Kamis, 12 Maret 2009

Keedanan Republik Baliho

Amiruddin al-Rahab
Peneliti Politik dan Hak Asasi Manusia di Jakarta

(Koran Tempo, 18 Februari 2008)

Saat ini gairah politik terasa bagaikan gelombang tsunami yang siap melanda republik. Riuh-rendah, tak ada ruang yang lolos dari sergapan baliho politik yang betul-betul menunjukkan gairah meluap. Namun, dalam seluruh kegairahan itu, tampak dunia politik republik ini tanpa tujuan dan tenggelam dalam ruang kosong.

Saya sempat mengunjungi Provinsi Aceh, Papua, Jawa Barat, dan tak terkecuali tentu Jakarta. Di empat provinsi ini, ke mana pun mata mengarah, senyum kenes menggoda para politikus yang dipantas-pantaskan langsung menyergap. Dari semua baliho politik itu, wajah politik republik ini betul-betul kosong dan banal, karena kebanyakan pesannya berupa bujukan "pilih saya, pilihlah saya”.

Baliho-baliho itu, jika dinilai dari kacamata estetika dan grafis, sungguh amburadul. Pilihan huruf, komposisi, warna, dan figur tampak tak saling mendukung. Selain itu, dipasang serampangan tanpa mempertimbangkan sudut pandang. Bahkan bertumpuk dengan spanduk obat batuk, atau iklan rumah dan pulsa.

Akibatnya, pesan dan image politik yang hendak dibangun si calon legislator hilang dari cercapan mata pemirsa, karena kalah indah oleh spanduk barang jualan. Alih-alih mendatangkan simpati, baliho dan spanduk-spanduk itu malah membuat jengkel dan menjadi sampah yang mengotori serta merusak keindahan kota. Sementara itu, dari kacamata politik, baliho dan spanduk-spanduk tersebut tidak mengandung cita-cita politik, gagasan lokal, apalagi gagasan kebangsaan. Bisa dikatakan bahwa dalam membuat dan memasang spanduk, para calon betul-betul telah kehilangan urat malu.

Semua bentuk dan isi spanduk para calon legislator kebanyakan sama. Pertanyaannya, di mana masyarakat (pemilih) mengetahui kelebihan si calon dan partainya dibandingkan dengan calon dan partai yang lain? Apa program kerja si calon dan partainya di daerah pemilihan itu jika kelak mereka terpilih? Bagaimana dan apa metode kerja yang akan dipakai si calon dan partainya dalam mengimplementasikan visi, misi, dan program partainya? Persoalan apa dari daerah yang hendak diperjuangkan si calon di level nasional? Serta masalah nasional apa yang hendak dicarikan dukungannya di daerah oleh si calon?

Padahal di Aceh, misalnya, daerah yang baru saja memasuki situasi damai, tentu banyak persoalan yang bisa diangkat menjadi tema program kerja si calon anggota DPR RI kelak. Misalnya, program kerja sama dengan partai lokal, pembenahan lebih jauh hubungan pemerintahan provinsi dengan pusat dalam kerangka daerah berpemerintahan sendiri (self-governing territory), proses perdamaian eks-kombatan dan kompensasi untuk korban konflik, kelanjutan program rehab-rekon yang telah dilakoni oleh BRR, pemajuan ekonomi di daerah tengah dan pantai barat, serta artikulasi yang lebih tajam dan mangkus tentang implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Sayangnya, tidak ada satu pun calon anggota DPR RI di Aceh yang mencantumkan soal-soal serius ini. Lantas, untuk apa rakyat Aceh memilih Anda menjadi legislator?

Di Papua, lebih parah lagi. Pada hal banyak sekali masalah yang bisa dijadikan tema kampanye. Memajukan dan mengefektifkan implementasi Otsus Papua bisa menjadi tema sentral. Sementara turunannya, perlindungan hak dasar orang asli Papua dari gempuran migrasi, program mengatasi masalah HIV/AIDS, peningkatan gizi dan kesahatan ibu dan anak, perbaikan dan penambahan sarana dan pra-sarana pendidikan dasar dan menengah, serta peningkatan ketersediaan bahan pangan dan pelayanan publik lainnya. Pemanfaatan garis pantai dan laut yang begitu kaya untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Model transportasi yang cocok untuk Papua di pedalaman dan pesisir.

Dalam soal-soal yang lebih politis, bisa pula diangkat tema bentuk hubungan daerah dan pusat yang lebih efektif dalam konteks Otsus dan dialog membicarakan masalah hak asasi manusia dan sejarah kekerasan di Papua. Percepatan pemulihan dan kompensasi kepada para keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu. Serta peran dan posisi MRP dalam konstelasi politik lokal Papua dan Papua Barat serta hubunganya dengan pemerintah pusat.

Lalu Jawa Barat, provinsi yang paling dekat dengan Ibu Kota Jakarta. Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia yang akan memiliki kontingen anggota DPR RI paling banyak, yaitu 99 orang, anggota DPR dari Jawa Barat akan menjadi kaukus terkuat di DPR. Maka, program pembentukan kaukus Jawa Barat untuk memperjuangkan perbaikan infrastruktur ekonomi di wilayah selatan Jawa Barat bisa menjadi isu sentral. Wilayah selatan Jawa Barat adalah kantong kemiskinan dengan jumlah penduduk yang besar.

Jakarta lebih edan lagi. Persoalan ibu kota negara yang selalu diteror banjir setiap tahun serta diintai oleh urbanisasi setiap hari, dan kemacetan lalu lintas yang terus menggila, absen dari spanduk para calon legislator. Jakarta seakan tanpa masalah di mata calon legislator.

Singkatnya, sesuai dengan sistem politik sekarang ini, DPR RI memiliki kekuasaan legislasi dan anggaran. Jika pimpinan parpol dan calon legislatornya menyatu dalam visi, misi, dan program, kampanye spanduk bisa mengusung beberapa RUU yang akan diperjuangkan si calon jika ia terpilih. Termasuk jumlah anggaran yang akan mereka perjuangkan untuk mengatasi isu-isu pokok.

Mengapa keedanan politik dengan baliho yang seragam ini terjadi di empat provinsi yang berbeda?

Pertama, partai politik tempat si calon legislator bernaung gagal menginternalisasi visi, misi, dan program partai kepada kadernya. Ketika kegagalan itu mewabah, para calon yang dihadapkan pada sistem sabung politik (pemilu) terbuka menjadi mengalami disorientasi. Akibatnya, di mata calon legislator, ikut serta dalam pemilu menjadi semata-mata urusan individual dan pencapaian ambisi individual pula. Partai hanya loket tempat ambil formulir. Kondisi ini kian mendapat legitimasi dari Mahkamah Konstitusi yang menetapkan sistem suara terbanyak.

Kedua, kecenderungan watak calon legislator adalah kelanjutan dari watak partai politik itu sendiri. Watak partai politik di Indonesia saat ini adalah personal party (partai milik individu sang ketua umum), yang berciri mengabdi kepada si ketua umum demi mencapai kehendak pribadinya. Pengurus partai adalah kepanjangan tangan si ketua umum, bukan pengemban visi, misi, atau program partai. Jadi, hubungan calon legislator dengan partai lemah, sementara keterkaitan dengan ketua umum lebih kuat. Sebagian besar partai politik peserta Pemilu 2009 menunjukkan ciri ini.

Ketiga, pimpinan partai tidak mengenali karakter dan permasalahan di setiap daerah pemilihan. Implikasinya, partai juga gagal mendidik para calon legislatornya mengenali masalah di daerah pemilihannya masing-masing. Tradisi calon instan dan drop-dropan menjadi salah satu faktor penyebab hal ini.

Keempat, partai tidak memiliki analisis perkembangan masyarakat dan blue print pembangunan politik secara nasional serta regional. Akibatnya, partai politik tidak mampu menyiapkan gagasan dan program yang bisa diadu oleh si calon dengan calon lain kecuali tampang. Akibatnya, wajah politik kian pragmatis, transaksional, dan berjangka pendek. Sikap "pokoknya terpilih dulu, urusan belakangan" mewabah.

Catatan: Alinea tentang Papua ketika diterbitkan Koran Tempo dipotong. Dalam Blog ini alinea tentang Papua saya masukan.

Otsus Papua Sekarat

Amiruddin al Rahab
Suara Pembaruan, 4/3/2009

Sejak 2002 sampai 2008, dana otonomi khusus (otsus) yang digelontorkan ke Papua hampir Rp 13,89 triliun. Untuk 2009, direncanakan sebanyak Rp 8,3 triliun dana otsus untuk Papua, Papua Barat, serta Aceh.

Meskipun dana yang digelontorkan sebesar itu, pelaksanan Otsus Papua masih menghadapi tantangan dan permasalahan. Tantangan itu di antaranya menyangkut pembangunan yang belum merata, jumlah penduduk miskin, dan pengangguran yang cukup tinggi, kapasitas sumber daya manusia belum memadai, serta dukungan infrastruktur yang jauh dari harapan. Selain itu, masih lambatnya penyelesaian penyusunan perda provinsi dan perda khusus yang merupakan amanah dari UU Nomor 21 Tahun 2001.

Saat ini, kondisi Papua dinilai oleh banyak pihak kian buruk akibat tidak terkendalinya pemekaran kabupaten dan rendahnya kapasitas aparat pelaksana di daerah, serta tidak konsistennya pemerintah pusat. Performa kinerja pemerintahan di Papua kian buruk pula akibat maraknya dugaan korupsi. Artinya, banyaknya rupiah yang digelontorkan ke Papua tidak berkorelasi langsung dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.

"Bahwa penyelenggaraan peme-rintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menempatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya masyarakat Papua."

Undang-Undang Otsus Papua dirancang untuk mengatasi seluruh masalah mendasar yang dinyatakan "belum sepenuhnya" ada itu. Namun, setelah tujuh tujuh tahun UU Otsus diimplementasikan, keadaan belum juga berubah.

Berdasarkan data BPS, sejak 2005 hingga 2008 Papua menduduki peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Pada 2007 tercatat IPM Papua hanya 63,41. Fransiskan International dalam factsheet-nya pada 2008 mengemukakan bahwa pada 2004, sekitar 80% penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Hal itu tampak pula dari 25.6% penduduk buta huruf, 36.1% tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan, dan 61,6% belum memiliki akses pada fasilitas air bersih. Hampir 90% desa di Papua tidak memiliki akses bagi pelayanan kesehatan, yang paling sederhana seperti puskesmas pembantu (pustu) dengan mantri dan bidan. Sebanyak 41,8% penduduk Papua berpenghasilan kurang dari 1 dolar AS per hari.

Padahal, jika kita bandingkan dengan royalti PT Freeport rata-rata 75 juta dolar AS per tahun (Kompas, 11/11/03), masalah itu semestinya bisa diatasi jika pemerintahan di Papua berjalan secara efektif. Apalagi, dalam siaran persnya pada Juni 2008, PT Freeport menyebutkan telah memberikan royalti sekitar 620 juta dolar atau setara dengan Rp 5,7 trilliun (www.ptfi.com/news). Padahal, penduduk Papua secara keseluruhan hanya 2,7 juta jiwa, dengan populasi asli Papua sekitar 1,7 juta jiwa. Rodd McGibbon dalam bukunya Papua: Plural Society in Perils (Washington: The East-West Center, 2004) menyatakan, pada 2000 penduduk sebanyak 35% pendatang dan 2005 diperkirakan penduduk pendatang menjadi 41% dan akan melonjak menjadi 53,5% pada 2011.

Angka pertumbuhan penduduk yang timpang, status kesehatan yang rendah termasuk karena angka kematian ibu dan anak yang tinggi, gizi buruk, serta penyebaran virus malaria, HIV/AIDS adalah faktor-faktor yang diperkirakan berpotensi membuat rakyat Papua akan menjadi small and dwindling minority beberapa tahun ke depan.

Infus Baru

Beranjak dari data di atas, otsus tampaknya tidak bisa mengatasi masalah mendasar. Oleh karena itu, dapat dikatakan Otonomi Khusus Papua berada dalam keadaan sekarat. Jika tidak ditolong segera dengan infus baru, otsus akan mampus. Artinya, Otsus Papua tidak bisa lagi diharapkan untuk mengubah keadaan di Papua. Makanya diperlukan rumusan baru yang lebih mampu menjadi solusi Papua.

Agar Otsus Papua tidak sekarat, beberapa agenda yang harus dilakukan segera. Agenda-agenda ini, sekaligus menjadi pilar untuk mengevaluasi otsus secara konprehensif, sehingga menjadi solusi baru.

Pertama, menempatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam dinamika politik Papua secara proporsional dan signifikan. Tujuannya adalah agar MRP berperan mempercepat terjadinya kebijakan affirmatif action dalam menangani masalah-msalah krusial di Papua, yaitu kemiskinan, hak asasi manusia, sarana pelayanan publik, dan pengelolaan kekyaan alam demi kesejah- teraan rakyat Papua.

Kedua, menghentikan wabah pemekaran yang membebani keuangan daerah dan memecah-belah rakyat Papua. Pemekaran di Papua telah menjadi pemicu terjadinya berbagai macam konflik dan kekerasan, baik politik maupun sosial ekonomi, pada tingkat publik dan domestik. Dalam lima tahun Papua dipecah menjadi 39 kabupaten/kota dan 2 provinsi. Karena pemekaran dipacu terlalu cepat, akibatnya terjadi pembengkakan birokrasi secara mendadak dengan kapasitas terpasang rendah, yang dengan sendirinya juga menyerap anggaran yang mahabesar.

Ketiga, perlu koreksi total/menyeluruh sikap dan tindakan pemerintah pusat dan Papua yang masih menjalankan pemerintahan di Papua seperti Papua bukan daerah dengan status khusus. Jika sikap pemerintah seperti itu terus berlanjut, maka itu akan bisa menjadi bumerang. Oleh karena itu, diperlukan semacam blue print baru Otsus Papua yang terdiri dari provinsi per provinsi. Menyusun blue print dibutuhkan semacam dialog yang intensif dengan multi stakeholders di Papua dan Jakarta.

Keempat, perlu dibentuk badan semacam BRR Aceh di Papua untuk mengelola kekayaan alam Papua agar bersinergi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua dan perlindungan atas lingkungan hidup. Badan sejenis BRR itu akan berfungsi sebagai perancang dan pelaksana kebijakan terpadu pembangunan dan mengelolanya secara mandiri berkordinasi dengan pesiden dan gubernur.

Kelima, perlu segera dipastikan mekanisme keadilan berjalan di Papua, khususnya dalam masalah hak asasi manusia. Dalam bidang hak asasi manusia dan keadilan, gubernur, DPR-P dan MRP harus bisa duduk bersama untuk merancang instrumen HAM yang melindungi hak hidup orang Papua dan sesuai dengan karakteristik Papua, kemudian diusulkan kepada presiden untuk ditindaklanjuti.

Dengan menapaki kelima langkah di atas, mudah-mudahan otsus bisa siuman dari sekaratnya dalam format baru. Langkah-langkah ini harus menjadi perhatian para caleg dari daerah Papua.

Penulis adalah Koordinator Pokja Papua di Jakarta, anggota Tim Penulis buku Papua Roadmap - LIPI