatan penting dari Djopari adalah bahwa orang Papua "Tidak puas dan kecewa karena mulai pada awal integrasi rakyat Irian Jaya mulai ditekan, diintimidasi oleh pemerintah Indonesia dalam rangka `mengindonesiakan' rakyat Irian Jaya sebagai mission politik yang diarahkan kepada suskesnya penyelengaraan PEPERA tahun 1969."

Mengenai perkembangan nasionalisme Papua dan hubungannya dengan gerakan separatisme bisa disimak dari George J. Aditjondro. Nasionalisme Papua berkembang dalam ruang pemahaman yang hendak melihat wilayah barat pulau Papua menjadi satu negara merdeka. Nasionalisme itu berkembang dalam spektrum yang cukup rumit pula antara gerakan bersenjata atau diplomasi, bentuk negera unitaris atau federalis dalam hubungannya dengan negara-negara Pasifik Selatan, sistem sosial ekonomi yang sosialis atau kapitalis, dan diakuinya agama Kristen sebagai agama dominan atau tidak..

Menurut Aditjondro nasionalisme Papua itu tumbuh perlahan-lahan dan kemudian menyebar ke seantero, Papua. Pertumbuhannya dimulai dari adanya gerakan di Kepala Burung di tahun 1965 ketika Batalyon Papua melancarkan gerakannya dibawah pimpinan Johan Ariks dan Mandatjan Bersaudara. Kemudian gerakan itu kian tumbuh dengan diproklamasikannya kemerdekaan Papua oleh Seth Jafet Rumkorem tahun 1971 di dekat perbatasan dengan PNG. Dalam proklamasi ini wilayah negara Papua secara kartografis ditentukan dengan melihat lintang utara-selatan, barat-timur dan pulau-pulau kecil di seputar pulau besar Papua. Wilayah itu adalah "dari Numbai (sekarang jayapura) sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Binatang), dari Biak sampai ke Pulau Adi."

Dengan menganalisa gelombang perlawanan berseniata dan tanpa senjata di Papua Berta melihat perkembangan tokoh-tokoh gerakan separatisme itu Aditjondro menyatakan bahwa nasionalisme Papua berkembang seiring dengan intensitas kekerasan yang dilancarkan oleh aparat keamanan Indonesia terhadap gerakan itu. Di sisi lain tokoh-tokoh yang menjadi pionir dari perlawanan di Papua kian hari kian berkembang melintasi suku-suku dan memperlihatkan pendidikan yang kian balk. Hal itu diperlihatkannya derigan membandingkan tokoh-tokoh awal dari gerakan yang di cap OMP seperti Johan Arik sampai ke Dr. Tom Wangai.

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa sejarah pergolakan daerah di wilayah Indonesia lainnya maupun di Papua terdapat faktor-faktor yang sama dalam memicu gerakan separatisme muncul dan bertahan. Ulasan lebih lanjut adalah melihat faktor-faktor dominan dalam gerakan separatisme di Papua dan perkembangan politik lokal yang membuat gerakan separatisme di Papua itu bisa bertahan.

Separatisme Kini: Tinjauan terhadap Papua

Gerakan membentuk identitas kepapuaan sebagai identitas barn di luar suku dan identitas ke keindonesiaan merupakan problem serius pula dalam gerakan separatisme di. Papua. Hal itu terjadi karena masyarakat Papua bukanlah satu komunitas yang homogen seperti yang dipahami oleh orang luar Papua. Masyarakat Papua terdiri dari 250 suku yang satu sama lain berdiri otonomi atau tidak ada satu suku tunduk kepada suku lainnya. Setiap suku unik dan mandiri serta memandang dirinya sebagai pusat semesta. Kepala¬kepala suku bukan berperan sebagai penguasa tunggal dengan otoritas penuh, melainkan hanya berfungsi sebagai juru bicara. Hal ini terjadi karena terbatasnya interaksi di masa lalu dan tidak adanya alas interaksi yang efektif untuk mampu menghubungkan seluruh suku-suku itu. Keragaman bahasa serta kondisi alam adalah kendala pokoknya.

Kehadiran Belanda belum mampu mengatasi kendala itu secara signifikan. Kehadiran Indonesia yang mengubah secara perlahan heterogenitas itu. Dengan sendirinya kehadiran Indonesia dan identitas keindonesiaan secara tidak langsung menyediakan wadah bagi hadirnya identitas ke-papua-an. Dalam pengalaman bersama dengan Indonesia, orang-orang Papua mulai membayangkan kebangsaan Papua. Perkembangan teknologi komunikasi dan bahan bacaan serta tingkat melek huruf menjadi peluang besar bagi elit¬ baru Papua mengkonsolidasikan proses identitas ke-papua-an itu. Proses konsolidasi identitas ke-papua-an itu mendapat momentumnya ketika proses demokratisasi di Indonesia terjadi.

Ketika reformasi politik terjadi, di Papua perubahan politik juga muncul. Rakyat Papua yang hidup dalam ketakutan selama bertahun-tahun mulai menampakan keberaniannya. Hal itu ditandai oleh peristiwa demonstrasi besar-besaran dan pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa kota, yang diawali di Blakjuli 1998 kemudian menjalar ke beberapa kota seperti Sorong, Timika, Merauke, Nabire, Wamena dan jayapura. Demonstrasi-demonstrasi pengibaran bendera Bintang Kejora 1998 menunjukan satu gejala baru, simbolisasi identitas ke-papua-an dipertunjukan secara terbuka di perkotaan dengan aktor-aktor baru.

Isu-isu yang dibawa dalam demonstrasi berkaitan dengan pergolakan menjadi Indonesia di satu sisi dan menjadi Papua di sisi lain. Isu-isu-nya bersumber dari refleksi atas pengalaman dimasa lalu sebagai korban dari kesewenang-wenangan kekuasaan, maupun refleksi atas keticlakadilan ekonomi serta perlakukan yang diskriminatif yang dihadapi. Isu itu diantaranya adalah: 1) pertanggungjawaban pemerintah pusat atas terjadinya rangkaian pelanggaran HAM di Papua, 2) hak untuk berpartisipasi dalam jenjang kepegawaian di Papua, 3) Pengendalian perampasan kekayaan alam
di Papua, 4) persoalan transmigrasi, 5) persoalan hak ulayat atas tanah.

Ketika tuntutan itu tidak mendapat respon sebagaimana mestinya, dan seringkali dihadapi dengan kekerasan tuntutan keadilan itu berubah menjadi tuntutan kemerdekaan. Seiring dengan perubahan isu, terjadi pula perubahan aktor. Diawalnya dilancarkan oleh pemuda dan mahasiswa kemudian masuk kelompok-kelompok tua dan pars cendekiawan dan tokoh-tokoh agama kedalam isu-isu politik dengan mengusung persoalan lama, yaitu masalah PEPERA. Akhirnya segala tuntutan demokratisasi kemudian bermuara pads satu tuntutan yaitu "pelurusan sejarah".

Pada tahap ini gejala separatisme di Papua dimainkan oleh orang-orang baru yang sama sekali tidak berhubungan dengan OPM sebelumnya. Beragamnya aktor ini terlihat dari kian banyaknya kelompok-kelompok yang menyatakan tuntutan kemerdekaan, seperti Persidium Dewan Papua, Aliansi Mahasiswa Papua Berta tokoh-tokoh Agama dan Adat. Selain itu gerak dari aktor-aktor itu kian terbuka dan meluas ke beberapa kota, balk di Papua mau pun di luar Papua. Dengan melihat dua gejala ini maka OPM bukan lagi satu-satunya aktor yang menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia. Pola gerakan juga mulai berubah yaitu dari tertutup dan bersenjata di hutan¬hutan berkembang ke gerakan yang bersifat diplomasi di perkotaan.

Perkembangan diplomasi untuk mencari kemerdekan bagi Papua ini mencapai puncaknya bulan Februari 1999 ketika 100 orang tokoh-tokoh Papua datang menghadap Presiden RI B. J. Habibie di istana. Permintaan merdeka itu ditepis oleh Habibie dan menyuruh mereka semua kembali untuk merenungkan permintaan itu. Sekembali dari Jakarta 100 tokoh-tokoh Papua ini melancarkan gerakan-gerakan di daerah-daerah dengan merangkul orang lebih banyak lagi. Dalam rangka merangkul itu salah satu kegiatannya adalah mendirikan Posko-posko untuk mensosialisasikan pertemuan dengan presiders itu. Kekerasan kerap terjadi ketika polisi melarang pendirian posko-posko dan menangkap penggeraknya.

Komnas HAM dalam menyikapi perkembangan ini, menyatakan bahwa kekerasan di Papua sangat berkait dengan dinamika politik lokal Papua. Di saat dinamika demokratisasi di Papua menguat dan aparat melemah legitimasinya karena terlibat dalam pelanggaran HAM dan persoalan sosial lainnya, akhirnya pemerintah mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar di beberapa tempat. Bahkan Presiden baru kala itu Abdurrahman Wahid yang mengantikan Presiden Habibie menganti nama Irian Jaya menjadi Papua dan meminta maaf secara resmi atas berbagai kekerasan yang terjadi di masa lalu. Seiring dengan itu Komnas HAM menyatakan masalah mendasar di Papua adalah "ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan aparat keamanan Berta semakin menonjolnya masalah ketidakadilan dan terjadinya diskriminasi secara politik, ekonomi, dan social yang dialami rakyat Papua".

Dalam perkembangan ini peranan Persidium Dewan Papua menjadi penting sebagai protagonis barn dari ide Papua merdeka. PDP dibentuk melalui Kongres Rakyat Papua II bulan Februari 2000 dengan menujuk Theis Hiyo Eluay sebagai ketua dan Tom Beanal menjadi wakil ketua. PDP membuka ruang politik lebih lugs bagi aspirasi merdeka di Papua. Hal ini dimungkinkan oleh kebijakan Presiders Abdurrahman Wahid yang memberi kelonggaran secara politik. Bahkan presiders memberikan sumbangan dana bagi penyelenggaraan Kongres Rakyat Papua di Jayapura itu sebesar satu milyar rupiah.

Benny Giay seorang intelektual Papua mengambarkan diskriminasi secara gamblang dengan mengatakan "susah menjadi orang Indonesia." Menyitir ungkapan itu Giay ingin menyatakan bahwa orang-orang Papua yang telah mengabdi kepada Indonesia dan telah menjalani pendidikan dengan cara Indonesia tetap Baja dianggap bodoh, pemalas dan pemabuk. Oleh karena itu orang Papua tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Selain itu, setup aparat Indonesia atau pandangan pemerintah Pusat dalam proyek "indonesianisasi" di Papua yang cenderung menyeragamkan orang Papua dianggap telah menghilangkan identitas ke-papua-an dan itu dianggap mengancam keberadaaan orang Papua. Perasaan terancam, diskriminasi dan kriminalisasi yang dialami orang Papua, dalam perkembangannya telah menimbulkan kesadaran bahwa orang Papua hidup dalam kondisi terjajah oleh Indonesia.

Untuk keluar dari kondisi terjajah Benny Giay menyatakan perlu merumuskan Papua Baru yang bertolak dari pengalaman hidup orang Papua sendiri yang bertolak dari 1), pengalaman sejarah: peristiwa integrasi dengan RI yang dipaksakan. 2), interaksi dengan pejabat dan swasta Indonesia yang datang ke Papua hanya untuk merampas kekayaan alam dan membunuh orang Papua atas nama pembangunan. 3), ide Papua Baru tidak terlepas dari pengalaman penderitaan orang Papua secara pribadi dan kolektif selama 30 tahun bergabung dengan Indonesia. Dalam ide Papua Baru yang dikemukakan oleh Benny Giay ini terlihat pengalaman hidup orang Papua yang dikonseptualisasi menjadi identitas ke-papua-an yang berhadap-hadapan dengan identitas Indonesia yang sedang dipaksakan. Oleh karena itu ide Papuanisasi merupakan loncatan dalam politik lokal Papua untuk meng¬hadapi identitas Indonesia yang dianggap telah menindas.

Papuanisasi sekaligus merupakan langkah untuk mengatasi sekat-sekat kesukuan dalam politik lokal Papua. Artinya identitas baru dalam papuanisasi menggantikan identitas suku-suku dalam rangka menghadapi pemaksaan identitas keindonesiaan. Artinya papuanisasi merupakan pisau bermata dua dalam pembentukan identitas Papua. Satu matanya mengarah kedalam. Papua sendiri yaitu untuk menjembati keragaman suku-suku dan memudahkan membentuk identitas bersama dan kepemimpinan dalam politik lokal. Mata kedua adalah berfungsi sebagai benteng untuk menghadapi intervensi terus¬menerus dari Indonesia dalam merumuskan apa yang disebut Papua itu.

Mengenai Papuanisasi ini bisa kita simak lebih jauh pandangan Giay bahwa Papua Merdeka dilihatnya sebagai satu kesempatan bagi orang-orang Papua untuk berperan lebih besar dalam mengendalikan dan mengelola segala potensi Papua. Dengan demikian Papuanisasi "pada hakekatnya adalah satu ide atau siasat untuk mengembalikan "kedaulatan" atau kemerdekaan ekonomi, politik, sosial dan budaya serta agama atau teologi kepada orang Papua sendiri sebagai subyek." Sebagai subyek dalam menjalankan kedaulatan itu orang-orang Papua akan berjalan menuju Papua baru yang merdeka. Dari sini dapat ditangkap bahwa ide-ide para tokoh Papua yang betul-betul bertolak dari pengalaman kongkret mereka. Selain itu juga merefleksikan bagaimana tersisihnya mereka selama ini dalam segala bidang. Dalam mencapai Papuanisasi itu jalan damai adalah pilihan yang mereka ambil.

Dengan tawaran jalan damai dan diplomasi mulai bisa dilihat pergeseran mengenai metode dan aktor dari gerakan menuntut merdeka di Papua. Artinya saat ini di Papua telah terjadi satu perkembangan baru, yaitu ide merdeka yang di kumandangkan oleh OPM bertahun-tahun dengan metode gerilya di hutan-hutan telah berganti rupa menjadi gerakan terbuka diperkotaan. Disisi lain gerakan diperkotaan ini merumuskan ide Papua Baru lebih maju dari OPM. Selain itu ide merdeka di Papua berkembang secara cepat saat ini berkat terjaclinya proses demokratisasi di satu sisi dan kian gagalnya pemerintah untuk mengantisifasi perubahan tuntutan di Papua disisi lain.

Dalam perubahan itulah Persidium Dewan Papua (PDP) dan berbagai organisasi mahasiswa, serta beberapa orang yang aktif di LSM dan pemuka gereja menjadi motor bagi upaya menuntut pengakuan atas identitas Papua yang baru itu. Kehadiran PDP kian menenggelamkan peranan OPM, yang akhirnya memaksa OPM berkompromi dengan ide-ide dari PDP dan mahasiswa dan tokoh-tokoh Adat. Kepemimpinan di PDP yang menunjukan terjembataninya orang pantai dan orang gunung mampu membangun identitas ke-papua-an secara lebih balk. PDP berhasil mematahkan gap-gap suku dan pertentangan suku-suku menuju identitas baru papua dengan semboyan Papua Merdeka. Richard Chauvel dan Ikrar Nusa Bakti menyatakan ketika inilah PDP mulai dianggap sebagai ancaman serius bagi Jakarta karena stigma OPM dan adu domba suku tidak bisa lagi digunakan untuk mempertahankan identitas keindonesiaan di Papua. Ketika Jakarta melihat aktivitas PDP yang menempuh jalan damai dan bergerak diperkotaan dengan ide merdekanya, pemerintah Indonesia kehilangan kesempatan untuk melancarkan cara-cara lama, yaitu pembunuhan atau penculikan. Cara baru ditempuh untuk melumpuhkan PDP yaitu melakukan penangkapan terhadap pimpinannya.

Meskipun demikian yang perlu dicermati dari perkembangan gerakan kemerdekaan di Papua adalah selama reformasi telah terjadi regenerasi aktor dan perubahan aktor. Jika diperhatikan hampir semua pemimpin gerakan pro-kemerdekaan setelah tahun 1998 di Papua adalah orang-orang yang tadinya bersama dengan Indonesia, seperti Tom Beanal dan Theis Hiyo Eluay atau Don Flassy serta Thaha Al Hammid. Theis dan Tom Beanal ikut dalam Pepera dan berpihak kepada Indonesia, serta menjadi anggota DPRD selama 15 tahun dari fraksi Golkar di Jaya Pura. Tom Beanal yang juga angota DPRD Kabupaten Mimika dari Golkar selama 10 tahun sebelumnya. Don Flassy adalah mantan Sekwilda Provinsi Papua di tahun 1990-an ketika terlibat dalam PDP dia diberhentikan karena dituduh makar. Sedangkan Thalia Al Hammid pernah menjadi ketua Bako HMI untuk Papua semasa la mahasiswa dengan latar belakang keluarga yang sangat pro-Indonesia di Kabupaten Fak-fak. Mereka ini kemudian semuanya ditangkap tahun 2000 dengan tuduhan melakukan subversi tetapi kemudian dibebaskan. Selain itu pemuda-pemuda dan mahasiswa yang mengusung identitas ke-papua-an yang menentang Indonesia sebagian besar juga dididik dalam universitas-universitas terbaik Indonesia di jawa dan Sulawesi.

Penutup

Kehadiran Indonesia di Papua sejak tahun 1963 sampai era otonomi khusus ini adalah menjanjikan kesejahteraan dan kedamaian. Dalam janji-janji itu para. pembuat kebijakan dan pemerintah di Jakarta berharap secara perlahan-lahan identitas Papua yang mulai tersemai di tahun-tahun akhir kekuasaan Belanda di Papua bisa beralih menjadi identitas Indonesia. Namun sayangnya yang terjadi adalah aspirasi rakyat Papua dalam proses peng¬integarasian itu tidak tersalurkan sebagaimana mestinya. Rakyat Papua dalam proses integarasi itu merasa dipaksa untuk menjadi Indonesia, bahkan merasa menjadi korban dari kesewenang-wenangan.

Kesewenang-wenangan itu diutarakan oleh rakyat Papua kala ini dengan menuntut pertangung jawaban atas berbagai jenis pelanggaran HAM di masa lalu. Balk pelanggaran HAM itu berada dalam dimensi sosial politik mau pun ekonomi dan budaya. Stigma OPM yang disandangkan kesetiap pundak orang Papua yang menuntut perlakukan aparat agar lebih manusiawi pada gilirannya kian menjauhkan identitas ke-indonesia-an dalam rakyat Papua. OPM akhirnya dipahami oleh Papua bukan sebagai hal yang rill dalam politik melainkan stigma yang menjadi alai bagi aparat birokrasi dan keamanan untuk menancapkan dominasi identitas Indonesia kedalam benak dan pisik orang Papua.

Segala bentuk pemaksaan itu akhirnya menjadi kontra-produktif bagi penciptaan identitas keindonesiaan di hati dan pikiran rakyat di Papua. pemaksaan itu akhirnya kian menjauhkan rakyat Papua dari Indonesia. Secara politik dengan melihat hasil-hasil yang kontra produktif itu pemerintah Indonesia dan komunitas politik di Indonesia perlu mengkoreksi pemahaman dan pandangan mengenai perkembangan politik di Papua. Seluruh aksi-aksi penolakan terhadap identitas Indonesia di Papua mesti dilihat sebagai kegagalan politik nasional dalam memaknai perkembangan dan persepsi politik yang berkembang di Papua tentang Indonesia.

Penyikapan yang positif terhadap perkembangan politik yang berbau separatisme di Papua pada dasarnya akan menjadi faktor yang menentukan bagi perkembangan demokrasi hubungan pusat dan daerah di Indonesia. Oleh karena itu pengibaran bendera Bintang Kejora mestilah dipersepsikan seperti Presiders Abdurahman Wahid mempersepsikannya, yaitu sebagai identitas kultural yang sedang mencari bentuk.

Pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua harus dipahami sebagai ritus kebudayaan bagi rakyat yang sedang menderita dalam rangka menanti zaman baru, yaltu-masa yang lebih sejahtera dan damai. Kibarannya seperti panggilan suci kepada leluhur dan pengibaran itu merupakan satu undangan untuk berdoa bersama menanti datangnya kerajaan surga. Maka dari itu setiap pengibaran bendera terjadi akan berkumpul ratusan bahkan ribuan orang, mereka berdoa sambil berputar mengitari tiang bendera sambil seakan¬akan berkata "Datanglah kerajaan-Mu, bebaskanlah kami dari peluru, sangkur dan bayonet. Suburkanlah kebunku, kembalikan hutanku, agar sagu dan babi tersedia untuk kerabat-kerabat ku. Bersihkan lah sungai-ku agar ikan¬ikan dan udang kembali melompat ke perahuku.

Kibaran bendera Bintang Kejora merupakan penegasan tentang identitas ke-papua-an versus identitas keindonesiaan. Jargon Papua Merdeka merupakan wacana yang ditawarkan dalam rangka pertarungan merebut identitas itu. Penolakan terhadap berbagai upaya membentuk provinsi barn di Papua berkaitan dengan proses penciptaan identitas kepapuaan ini dalam kedua sisinya yaitu untuk keluar dari perangkap suku dan sekaligus menegaskan posisi kepada Indonesia. Sikap yang demokratis dari kekuasaan di Jakarta terhadap gejala ini, akan menentukan pula sikap demokrasi Indonesia dalam membenahi hubungan pusat dan daerah dimasa datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar