Selasa, 07 Juli 2009

Papua Butuh Kepemimpinan Politik

Amiruddin al Rahab
SP, 6 Juli 2009


Papua adalah "wajah terburuk" dari Indonesia. Namun, tak seorang pun capres dan cawapres menjadikan pemecahan permasalahan Papua sebagai model untuk meningkatkan kesejahteraan dan jati diri bangsa.

Meskipun sepi dari pembicaraan para capres dan cawapres, masalah Papua tetap penting diperhatikan. Sebab pada tanah ini tergantung pada masa depan Indonesia.

Siapa yang akan menggagas Papua baru, saat ini, memang belum tampak. Paling tidak, rakyat Papua telah menempatkan harapan dan masa depannya kepada delapan anggota DPD dan 13 anggota DPR. Mereka adalah M Ali Kasteka (Hanura), H Jamaluddin Jafar (PAN), Peggi Patricia Pattipi (PKB), Paskalis Kossay, Yorriys Raweyai, Agustina Basik-Basik, Irene Manibuy dan Robert Yoppy Kardinal (Golkar), Manuel Kaisiepo (PDI-P), serta Etha Bulo, Diaz Gwijangge, Freddy Numberi, dan Michael Wattimena (Demokrat)

Secara formal, itulah nama-nama tokoh yang mendapat amanah memperjuangkan perbaikan nasib rakyat di Papua dalam RI. Sayangnya, gejala politik di Papua memperlihatkan fenomena lain, yaitu mereka yang berhasil menduduki jabatan formal tidak sekaligus bisa mendapat legitimasi sebagai pemegang mandat kepemimpinan politik. Artinya, yang ada saat ini di Papua baru para pejabat politik formal, belum pemimpin politik yang mampu mengartikulasikan kehendak kelompok-kelompok politik yang berkonfrontasi dengan Jakarta selama ini.

Dalam situasi pejabat politik tanpa mandat politik dari kelompok politik berakibat segala rencana atas nama otonomi khusus (otsus) berantakan. Ketika pejabat menyatakan bahwa otsus menjadi sarana menuju perbaikan kondisi sosial-ekonomi, politik dan kebudayaan, kelompok-kelompok politik yang berkonfrontasi menyatakan otsus gagal total. Ketika pejabat menyatakan uang otsus bisa menjadi sarana mempercepat perbaikan kondisi hidup, masyarakat menyatakan, kami tidak melihat dan merasakan dampak nyatanya.

Dapat dikatakan, saat ini pandangan antara pejabat dan masyarakat di Papua selalu berseberangan. Akibatnya, situasi sosial-politik di Papua setelah pemberlakuan otonomi khusus bagaikan gunung api yang sedang menunjukkan gejala akan meletus.

Banyak faktor yang membuat situasi sosial-politik menjadi demikian. Paling tidak, empat faktor utama. Pertama, tidak tuntasnya pembicaraan mengenai kerangka legitimasi politik bagi pemberlakuan otsus. Ketiadaan legitimasi politik dari otsus membuat tokoh-tokoh sosial-politik di Papua tidak merasa memiliki otsus. Dalam situasi demikian, rasa memiliki otsus dalam masyarakat Papua sangat rendah.

Kedua, rendahnya sikap saling percaya. Ketika sikap saling percaya belum lagi mengakar, segala upaya akan selalu dilihat sebagai langkah sepihak. Otsus dalam situasi seperti itu dilihat sebagai langkah sepihak pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Akibatnya, masyarakat apatis dan sinis terhadap otsus.

Ketiga, belum ada satu pun keberhasilan dari implementasi otsus yang bisa menjadi contoh. Dapat dikatakan, sampai saat ini otsus belum bisa mengubah wajah Papua yang kurang beruntung meskipun pemerintah menyatakan telah menggelontorkan triliunan dana ke Papua. Hal itu tampak dari masih tingginya angka kemiskinan, banyaknya sekolah yang ketiadaan guru, rumah sakit, dan puskesmas yang ketiadaan dokter dan obat.

Keempat, belum ada bentuk penyelesaian dan pemberian rasa keadilan bagi korban kekerasan (serta keluarga) dalam kondisi daerah operasi militer (DOM) dan berbagai operasi militer pada masa lalu.


Arah Politik

Mencermati perkembangan keadaan sosial-politik di Papua saat ini, tampak gejala ketiadaan kepemimpinan politik. Kepemimpinan politik yang dibutuhkan adalah yang mampu mengonsolidasikan, mengorientasikan, dan mengartikulasikan arah politik yang hendak dituju. Ada dua fungsi kepemimpinan politik di Papua. Pertama, menjadi representasi kehendak politik dan pemersatu dari kelompok-kelompok politik di Papua. Kedua, menjadi tempat pemerintah, baik daerah maupun pusat, untuk bernegosiasi dan membangun kesepakatan politik dengan gagasan baru.

Oleh karena itu, kepemimpinan politik ala big man (pria berwibawa) yang berdiri secara tunggal, seperti yang dikenal secara tradisional oleh suku-suku di pegunungan, tidak relevan lagi dalam menghadapi tantangan baru di Papua. Begitu pula dengan tipe kepemimpin sistem raja-raja yang dikenal oleh suku-suku di wilayah pantai selatan di bagian barat Papua dan pantai utara.

Perubahan dan harapan baru di Papua akan bisa berkecambah jika tersedia alamat bagi pemerintah pusat bernegosiasi dan ada pihak di Papua yang menjaga proses dan hasil negosiasi itu. Artinya, kepemimpinan politik adalah negosiator Papua yang legitimasinya kuat dan berpikir dalam ruang spasial regional serta geopolitik nasional dan intenasional.

Pemerintah pusat harus memberikan ruang bagi pemimpin-pemimpin politik Papua untuk tumbuh dan berkonsolidasi. Sebab, situasi tanpa kepemimpinan, seperti yang terjadi saat ini, dalam jangka panjang jauh lebih menyulitkan dan merugikan pemerintah pusat.

Penulis adalah Koordinator Pokja Papua, Analis Politik dan HAM di Jakarta, serta penulis buku Papua Roadmap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar