Jumat, 23 Januari 2009

DPR dan Penculikan (1997-1998)

Amiruddin al Rahab
(Peneliti Senior Bidang Politik dan HAM di ELSAM)


Penculikan atau penghilangan orang secara paksa adalah wajah politik yang kotor. Dalam khasanah hak asasi manusia, penghilangan orang secara paksa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan jenis ini dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM (Pasal 40) jika terbukti, pelaku dan penanggungjawabnya diancam dengan pidana penjara 20 tahun. Sayangnya di Indonesia sampai saat ini belum ada seseorang dihukum sesuai pasal ini, meskipun penculikan nyata terjadi. Khususnya tahun 1997-1998 ketika rezim berguncang.

Setelah 10 tahun reformasi, tentu wajah politik yang kotor itu tidak dikehendaki lagi. Oleh karena itu, penegakan hukum dalam pengertian adanya pemeriksaan di pengadilan secara fair terhadap para pelaku adalah kebutuhan pokok saat ini. Selain itu juga dibutuhkan pemulihan terhadap korban, baik dalam bentuk kompensasi maupun rehabilitasi. Perlunya tindakan hukum terhadap penanggung jawab aksi penculikan yang melibatkan kekuasaan negara, Martha Minow dalam bukunya Between Vengeance and Forgiveness: Facing History after Genocide and Mass Violance (1998) mengemukakan agar ada kepastian hukum. ”No one is above or outside the law, and no one should be legally condemned or sanctioned outside legal prosedur.”(hlm. 25).

Pesanya adalah setiap orang hanya bisa dinyatakan bertanggung jawab atau tidak bertanggung jawab setelah seluruh proses hukum dan pembuktian hukum selesai dilakukan. Dalam peristiwa penculikan di tahun 1997-1998 terhadap puluhan aktivis, belum ada sama sekali proses hukum. Artinya, sampai saat ini belum ada pejabat negara baik Polisi, Jaksa dan Hakim yang memeriksa kejahatan penculikan itu secara saksama. Di sisi lain semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak dalam seluruh drama penculikan itu belum bisa pula menyatakan diri mereka bersih. Oleh karena itu, jika pengadilan hak asasi manusia tentang penculikan itu dibuka, maka itu akan menjadi kesempatan emas bagi pihak-pihak yang selama ini ditengarai terlibat untuk membersihkan dirinya berdasarkan bukti dan kesaksian yang sahi.

Untuk memastikan the rule of law berfungsi dalam peristiwa penculikan, saat ini DPR-RI membentuk Pansus Orang Hilang untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. Sikap dari beberapa orang yang menolak kerja Pansus dapat dikatakan lucu sekaligus konyol, karena menghalangi berfungsinya the rule of law. Langkah DPR dengan Pansusnya adalah tepat. Ada tiga alasan untuk itu. Pertama untuk memastikan bahwa proses hukum harus berjalan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan Indonesia sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan. Kedua, untuk menunjukan bahwa politik kotor bukan lagi merupakan watak dari perpolitikan saat ini. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan kekuasaan, etika dan moral politik harus ditegakkan sehingga tindakan-tindakan yang menistakan hak asasi manusia tidak bisa ditolerir. Ketiga, untuk menunjukan proses politik harus respek terhadap agenda perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia. Dengan demikian partai politik tidak lagi sekadar alat memburu kekuasaan, tetapi sekaligus adalah alat untuk melindungi hak asasi manusia. Sikap fraksi-fraksi di DPR terhadap peristiwa penculikan menunjukan kualitas Partai yang diwakilinya dalam melihat masalah hak asasi manusia.

Kegagalan menghukum setiap orang yang terlibat dalam tindakan penculikan berarti memberikan lisensi terhadap tindakan serupa agar terulang kembali. Oleh karena itu, aparat negara harus bertindak tanpa ragu terhadap siapa pun yang melakukan penculikan agar negara tidak dinilai membenarkan aksi penculikan. Apa lagi penculikan yang bermotif politik, atau terhadap rival politik. Dukungan politik dalam menyelesaikan masalah pelanggaran berat hak asasi manusia sangat penting. Di mana pun di dunia ini tidak ada masalah pelanggaran berat hak asasi manusia yang bisa diselesaikan tanpa dukungan politik. Masalah pelanggaran HAM di Rwanda, Yogoslavia dan Afrika Selatan menunjukan besarnya dukungan politik internasional dalam menyelesaikannya. Adagiumnya adalah hukum hanya akan memiliki kekuatan ketika dukungan politik berada di belakangnya.

Dalam konteks menyelesaikan penculikan di tahun 1997-1998, konteks terjadinya peristiwa harus dipahami agar dukungan politik terhadapnya tidak menjadi misleading. Pertengahan tahun 1997 kekuasaan rejim militer Soeharto pondasinya goyah. Ketika pondasi kekuasaan kian guncang, cara-cara vigilante dilancarkan militer (TNI dan Intelijen) dalam mempertahankan kekuasaan merebak. Mulai dari pembunuhan Marsinah, Udin, Penyerbuan kantor PDI-P dan lain-lain. Seiring degan aksi vigilante penguasa itu, ribuan anak muda menemukan jati dirinya untuk berani lantang menantang rejim di jalanan. Bahkan sekelompok anak muda mendeklarasikan partai politik baru, yaitu PRD. Sejak PRD muncul, dunia politik nasional berubah warna. Tabu politik telah diruntuhkan. Untuk menjaga tabu politik, slogarde intelijen dan TNI memburu pelopor PRD dengan tuduhan komunis dan menjadi dalang huru-hara pasca-penyerbuan kantor PDI.

Perlawanan tak surut, gelora jiwa muda yang mendapatkan energi mahadahsyat dari mahasiswa membuat gelombang perlawanan tak bisa lagi dibendung. Penculikan dilakukan untuk menghentikan gelombang perubahan itu. Dengan kata lain, aksi penculikan aktivis itu menunjukan adanya tindakan vigilante dari rejim militer yang panik dalam menahan laju perubahan. Penculikan tahun 1997-1998 adalah tindakan kejahatan yang dilakukan secara terencana, rapih, dengan jaringan yang kuat yang berkelindan dengan kekuasaan. Karena begitu rapihnya berkelindan dengan kekuasaan sampai hari ini kita tidak bisa menemukan keberadaan 13 orang dari puluhan orang yang diculik itu. Oleh karena itu, aksi penculikan tidak bisa dilihat semata-mata improvisasi atau kehendak para pelaksana di lapangan. Karena itu, langkah DPR-RI membentuk Pansus untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM tentang penculikan itu adalah tepat. Setelah sepuluh tahun ditelantarkan, harapan semua keluarga hampir padam, bahkan telah berujung pada amarah. Kini, berkat langkah DPR harapan kembali berkecambah. Bukan saja harapan para keluarga, melainkan harapan bagi bangsa ini juga dalam meniti perubahan ke depan.

Momentumnya pun tepat. Artinya, DPR-RI yang telah lupa daratan dalam sepuluh tahun ini, kembali menemukan jalan vitalnya dalam menata perubahan. Singkatnya, tanpa DPR-RI mencarikan jalan keluar bagi persoalan penculikan di tahun 1997-1998 itu berarti segenap anggota DPR-RI dan partai politik yang mereka wakili membenarkan tindakan rejim militer Soeharto. Dengan demikian apa bedanya DPR-RI sekarang ini dengan para anggota DPR di era Soeharto?

Oleh karena itu Pansus Orang Hilang DPR adalah etalase politik bangsa untuk menunjukan bahwa DPR dan partai politik yang diwakilinya berbeda dalam moral dan etika politik dengan para anggota DPR ala yes man hasil telunjuk Soeharto. Jika perubahan watak moral dan etika bisa ditunjukan oleh DPR, maka kemacetan perubahan dalam 10 tahun ini bisa dipacu ulang. Singkatnya, nilai-nilai hak asasi manusia bisa diharapkan menjadi soko guru dalam penyelenggaraan politik dan pemerintahan di masa depan.

Pemekaran Daerah di Papua: Bertemunya Dua Kepentingan

Amiruddin al Rahab
(Peneliti Politik dan Hak Asasi Manusia di ELSAM)

Ada dua cara untuk memahami gelombang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua. Cara pertama adalah melihat gejala ini sebagai upaya ekploitasi kesempatan yang dibuka pemerintah pusat (desentralisasi) oleh tokoh-tokoh Papua. Penjelasannya adalah para tokoh-tokoh Papua melihat adanya peluang beranjak ke atas sejak dibenarkannya Papuanisasi birokrasi. Artinya, kini dan saat ini merupakan kesempatan terbesar dari tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di daerahnya sendiri. Meningkatnya ekploitasi kesempatan ini berbanding lurus dengan kian sempitnya peluang tokoh-tokoh Papua untuk menjadi elit di daerah lain.

Cara kedua adalah melihat gejala itu sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk menghentikan laju kristalisasi identitas politik Papua. Penjelasannya adalah otoritas kenegaraan Indonesia ketakutan sejak Presidium Dewan Papua (PDP) mampu hadir sebagai wadah tandingan terkuat bagi otoritas pemerintah Indonesia (1999-2003) karena berhasil menghimpun dan mentransformasikan perlawanan Papua yang sporadis menjadi perlawanan yang terinstitusionalisasi. Pilihan yang tersedia bagi otoritas Indonesia dalam situasi seperti itu adalah melumpuhkan institusionalisasi tersebut dengan mengeksploitasi kecendrungan politik Papua pra-kehadiran PDP, yaitu politik dengan sentimen kewilayahan yang penuh warna etnik. Hasil akhirnya adalah Papua bukan lagi satu-kesatuan identitas politik, melainkan hanya kapling-kapling administrasi pemerintahan yang berhimpit dengan batas-batas wilayah suku.

Dari dua arus besar itu maknanya adalah sentralisasi kekuasaan di tangan birokrasi (khususnya Depdagri) tetap berjalan mulus di Papua. Sebab dari puluhan Kabupaten yang dibuat tidak ada perubahan apa pun dalam pengelolaan pemerintahan di Papua. Semuanya tetap menginduk kepada Mendagri. Hal ini terjadi karena di setiap Kabupaten yang dibentuk tidak ada persiapan sama sekali untuk menjalankan pemerintahan secara mandiri. Contoh: Kabupaten Mimika yang berjalan tanpa DPRD selama 4 tahun. Artinya dalam artian apa pun pemerintahan di Kabupaten-Kabupaten baru itu di Papua sesungguhnya lumpuh. Yang ada hanyalah Jabatan Bupati saja.

Bagaimana memaknai bertemunya dua fenomena yang saling menguntungkan antara tokoh Papua dengan pemerintah pusat tersebut dalam masalah-masalah HAM di Papua? Pertama, kedua fenomena itu menggeser masalah ketidakadilan hubungan pusat dan daerah menjadi persoalan internal Papua sendiri yaitu antara pro-pemekaran atau tolak pemekaran. Artinya masalah pokok dalam kesenjanghubungan pusat dan daerah yang telah menyebabkan terjadinya rangkaian pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusian tersingkir dari arena politik dan digantikan oleh pertarungan antar tokoh Papua sendiri dalam memperebutkan restu Jakarta guna mendapat jabatan Bupati dan atau Gubernur. Artinya, masalah Papua saat ini hanya sekadar masalah perluasan birokrasi (khususnya birokrasi Depdagri). Istilah indah tapi menipu untuk ini adalah “pemekaran adalah untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat.”

Kedua, fenomena itu juga menyingkirkan isu keadilan dan hak asasi manusia dari arena politik. Khususnya isu pertanggunjawaban. Artinya pemerintah pusat langsung atau tidak langsung menjadikan jabatan-jabatan baru di Kabupaten-Kabupaten baru atau di Provinsi untuk meredam animo orang-orang menuntut pertanggungjawaban. Orang-orang kemudian lebih sibuk dan menghabiskan energi untuk merancang, mempersiapkan dan mendukung pembentukan Kabupaten atau Provinsi ketimbang mengadvokasi masalah HAM. Implikasinya seluruh kekeliruan dan kesalahan di masa lalu tidak dijadikan pelajaran untuk perbaikan ke depan. Dengan sendirinya masalah pokok di Papua kini wacananya telah bergeser dari masalah hubungan pusat dan daerah menjadi masalah pro atau kontra-pemekaran.

Dari gejala pemekaran seperti di atas, kesimpulan pertama yang dapat kita ambil adalah terjadinya kerjasama yang saling menguntungkan antara tokoh-tokoh Papua dengan kepentingan pusat. Siapa tokoh-tokoh Papua tersebut? Sebagian besar adalah elit-elit lama yang telah menjadi perpanjangan tangan birokrasi serta orang-orang baru yang telah menikmati jabatan dalam sepuluh tahun belakangan ini. Singkatnya mereka adalah bagian utuh dari kekuatan politik masa lalu yang memperbaharui diri dengan gaya politik baru. Sementara orang-orag pusatnya adalah tokoh-tokoh yang masih dengan paradigma lama dalam mengelolah Indonesia. Baik yang datang dari dalam birokrasi Depdagri sendiri mau pun yang datang dari partai-partai politik.

Kesimpulan kedua, hilangnya aktor-aktor politik baru dari panggung politik Papua. Aktor politik baru yang saya maksudkan adalah aktor politik yang menjadi tandingan bagi politik birokrasi lama yaitu PDP dan DAP. Ketika kekuatan baru ini kehilangan pengaruh, maka politik di Papua kembali ke kultur, strutur dan aktor lama. Implikasinya tidak ada kekuatan penyeimbang atau tandingan di Papua saat ini dalam menghadapi gelombang tsunami pemekaran ini. Dapat kita pastikan gelombang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua dalam tahun-tahun mendatang (khususnya setelah Pemilu) akan membesar. Seluruh pemekaran dan rencana pemekaran Kabupaten ditujukan untuk membentuk provisi baru.

Kesimpulan ketiga pemekaran kabupaten dan birokrasi menjadi bahaya besar bagi rakyat dan masa depan Papua sendiri. Bahaya pertama SDA Papua akan dikuras hanya untuk membiayai birokrasi dan jabatan. Anggaran Daerah hanya akan habis untuk biaya rutin kepegawaian. Kedua, Papua betul-betul akan menjadi kapling-kapling yang akan diperdagangkan oleh para war lord baik kepada investor mau pun pada patron politik di pusat. Ketiga, birokrasisasi akan menekan masyarakat sedemikian rupa sehingga menghilangkan ruang untuk menikmai demokrasi secara substantif.

Jika dibandingkan dengan Aceh, bahaya pemekaran di Aceh tidak seberbahaya di Papua. Sebab ada fakor determinan yang menentukan yaitu berhasilnya GAM mengambil alih sebagian kekuasaan baik di Provinsi mau pun di Kabupaten. Dari 21 Kabupaten/kota, GAM saat ini telah memenangi Pilkada di 9 Kabupaten sekaligus Provinsi. Selain itu partai-partai politik sentralis Jakarta mendapat lawan setimpal yaitu partai lokal. Dalam pemilu 2009 nanti besar kemungkinan partai lokal meraih suara 40% atau lebih di DPRA. Artinya modalitas untuk mendorong perubahan politik menjadi berbeda dari struktur dan kultur politik masa lalu di Aceh jauh lebih besar ketimbang di Papua.
Jika gerakan menuntut pembentukan Provinsi ALA-ABAS dicermati maka sangat tampak secara gamblang bahwa itu gerakan dari kekuatan masa lalu dan sangat elitis. Secara politik sulit berkembang karena sangat terbatas. Fenomena pilkada Aceh Selatan beberapa bulan lalu yang dimenangkan oleh calon Bupati dari GAM bisa jadi contoh.

Kembali ke pemekaran Papua, saat ini telah dan sedang terjadi kompetisi terbuka antara tokoh-tokoh Papua dalam memperebutkan kedudukan. Kompetisi terbuka ini membuat pertarungan politik meninggi dan tak tertutup kemungkinan keras ke depan. Dalam pertarungan itu terlibat sesama kekuatan lama, sebab kekuatan baru (PDP) tersingkir dari arena. Hal yang diperebutkan adalah melimpahnya uang di Papua yaitu sekitar Rp. 28 T pertahun dengan jumlah penduduk keseluruhan hanya 2,5 juta jiwa. Jadi politik Papua ke depan lebih diwarnai oleh persekongkolan antara para politisi lokal dengan para politisi di DPR-RI (DPP Partai) dengan calo para mantan petinggi militer atau birokrat.

Menyubversi Maskulinitas Politik Aceh

Amiruddin
Kompas, 16 Juli 2005

Nilai-nilai agama adalah jantung kehidupan sosial-budaya masyarakat Serambi Mekkah. Sebagai negeri yang ruang publiknya begitu diwarnai oleh nilai-nilai agama, maka budaya patriarkal merupakan jantung politiknya.

Belitan budaya patriarkal terhadap kehidupan ranah politik membuat peranan perempuan Aceh tersingkir dari ruang publik. Penyingkiran itu berlangsung dalam rangka memperebutkan legitimasi politik pemerintah (militer) dengan ulama dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Edriana menuliskan tiga pilar ini memainkan perannya secara berbeda dengan hasil yang sama bagi perempuan Aceh. Militer melancarkan kekerasan untuk menundukkan Aceh secara keseluruhan dengan menjadikan perempuan sebagai target, sementara ulama dengan penafsiran agamanya yang konservatif membatasi ruang gerak. Di sisi lain, GAM adalah aktor pemaksa yang mampu mengiring perempuan untuk mematuhi aturan dari ulama dengan kekerasan.

Ketika syariat diberlakukan di Aceh secara resmi di tahun 2000 korban pertamanya adalah perempuan. Mulai dari mereka dipaksa mengenakan pakaian tertentu, diatur cara bersikap sampai dilarang keluar rumah dengan rambut terbuka. Dari praktik ini sebagai wacana syariat bukan saja soal akidah, melainkan menjadi wacana politik yang diperebutkan pemaknaannya oleh aktor-aktor politik di Aceh.

Mengapa dominasi patriarkal itu bisa terjadi dan perempuan bisa tersingkir? Bukankah sejarah Aceh di masa lalu memperlihatkan kegemilangan peranan perempuan di ranah politik, mulai dari menjadi raja atau ratu sampai menjadi pemimpin perang gerilya yang tak kenal menyerah seperti Tjut Nyak Dien atau Tjut Muthia.

Buku yang berasal dari tesis master di Institute of Social Studies, Belanda, ini menyatakan bahwa penyingkiran atau penyertaan perempuan dalam politik bukanlah hal yang datang dari norma agama atau alamiah, melainkan hal yang dikonstruksikan dalam ruang dan waktu tertentu untuk keperluan tertentu pula. Penyingkiran itu bisa terjadi secara konstitutif maupun secara praktis. Konstitutif di sini berarti perempuan itu secara konseptual tidak disertakan. Sementara secara praktis berarti perempuan disingkirkan dengan membatasi ruang akses baginya ke dalam institusi ekonomi resmi dan publik melalui berbagai jenis hambatan situasional.

Untuk melawan penyingkiran konstitutif, penulis buku ini mengemukan perlunya melakukan dekonstruksi terhadap gagasan nasionalisme Aceh yang kini dominan. Di tahap inilah seluruh bangunan dari gagasan nasionalisme Aceh yang selalu dikaitkan dengan pemberlakuan syariat perlu diguncang ke fondasinya. Hal itu ditegaskan oleh penulis karena pemberlakuan syariat di Aceh dari dulu sampai sekarang lebih banyak menyingkirkan perempuan ketimbang memberikan ruang partisipasi bagi perempuan. Sementara itu, penyingkiran praktis mesti dilawan dengan cara mencapai pengakuan yuridis sehingga hak-hak perempuan menjadi bagian utuh dari hak hukum.

Penyingkiran perempuan Aceh dari ranah politik dinyatakan dalam buku dimulai sejak hilangnya kata perempuan dalam Hikayat Perang Sabil (HPS) di abad ke-19. Sejak itu pula maskulinitas watak nasionalisme dan ranah politik di Aceh diteguhkan. Padahal di abad ke-17 kata perempuan eksis dalam HPS setara dengan laki-laki untuk maju ke medan laga. Hilangnya perempuan dari teks HPS dengan sendirinya membuat perempuan tersingkir dari arena politik pembentukan nasionalisme Aceh. Perempuan akhirnya dalam HPS menjelma sekadar menjadi bidadari yang disuguhkan sebagai imbalan dari laki-laki yang rela syahid. Padahal, dalam tradisi tutur masyarakat Aceh nilai-nilai patriotisme Aceh ditransfer melalui sejarah lisan kepada anak-anak Aceh, baik laki-laki maupun perempuan sejak dari dalam gendongan sampai dewasa. (hal 38)
Beranjak dari perspektif dan alat analisa yang dipakai oleh penulis terlihat bahwa maskulinitas politik dan nasionalisme Aceh betul-betul dibentuk dari satu zaman dan hanya berada dalam ruang yang tertentu pula. Oleh karena itu, buku ini mengajukan beberapa pikiran dan temuan yang cerdas. Pertama sejak pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) sampai tsunami, laki-laki Aceh mengalami kemandulan politik karena tertindas, akhirnya kembali menggunakan agama sebagai mesin mobilisasi politik dengan syariat sebagai sandarannya. Menjadikan agama sebagai mesin mobilisasi politik sama artinya dengan menyingkirkan perempuan dari politik. Dengan demikian, laki-laki Aceh (GAM dan ulama) meneguhkan kembali kekuasaannya yang hilang atas perempuan.

Kedua tubuh perempuan adalah arena pertarungan memperebutkan dominasi politik antara Pemerintah Indonesia dan GAM dan ulama. Bagi GAM dan ulama, tubuh perempuan adalah "pembawa panji-panji kehormatan dan identitas Aceh secara kolektif" atau "simbol nasionalisme Aceh yang bernapaskan Islam"(hal 18). Oleh karena itu, perempuan harus dibentuk, diposisikan, dan dicitrakan sesuai dengan imajinasi GAM dan ulama Aceh tentang Islam dan "bangsa Aceh". Bagi Pemerintah Indonesia, perempuan Aceh adalah sasaran utama kekerasan dan penundukan karena ia simbol dari harga diri dan identitas Aceh (GAM dan ulama) itu sendiri. Penundukan terhadap perempuan Aceh bagi militer berarti jalan bagi penundukan terhadap seluruh perlawanan Aceh atau GAM sekaligus upaya merangkul ulama-ulama.

Ketiga syariat Islam di Aceh dilihat oleh penulis buku ini sebagai wacana politik, bukan semata-mata sebagai hasrat meneguhkan nilai-nilai agama. Dalam pertarungan wacana politik, penerapan syariat di Aceh kini dilihat sebagai wadah bertemunya maskulitas TNI, GAM, dan ulama di ranah publik Aceh. Artinya, pencitraan nasionalisme Aceh dengan syariat Islam oleh ulama dan GAM atau nasionalisme NKRI oleh TNI berakibat sama terhadap perempuan Aceh, yaitu hilangnya identitas perempuan di ranah politik. Dengan kata lain, perempuan tidak pernah dianggap ada dalam seluruh proses politik di Aceh dari masa Orde Baru sampai era otonomi khusus ini.
Keempat untuk keluar dari cengkeraman politik maskulin itu penulis buku ini mengusulkan agar perempuan harus mampu merebut dan memenangi perang wacana sebagai jalan untuk masuk ke tengah arena politik untuk mengonstruksi Aceh masa datang. Wacana yang harus dibangun adalah hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia. Dengan menyatakan sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, maka upaya penyingkiran dan penindasan terhadap perempuan di ranah politik bisa ditantang. Dalam perang wacana itu ruang untuk menyatakan dan membangun identitas politik perempuan dibuka dan dipertahankan. Selain itu dengan perspektif hak perempuan sebagai hak asasi manusia, seluruh wacana dominan yang patriarkal bisa didekonstruksi ulang. Dengan demikian, seluruh wacana agama dan nasionalisme Aceh yang menyingkirkan perempuan bisa digugat ulang dan terbuka untuk didiskusikan terus-menerus.

Singkat kata, buku ini mengajak pembacanya secara provokatif untuk memperbincangkan tiga hal yang mendasar, yaitu relasi gender, agama, dan nasionalisme. Relasi ketiga topik ini seakan terlupakan selama ini dalam mendalami persoalan di Aceh. Akibatnya, pemahaman terhadap gejolak di Aceh belum membumi dan selalu mengabaikan aktor pentingnya, yaitu perempuan. Tidak adanya perempuan dari kedua belah pihak dalam perundingan yang dirintis antara GAM dan Pemerintah Indonesia memperlihatkan hal ini.
Selain temuan dan analisis yang segar dan pantas dipuji tentang politik, agama, dan nasionalisme dalam menyingkirkan identitas perempuan dari ranah politik di Aceh, ada sedikit hal yang mengganggu dari buku ini, yaitu seputar naskah HPS. Saya sangat meragukan HPS sudah ada pada abad ke-17. Bersandar pada Prof A Hasjmy (1977), HPS betul-betul buah dari pergumulan politik perang Aceh yang dimulai tahun 1873. HPS dikarang oleh Teungku Tjhik Pante Kulu (Haji Muhammad) yang dipersembahkannya kepada Panglima Perang Teungku Tjhik Tiro Muhammad Saman.

Orang Belanda yang pertama mempelajari hubungan HPS dengan perang Aceh adalah Prof Dr Christiaan Snouck Hurgronje yang datang ke Aceh pada tahun 1891. Sedangkan yang mencatatkannya ke dalam bahasa Belanda untuk pertama kali adalah HT Damste mantan Controleur di Idi, Aceh Timur. Tulisan Damste ini di publikasikan tahun 1928 dalam Bijdragen Tot de Taal Land en Volkenkunde van Nederlansch-Inde. Deel 84.

Amiruddin Aktivis Hak Asasi Manusia, Tinggal di Jakarta

Selasa, 20 Januari 2009

MoU Helsinki: Kado bagi Rakyat Aceh

Amiruddin

Anggota Aceh Working Group, Kepala Divisi di Elsam, Jakarta
Koran Tempo, 18 Agustus 2005

Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia di Helsinki pantas disyukuri oleh rakyat di Aceh dan seluruh rakyat Indonesia. Perdamaian itu adalah kado yang berharga bagi 60 tahun Indonesia merdeka.

Draf MOU memperlihatkan bahwa kedua belah pihak serius, bahkan lebih serius daripada Jeda Kemanusiaan ataupun COHA. MOU dibuka dengan kalimat yang sungguh memperlihatkan komitmen. Rumusannya adalah "The government of Indonesia and Free Aceh Movement (GAM) confirm their commitment to a peaceful, comprehensive, and sustainable solution to the conflict in Aceh with dignity for all."

***

Bagaimana peaceful, comprehensive, and sustainable solution itu dirumuskan?

Pertama, pemerintahan Aceh akan mengemban "all sector public affair, which will be administered in conjunction with civil and judicial administration", kecuali hubungan luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, keadilan, dan kebebasan beragama.

Sementara itu, kerja sama internasional dalam bidang ekonomi bisa langsung dilakukan oleh Aceh pada masa datang tapi tetap berkonsultasi dengan pemerintah di Jakarta. Sementara itu, Wali Nanggroe dibentuk sebagai simbol budaya dan politik Aceh. Karena itu, Aceh diperbolehkan memiliki bendera, lambang, dan lagu sendiri. Untuk berpartisipasi dalam kerangka politik baru inilah peran partai politik lokal di Aceh menjadi penting.

Kedua, secara ekonomi Aceh akan menerima 70 persen dari seluruh hasil deposit hidrokarbon (minyak dan gas) dan kekayaan alam lainnya, baik di darat maupun di laut. Selain itu, Aceh bisa mengelola langsung semua pelabuhan laut dan udara serta melakukan perdagangan secara bebas di dalam dan ke luar Aceh. Untuk perkembangan ekonomi ini, perwakilan GAM akan ikut serta dalam Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh.

Ketiga, untuk pembaruan hukum di Aceh, pemerintah Indonesia menjanjikan, seluruh draf hukum nantinya akan berpedoman pada kovenan hak-hak sipil dan politik serta hak sosial-ekonomi dan budaya sebagaimana diakui PBB. Sedangkan pelanggaran hukum pidana oleh militer akan diperiksa di pengadilan umum. Sejalan dengan pembaruan hukum ini, agenda hak asasi manusia juga diperhatikan dengan akan dibentuknya pengadilan HAM sendiri di Aceh serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Yang keempat adalah amnesti dan reintegrasi. Kepada anggota GAM akan diberikan amnesti. Dengan demikian, seluruh hak mereka sama dengan warga negara Indonesia lainnya. Sementara itu, untuk menjamin reintegrasi setelah amnesti, pemerintah Indonesia akan memberikan lahan pertanian dan pelatihan kerja. Para korban juga mendapatkan hak yang sama. Bahkan dinyatakan mantan anggota GAM yang memenuhi syarat bisa menjadi anggota TNI atau Polri organik di Aceh.

***

Empat hal yang telah dikemukakan di atas akan menjelma menjadi kenyataan jika jantung dari MOU ini berfungsi secara sehat. Jantung MOU itu adalah poin security arrangements (SA). Jika GAM dan pemerintah Indonesia tidak mampu mengendalikan sayap bersenjata mereka masing-masing, MOU ini dalam hitungan hari akan menemukan ajalnya.

Poin krusial dari SA adalah proses demiliterisasi dan decommissioning. Militerisasi di Aceh terjadi oleh dua faktor. Pertama, adanya gelar pasukan TNI dan Brimob Polri dalam jumlah besar yang disertai oleh pembentukan kelompok bersenjata lokal. Kedua, beredarnya senjata di tangan GAM dalam jumlah banyak, baik karena penyelundupan senjata ke Aceh maupun perdagangan senjata gelap.

Untuk itu, Aceh Monitoring Mission (AMM) harus memperhatikan proses decommissioning secara jeli. Terhadap GAM, karena tidak adanya register senjata GAM, AMM harus melakukan identifikasi dan verifikasi secara teliti atas semua senjata yang diserahkan GAM.

Sementara itu, terhadap TNI, AMM harus mengawasi secara ketat pergerakan dan penarikan pasukan nonorganik. Hal ini krusial karena dalam MOU (poin 4.8), TNI dinyatakan hanya melaporkan gerakan pasukan jika berjumlah satu peleton. Dengan ketentuan seperti ini tentu bisa saja pasukan bergerak dalam jumlah kecil, misalnya satu atau dua regu, untuk melakukan kekacauan.

Karena itu, AMM harus sejak awal melakukan identifikasi terhadap kelompok-kelompok pengacau (spoiler), baik dari GAM maupun TNI dan Brimob. Jika perlu, kalau kekacauan terjadi, AMM harus mengajak GAM dan TNI untuk bersama mengklarifikasi dan mengatasinya.

Akhirnya, ada tiga hal penting dalam masalah Aceh ini. Pertama, sebagian besar tuntutan yang selama ini diminta rakyat Aceh diberikan oleh pemerintah. MOU itu mengembalikan harkat dan martabat rakyat dan tokoh Aceh yang telah disia-siakan oleh para pemimpin politik selama ini. Sementara itu, martabat Indonesia juga terjaga dengan diakuinya Aceh oleh GAM sebagai bagian dari Indonesia. Tidak hanya itu, seluruh pembaruan di Aceh dinyatakan bertolak dari konstitusi Indonesia.

Kedua, kunci perdamaian di Aceh adalah mengendalikan senjata. Karena itu, AMM memiliki beban dan peran yang besar untuk menjamin senjata tidak menyalak. Dengan demikian, TNI dan GAM harus respek terhadap kerja AMM.

Ketiga, penandatanganan MOU bukan berarti konflik selesai. Konflik bersenjata telah beralih ke medan politik. Karena itu, langkah-langkah politik di Aceh sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan yang tumbuh di kedua pihak. Kapasitas institusi yang melakukan implementasi MOU ini harus sangat terjaga independensi dan kredibilitasnya. Di samping itu, rasa memiliki semua pihak terhadap isi MOU ini juga menjadi penting. Sebab, tanpa rasa memiliki yang luas di tengah masyarakat, perjanjian damai ini akan rapuh. Semoga perdamaian ini menjadi kado bagi seluruh rakyat Aceh ketika merayakan 60 tahun Indonesia merdeka.

Ilusi Prinsip Suara Terbanyak

Amiruddin al-Rahab

Pemerhati politik dan hak asasi manusia di Jakarta

Koran TEMPO, 20 Jan 2009

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-IV/2008 yang menyatakan Pasal 214 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD disambut gembira oleh banyak kalangan karena membatalkan ketentuan penetapan calon terpilih melalui nomor urut. Konsekuensi dari putusan MK itu, suara terbanyak menjadi dasar penetapan calon terpilih. Tepuk tangan diberikan kepada MK atas putusannya itu. Putusan MK itu dilihat sebagai jalan tol bagi perwujudan kedaulatan rakyat karena akan menghasilkan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang bermutu dan dekat kepada rakyat. Sungguhkah demikian?

Sepintas lalu tampaknya memang demikian. Namun, jika ditilik lebih dalam dan direnungkan agak matang, keputusan itu jauh panggang dari api. Pertama, putusan MK itu akan mendegradasi fungsi partai politik. Partai politik yang berfungsi sebagai suprastruktur institusionalisasi proses politik akibat putusan MK itu mendadak sekadar menjadi administrator bagi orang seorang (calon legislator) untuk memasuki arena politik. Artinya, partai kehilangan kedaulatannya atas setiap calon legislator.

Dalam situasi seperti ini, fungsi partai politik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menjadi luruh. Padahal pasal ini mewajibkan partai melakukan pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat; penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan; menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; serta menjadi tempat partisipasi politik warga negara dan melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Ketika partai hanya berfungsi sebagai administrator, partai mudah dikuasai oleh orang seorang. Partai di masa datang betul-betul akan menjadi loket pembelian formulir bagi setiap orang yang hendak menjadi calon legislator. Secara substansi, partai akan berubah fungsi dari sarana mewujudkan visi dan misi yang dibimbing oleh ideologi dan disiplin partai menjadi sekadar tempat untuk orang seorang mengejar kekuasaan. Pada tahap ini partai sebagai substansi sebagaimana diatur oleh UU No. 2 Tahun 2008 telah mampus.

Kedua, ketika disiplin dan ideologi partai menjadi nomor kesekian, seluruh calon legislator yang didukung oleh setiap partai menjelma menjadi gerombolan. Sebab, setiap orang akan mengejar kepentingannya sendiri dan mengabaikan visi dan misi partai tempatnya bernaung.

Akibat dari putusan MK itu, partai politik tidak bisa lagi diharapkan menjadi pilar pendukung kehidupan berbangsa yang baik. Proses politik betul-betul menjelma menjadi "pasar bebas" politik yang ditentukan suplai dan demand-nya di dalam pasar. Artinya kader yang dibina dan dididik oleh partai politik serta setia pada visi dan misi partai akan mudah hilang di pasar karena dikalahkan oleh seorang petualang politik yang bisa membanjiri pasar dengan segala metode pemasaran.

Bukankah dalam proses pencalonan saat ini kita telah melihat bagaimana "pasar bebas politik" itu telah dipraktekkan. Bayangkan partai politik bisa dengan mudah menempatkan seseorang yang tidak pernah menjadi anggota partai itu menjadi calon legislator di daerah yang juga tidak dikenal oleh si calon tersebut. Semua itu dilakukan dengan motif bahwa si calon legislator dinilai populer di mata orang banyak dan mampu menambah pundi-pundi bos partai bukan karena ia memiliki kemampuan state craft yang andal.

Maka itu, putusan MK tersebut dalam jangka panjang akan menghancurkan partai politik. Dengan demikian upaya reformasi untuk menjadikan partai politik sebagai suprastruktur politik yang andal dalam menata dan mengisi infrastruktur politik menjadi tidak akan pernah terwujud. Karena itu, MK dengan keputusannya tersebut dapat dikatakan telah membunuh partai politik. Padahal kita baru 10 tahun ini memiliki partai politik secara sungguh-sungguh. Jika sudah seperti itu, lantas apa jalan keluar yang bisa diambil untuk menyelamatkan partai politik dari pembajakan para kutu loncat, pesohor, pesolek, dan bromocorah politik di segala level.

Tak ada jalan lain. Para pimpinan partai politik, pertama, harus menegakkan disiplin partai dengan ketat mengacu pada visi dan misi. Artinya sedari awal harus disadarkan kepada semua calon legislator bahwa sistem penetapan suara terbanyak bukanlah arena saling bunuh di dalam partai, melainkan peluang untuk meneguhkan kesetiaan visi dan misi serta ideologi kepada partai. Jika ini tidak dilakukan oleh setiap pimpinan partai, calon legislator akan membunuh partai dari dalam. Sebab, akan terjadi "homo homini lupus" sesama calon legislator. Implikasinya, ideologi, disiplin, visi, dan misi partai akan diabaikan demi mengejar kepentingan orang seorang. Di tataran inilah etika politik untuk kehidupan bersama yang lebih baik akan hancur.

Kedua, pimpinan partai harus sesegera mungkin menertibkan kampanye para calon legislator agar isu yang diusung tidak mencederai program partai. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya sabotase terhadap program partai oleh calon legislator partai itu sendiri demi mengejar suara untuk diri sendiri.Jika tidak, program partai tidak berguna karena tidak akan bisa jalan dan didukung oleh calon legislator sendiri. Dengan kata lain, para calon legislator akan masuk ke "lubang hitam" kebohongan dengan mengumbar segala janji kosong tanpa memperhitungkan program partai tempat dirinya berasal. Ketika itu terjadi, para calon legislator akan menggali kubur bagi partainya sendiri.

Ketiga, pimpinan partai harus menegakkan disiplin dalam kampanye para calon legislator untuk mencegah persaingan tidak sehat. Artinya ruang bagi semua calon legislator dalam kampanye harus disediakan oleh partai. Dengan demikian, calon legislator yang banyak uang namun belum berprestasi dalam partai bisa mendukung partai yang berprestasi tapi kekurangan uang. Itu diperlukan karena kampanye akan lebih banyak mengusung orang seorang ketimbang partai.

Mengapa itu semua harus dilakukan pimpinan partai politik? Tak lain dan tak bukan agar wajah dunia politik kita tidak menjadi kian suram akibat putusan MK yang kurang mempertimbangkan konsekuensi politik yang lebih jauh. Perlu diingat, proses persaingan pembentukan citra personal, para calon legislator akan mencari para pemodal untuk membiayai kampanye, iklan, dan mobilisasi dukungan. Jika terpilih, para calon legislator ini akan mengabdi kepada para pemodal itu. Gerbang korupsi menganga sejak dari sini.

Padahal, dalam kenyataannya, tidak ada korelasi antara jumlah pemilih yang diperoleh dan kualitas seseorang ketika dia menjadi anggota DPR dalam mewakili masyarakat. Maka dari itu nomor urut tidak bisa dilihat serta-merta sebagai pengkhianatan bagi kualitas kedaulatan rakyat. Nomor urut semestinya dilihat pula sebagai kemampuan partai dalam mendidik dan membentuk kader terbaiknya untuk dipilih oleh rakyat. Dengan nomor urut, sesungguhnya rakyat telah dipermudah untuk memilih karena partai yang baik tentu menempatkan kader terbaiknya di nomor jadi itu.

Karena itu, meyakini suara terbanyak akan mampu meningkatkan mutu anggota DPR sebagai wujud kedaulatan rakyat sesungguhnya adalah ilusi. Karena mempercayakan perbaikan proses dan produk politik kepada "invisible hand" dalam pasar bebas politik. MK sungguh telah menempatkan rakyat semata-mata menjadi konsumen dari "barang dagangan" dalam pasar politik tak bertuan ini.

Menguak Perang Rahasia di Papua

Amiruddin al-Rahab

Peneliti Masalah Politik dan HAM Papua

Majalah Tempo, (06/XXXI 08 April 2002)


Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat Penulis : Robin Osborne Penerbit : Jakarta, ELSAM, 2001

PAPUA ada di penghujung Indonesia, nun jauh di sana. Jauh dari Jakarta, dalam pengertian apa pun. Di tahun 1980-an, berita mengenai Papua di media massa tak seberapa. Kalaupun ada, telah terjadi penyensoran oleh aparat keamanan. Akibatnya, banyak hal yang terjadi di Papua tidak diketahui oleh publik di daerah lain sehingga berita mengenai Papua di media massa lebih banyak mengulas berbagai keburukan yang terjadi di wilayah tertimur Indonesia ini, seperti penyerangan pos-pos polisi atau TNI, penyerangan ke base camp perusahaan pemilik HPH (hak pengusahaan hutan) atau tambang, atau aksi-aksi penculikan yang tanpa penyelidikan mendalam oleh aparat keamanan langsung dituduhkan kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bahkan, dalam kasus terbunuhnya Theys H. Eluay, aparat keamanan juga langsung menudingkan telunjuknya kepada OPM dengan menambahkan faksi kelompok garis keras.

Kini seluruh penjuru Indonesia tengah menoleh ke sesuatu nun jauh di sana di Papua akibat ditemukannya Theys H. Eluay. Apakah kasus pembunuhan yang dialami Theys adalah sesuatu yang baru?

Media seakan-akan memandang pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) itu adalah hal baru di Papua. Jika kita menyimak karya Robin Osborne, yang aslinya berjudul Indonesia’s Secret War: the Guerilla Struggle in Irian Jaya, apa yang menimpa Theys bukanlah hal yang baru. Pada tahun 1984, mayat Arnol A.P. dan Eddy Mofu di Pantai Base G. ditemukan dan pada tahun 1982 mayat Williem Joku dan Jonas Tu membusuk di dalam karung di Pantai Jayapura. Ini adalah contoh yang bermodus sama.

Di dalam buku ini, Osborne mengulas secara detail mengenai berbagai bentuk aksi pembunuhan dan operasi tentara di Papua sepanjang tahun 1980-an. Segala sepak terjang aparat keamanan di Papua yang berusaha menumpas gerakan separatis itu disebut sebagai perang rahasia Indonesia. Perang rahasia itu dilakukan secara sistematis dengan menggunakan berbagai nama operasi, dari Operasi Senyum sampai Operasi Sate dan Operasi Koteka. Dalam berbagai operasi itu ratusan penduduk menjadi korban.

Dalam konteks perang rahasia itulah segala perselingkuhan kekerasan terjadi di Papua dengan melibatkan berbagai perusahaan pemilik HPH dan tambang besar dan tentu saja aparat keamanan. PT Freeport adalah contoh terbaik dari perselingkuhan kekerasan itu.

Rakyat Papua yang keberatan tanah ulayatnya (tanah dari nenek moyang--Red) diambil-alih oleh perusahaan tambang atau perusahaan pemegang HPH dalam sekejap menjadi OPM di mata tentara dan secara otomatis sah mendapat hukuman mati, tanpa proses hukum.

Di samping praktek perang rahasia dan akibat-akibat buruknya yang menimpa rakyat Papua, buku ini juga menyuguhkan secara jernih mengenai OPM. Istilah OPM yang sekarang kita kenal pertamanya datang dari TNI. Artinya, TNI mengidentifikasi, siapa saja dan kelompok mana saja jika bersuara keras dan berani mengkritik pemerintah atau TNI yang berselingkuh dengan perusahaan HPH dan tambang, otomatis ia menjadi OPM. Osborne menguraikan, OPM secara historis bukanlah organisasi yang homogen dengan hierarki yang ketat sebagaimana layaknya organisasi gerilya bersenjata di banyak tempat. OPM yang disampaikan dalam buku ini tak lebih dari satu keragaman cara bereaksi terhadap perang yang dilancarkan oleh tentara Indonesia. Karena itu, di dalam organisasi yang di OPM-kan itu terdapat perbedaan yang mendasar. Bahkan perbedaan-perbedaan itu tak jarang menimbulkan saling serang di antara mereka. Tak jarang pula dalam kondisi saling serang itu ada pula kelompok yang diperalat oleh militer untuk menghancurkan kelompok yang lainnya. Osborne berhasil mendeskripsikan anatomi dan latar historis dan kondisi sosial-politik kehadiran OPM itu, sekaligus juga mendeskripsikan karakter dan profil tokoh-tokoh OPM baik di dalam maupun di luar Papua.

Buku ini kaya akan data dan keterangan mengenai Papua sepanjang tahun 1980-an. Kini, buku ini menjadi sangat penting karena berisi catatan sejarah sosial-politik yang sangat penting baik bagi Indonesia maupun bagi rakyat Papua sendiri. Karena itu, dalam rangka menulis ulang sejarah demi mencari dasar pertimbangan untuk menyelesaikan masalah yang kini kian berat di Papua, buku ini begitu relevan untuk dibaca. Artinya, dengan menguak perang rahasia yang terjadi di Papua selama ini kita bisa mencoba mengidentifikasi masalah secara lebih jernih, sehingga apa yang menimpa Theys H. Eluay tidak terulang kembali.

Fungsi Polri dalam Pemilu

Amiruddin al-Rahab
Pemerhati Politik dan HAM, Staf Senior di ELSAM

Koran Tempo, 21 Oktober 2008

Suhu politik nasional mulai mendidih. Setiap kekuatan politik mulai pasang kuda-kuda, bahkan jauh hari ada yang memainkan jurus pembuka. Penyebabnya adalah dimulainya proses pemilu untuk meraih kursi di DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi dan DPR RI, serta kursi DPD. Dalam seluruh proses tarung politik ini akan terjadi pertikaian internal dan eksternal antarpartai politik dan atau antarkader dalam partai politik itu sendiri. Gejala pertikaian ini telah muncul ke permukaan dengan segala bentuk manifestasinya. Saling gugat dalam menentukan nomor urut telah terjadi. Saling ancam antarpengurus partai telah terkuak. Bahkan saling rebutan kantor pun terjadi. Saling bakar bendera dan nama partai pun terjadi.

Seturut dengan itu, massa pendukung partai dan individu calon anggota legislatif juga akan terseret dalam pertikaian, yang bisa berujung perusakan, penganiayaan, dan kekerasan fisik lainnya.

Dalam sabung politik yang mulai riuh itu, ada sosok lain yang mesti mendapat perhatian lebih, yaitu aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Perhatian kepada Polri bukan dalam arti melihat dia sebagai peserta sabung, melainkan sebagai wasit sabung. Kenapa tidak? Dalam seluruh tahapan sabung politik itu, aparat Polri ditempatkan sebagai penegak hukum sekaligus penjaga ketertiban masyarakat. Singkat kata, selama ini dalam berbagai pilkada, aparat Polri (di semua tingkatan) betul-betul diposisikan sebagai antagonis, yaitu selalu berseberangan dengan kekuatan politik mana pun demi menjaga netralitas. Dalam situasi sulit seperti itu, polisi juga harus melindungi jajaran KPU.

Dalam konteks politik yang kian memanas menjelang pemilu, ada dua hal yang harus diperhatikan oleh jajaran Polri. Pertama, menjaga netralitas agar tidak menjadi sasaran tembak atau diseret oleh partai-partai politik. Kedua, menjaga profesionalisme dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya yang berhubungan dengan penegakan hukum dalam seluruh proses sengketa dan konflik dalam proses sabung politik nasional ini.

Kedua langkah itu harus mendapat perhatian serius oleh Kapolri baru. Sebab, netralitas dan profesionalisme Polri sempat diragukan oleh banyak kalangan dalam dua peristiwa di Jakarta tempo hari. Yaitu, peristiwa demo penolakan kenaikan harga BBM yang berujung tindakan anarkistis dan peristiwa penyerangan kelompok AKBB oleh kelompok kaum bersorban di Monas.

Dalam dua peristiwa di Jakarta itu jajaran Polri seperti terdadak dan tidak siap menghadapi situasi perkembangan politik. Karena terdadak, polisi di satu sisi terkesan membiarkan, terutama aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum sorbanan. Sedangkan terhadap aksi menentang kenaikan harga BBM, aparat polisi bertindak eksesif. Bahkan ada insiden kekerasan oleh aparat polisi di Unas. Dari kesan seperti itu, tak mengherankan jika ada sebagian orang menilai jajaran kepolisian berasyik-masuk dengan kepentingan politik.

Sementara itu, dalam peristiwa perselisihan hasil pilkada di Maluku Utara, jajaran Polri juga tampak kebingungan. Peran polisi terlihat sangat minim, yaitu hanya sebagai penyangga antarkelompok pendukung. Sedangkan kedua kelompok terus-menerus meningkatkan penggalangan opini dan masa, dan tentu saja dana untuk menggagalkan keputusan pemerintah. Bahkan satu sisi tampak aparat polisi di lapangan menjadi korban pertikaian pilkada Maluku Utara ini. Bahkan polisi di Maluku Utara tampak tidak bisa menegakkan hukum secara profesional.

Dari tiga contoh di atas, sesungguhnya tampak ada unsur di dalam jajaran Polri yang belum maksimal bekerja dan belum bisa menempatkan diri dalam perubahan politik yang terjadi. Unsur itu intelijen keamanan. Dalam situasi sabung politik seperti ini, polisi yang berfungsi sebagai penegak hukum harus memiliki informasi dini yang sangat akurat dan cepat. Tanpa informasi yang akurat dan cepat, aparat polisi di lapangan akan menjadi bulan-bulanan massa. Sedangkan para pemimpin akan telat mengambil langkah preemptive dan preventif untuk mengeliminasi dampak kerusakan. Sementara itu, situasi terburuk dari ketiadaan informasi yang akurat dan cepat adalah jajaran kepolisian dijadikan tameng atau dijebak oleh kekuatan politik tertentu untuk melancarkan propaganda hitam terhadap pesaing politik.

Kapolri baru

Kapolri baru harus mengambil langkah konsolidasi sesegera mungkin, khususnya dengan jajaran intelkam (intelijen keamanan) dalam menyambut sabung politik yang telah berlangsung ini. Pemilu ini adalah ujian utama bagi Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Jika konsolidasi itu tidak tampak di lapangan, berarti jabatan Kapolri taruhannya.

Karena itu, Kapolri harus kembali menegaskan secara terbuka bahwa Polri berfungsi dan tugas pokok Polri adalah sebagai penjaga ketertiban umum dan penegakan hukum dalam seluruh proses Pemilu. Karena itu pula tugas aparat kepolisian adalah mengamankan individu, masyarakat, dan penyelenggaraan pemerintahan. Obyek atau sasaran tugas polisi adalah para pelanggar hukum.

Dengan fungsi, tugas, dan obyek tindakan polisi seperti itu, keputusan dalam mengambil tindakan atas terjadinya pelanggaran hukum atau keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) melekat pada setiap diri anggota Polri (Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang No. 2/2002). Atau, dengan kata lain, seorang anggota polisi (pemimpin polisi di lapangan) secara prinsip dapat mengambil tindakan ketika terjadi pelanggaran hukum/kamtibmas tanpa menunggu perintah dari atasan. Untuk itu, jajaran kepolisian diberi kewenangan menggunakan alat kekuatan.

Saat ini jajaran kepolisian dihadapkan pada perubahan politik yang cepat, melebih daya kemampuan jajaran kepolisian mengimbanginya. Meskipun demikian, Kapolri harus menggunakan segala daya yang dimiliki Polri. Dengan kata lain, jajaran kepolisian yang tadinya lamban dipaksa bergerak cepat dengan sekaligus meningkatkan daya pakai kapasitas terpasang yang dimiliki jajaran kepolisian untuk menghindari keterdadakan.

Sekarang ini lembaga kepolisian (Polri) adalah lembaga yang paling diharapkan peranannya oleh semua pihak dalam menjaga seluruh proses Pemilu. Karena itu, Kapolri baru tidak boleh ragu-ragu dalam menegakkan hukum terhadap semua bentuk pelanggaran hukum yang menjadi kewenangan polisi untuk menindaknya. Inilah ujian bagi Kapolri. *

Soal Kejahatan HAM, Semua Bersandiwara

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 01 April 2007

Badan Musyawarah (Bamus) DPR memutuskan bahwa tidak terjadi kejahatan hak asasi manusia (HAM) dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II serta Mei 1998. Maka dari itu Pengadilan HAM Ad Hoc tidak perlu dibentuk untuk memeriksa segala bentuk kejahatan HAM dalam peristiwa-peristiwa tersebut.

Jika Anda satu dari mereka yang diduga bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan HAM dalam peristiwa-peristiwa itu, tentu Anda akan bersyukur dan melonjak kegirangan, karena lolos dari jeratan hukum tanpa bersusah payah. Betapa tidak, tanpa bukti yang sah secara hukum dan tanpa melakukan penyelidikan dan penyidikan, Bamus berhasil melumpuhkan proses pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Hebat! Kali ini Anda dibela dalam forum terhormat di republik ini oleh para pembela andal yang dibesarkan oleh partai politik di Bamus DPR.

Berkat keputusan Bamus itu, tentu Anda akan bisa berlenggang-kangkung dan bertepuk dada bahwa Anda adalah warga terhormat di republik ini. Putusan Bamus telah membuat Anda tanpa cela secuil pun, apalagi melakukan kejahatan HAM di masa lalu, sewaktu menduduki jabatan menteri ini, panglima kesatuan itu, petinggi teritorial komando militer atau polisi di sana-sini.

Sebagai tokoh terhormat, tentu Anda akan kian ringan mulut untuk mengkritik petinggi-petinggi pemerintahan saat ini. Berkat itu pula peluang mencalonkan diri menjadi gubernur dalam pilkada atau mendirikan partai politik untuk menuju kursi presiden semakin terbuka lebar.

Sebaliknya, coba tempatkan diri Anda sebagai bagian dari korban, tentu Anda akan menjerit dan kehilangan harapan akibat putusan Bamus DPR itu. Sebagai warga negara, hak Anda yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang yang berlaku sah telah diselewengkan oleh para politisi yang nota bene adalah para pembuat undang-udang tersebut bersama dengan pemerintah. Di tataran inilah sebagai warga negara yang menjadi korban kejahatan terhadap kemanusiaan, hak Anda betul-betul dicederai. Bukan hanya itu, akal sehat Anda pun dirampas begitu saja oleh Bamus. Ironi!


Pekerjaan Rumah

Keputusan Bamus DPR yang tidak mengandung sense of humanity itu sungguh meninggalkan pekerjaan rumah yang sangat serius bagi lembaga penegakan hukum di bidang hak asasi manusia, yaitu Komnas HAM dan Jaksa Agung. Sementara, bagi korban dan masyarakat, keputusan Bamus itu melukai hati dan menimbulkan pertanyaan besar, yaitu mengapa para anggota DPR yang terhormat tega berlaku seperti itu?

Pekerjaan rumah itu adalah tidak adanya kepastian hukum dalam menyelidik, menyidik, dan penuntutan atas kejahatan HAM.

Komnas HAM tentu akan terkendala dalam menyelidiki sebuah peristiwa di masa lalu karena DPR akan memveto hasil penyelidikan itu dengan mudah. Sementara Jaksa Agung tidak akan menyidik hasil penyelidikan Komnas HAM karena Jaksa Agung telah berhasil menempatkan DPR sebagai jaksa dan sekaligus hakim atas kejahatan kemanusiaan di masa lalu.

Mengapa DPR bisa seperti itu? Jawabannya adalah DPR dengan semena-mena telah memperluas kewenangannya. Padahal Pasal 43 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM hanya memberikan kewenangan konsultasi dengan rumusan "atas usul". DPR memaknai rumusan "atas usul" itu sebagai hak veto DPR atas hasil penyelidikan Komnas HAM. Celakanya lagi, hak veto DPR itu diperkukuh oleh Jaksa Agung yang menyatakan bahwa penyidikan hanya bisa dilakukan setelah adanya penetapan locus dan tempus delicti oleh DPR.

Opini Jaksa Agung seperti itu sungguh menyesatkan, karena DPR tidak diberi kewengan memeriksa perkara. Penjelasan Pasal 43 Ayat (2) menjelaskan bahwa DPR dalam mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc didasarkan pada "dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia". Pihak yang menentukan adanya "dugaan" tersebut tak lain dan tak bukan adalah Komnas HAM sebagai penyelidik berdasarkan "bukti permulaan yang cukup" (Pasal 20 ayat 1) dan Jaksa Agung sebagai penyidik. Artinya DPR tidak bisa menduga sebuah peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak, sebelum adanya "dugaan" yang disusun oleh penyelidik dan penyidik. Alur seperti itu telah dipraktikkan dalam pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc Timtim dan Tanjung Priok. Pertanyaan besarnya adalah mengapa dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi, Mei 1998 atau Orang Hilang, Jaksa Agung dan DPR berbalik haluan?

Ketidakpastian hukum soal penanganan kejahatan kemanusian di masa lalu ini kian menggila, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Maka dari itu, dapat dikatakan hasil Bamus DPR hanyalah satu adegan dari sebuah sandiwara yang runtut bagi mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan HAM di masa lalu, agar bisa lari dari tanggung jawab itu. Adegan awalnya dirintis DPR periode 1999-2004, kemudian berlanjut ke eksekutif yang pura-pura tidak tahu, terus ke yudikatif yang membebaskan para terdakwa di MA, serta pembatalan UU KKR oleh MK, dan akhirnya kembali bermuara di Bamus DPR periode 2004-2009.

Sekali lagi, sulit untuk tidak mengatakan bahwa keputusan Bamus DPR adalah adegan lanjutan dari sebuah sandiwara besar untuk melindungi para penanggung jawab kejahatan kemanusian di masa lalu.

Penulis adalahPemerhati Politik dan Hak Asasi Manusia. Staf Senior di ELSAM

Sumatera Barat, Pemberontak yang Takluk

Amiruddin al Rahab

KOMPAS, 15 Oktober 2005

Data buku
Judul Buku: Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998
Penulis: Audrey Kahin
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xxxv + 473 halaman


Sumatera Barat adalah daerah luar Jawa yang paling banyak menyumbang tokoh di panggung politik nasional, sejak era kolonial sampai era Soeharto.Tokoh-tokoh Sumbar itu juga mewakili semua spektrum ideologi politik, mulai dari Tan Malaka hingga Hamka. Karena itu, Sumbar memiliki tempat tersendiri dalam sejarah politik Indonesia.

Sumbar pernah menggelorakan pemberontakan terhadap penguasa pusat yang dianggap otoriter dan sentralis, baik di era kolonial maupun di masa Indonesia merdeka. Namun, ketika penguasa paling sentralis dan otoriter berkuasa di Indonesia, yaitu rezim militer Orde Baru, Sumbar menjadi anak manis.

Dari Sumbar, kita dapat melacak sejarah visi Indonesia merdeka, terutama dalam hal hubungan pusat dengan daerah. Sejarah Sumbar memperlihatkan bahwa hubungan pusat dengan daerah adalah hubungan yang saling mencemburui karena pusat selalu bernafsu menguasai dan menundukkan, sementara daerah cenderung menuntut lebih. Audrey Kahin mengkaji hubungan saling mencemburui itu dari perspektif lokal dengan kacamata sejarah politik. Elaborasinya tersaji dalam buku ini dengan sangat memikat.

Audrey mengemukakan asal- muasal ketegangan integrasi Sumbar dengan pusat, bukan sekadar masalah porsi pembagian kue ekonomi atau jabatan,melainkan perbedaan visi mengenai Indonesia merdeka. Budaya politik Minang yang egaliter meyakini keutuhan Indonesia ditentukan oleh kerelaan pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada setiap daerah. Sementara budaya politik Jawa yang sentralistis hierarkis meyakini keutuhan dan kemakmuran Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat.


Menggagas dan Membela Indonesia

Masyarakat Minang melihat pemimpin hanyalah orang yang "ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah", bukanlah penguasa tunggal yang mengambil kata putus. Masyarakat Minang memandang bahwa kekuasaan menyebar dalam nagari-nagari karena nagari berfungsi sebagai kesatuan adat dan sekaligus politik. Cara untuk mengambil keputusan adalah musyawarah antara seluruh unsur nagari.

Watak politik Minang itu kemudian mewarnai watak nasionalisme Indonesia yang tumbuh di Sumbar. Ideologi yang diusung untuk Indonesia merdeka merupakan paduan dari pandangan Islam modern dan sekuler radikal, misalnya marxisme.

Aktornya datang dari kalangan ulama, guru-guru, dan murid-murid perguruan swasta (Perguruan Diniyah dan sumatera Thawalib), komunitas pedagang, pemimpin nagari yang berpadu dengan aktivis politik. Perpaduan ketiga unsur itu membuat nasionalisme Indonesia di Minang menjadi tidak elitis dan menghargai keotonoman para pihak dalam menentang kolonial Belanda.

Dengan sikap yang otonom itulah Sumbar menjadi benteng bagi Republik ketika terancam agresi Belanda. Bersama Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), segenap tokoh politik dan birokrasi sipil dan militer di Sumbar menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tahun 1948 sebagai pemerintahan yang sah (hal 213). Berkat sokongan masyarakat Minang, PDRI berhasil menjaga integrasi Republik. Sekaligus berhasil pula menjaga eksistensi Republik di mata dunia. Berkat kerja sama itu, rencana Belanda untuk mendirikan negara Minangkabau sebagai daerah otonom dalam Negara Federasi Sumatera berhasil digagalkan (hal 234).

Memberontak dan kalah

Setelah tahun 1955, orang Minang melihat otonomi daerah hanya tinggal omongan. Orang Minang melihat Soekarno menjalankan kekuasaan secara draconian (keras dan kejam) baik terhadap institusi sipil maupun militer. Di era ini visi Sumbar yang demokratis dan egaliter berhadapan dengan konsep kekuasaan Jawa yang feodal dan sentralistis.

Para mantan pimpinan Divisi Banteng yang merasa berjasa untuk Republik di era revolusi dan PDRI kecewa ketika Soekarno tidak menggubris tuntutan otonomi yang luas bagi daerah. Pemimpin Divisi Banteng kemudian mengorganisir reuni. Kelanjutan dari reuni ini adalah pembentukan Dewan Banteng yang kemudian mengambil alih kekuasaan Gubernur Sumatera Tengah oleh Komandan Brigade Banteng Letkol Ahmad Husein Desember 1956 di Bukittinggi.

Dalam rangka menentang Soekarno ini, isu antikomunisme dijadikan wacana, meskipun sebagian pengurus cabang PKI daerah mendukung Dewan Banteng. Bak gayung bersambut, gerakan ini kemudian disokong pula oleh tokoh-tokoh Minang
di Jakarta, yaitu Natsir dan Assa'at yang kecewa terhadap Soekarno. Para pemimpin Masyumi lainnya—Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap—turut pula bergabung. Akhirnya Sumbar jatuh ke dalam skenario para pembangkang dari Jakarta, yaitu Zulkifli Lubis dan Sumitro Djojohadikusumo yang gencar mengampanyekan gerakan antikomunis atau PKI untuk menentang Soekarno.

Ketika perlawanan ini telah melibatkan tokoh politik dan militer dari Jakarta, serta tercium melibatkan kekuatan asing yaitu Amerika, Soekarno bertindak cepat. Kota-kota utama PRRI, yaitu Pekanbaru dan Padang dibom dan langsung dikuasai militer pusat yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani. Sejak kedua kota itu jatuh, umur PRRI secara militer tinggal menghitung hari.

Kalahnya PRRI berarti kalahnya orang Minang. Dengan sendirinya, konsep Minang tentang Indonesia merdeka yang egaliter dan menjunjung otonomi juga rontok. Harga diri orang Minang sebagai benteng Republik dan penyumbang elite terbanyak di pentas politik nasional juga hancur. Kekalahan itu meninggalkan kepedihan di hati rakyat Minang dan elitenya. Setelah PRRI kalah dan banyaknya pejabat sipil dan militer dari Jawa tumpah ke Sumbar, Audrey menggambarkan Sumatera Barat seperti daerah taklukan. Orang Sumbar diperlakukan sebagai warga negara kelas dua (hal 360).

Dikala G30S meletus, jagad politik masyarakat Minang kembali jungkir balik. Kekerasan, pembunuhan, dan penangkapan membuncah. Keadaan kian genting setelah Mayor Imam Suparto (Kepala Penerangan Kodam 17 Agustus) kembali dari Jakarta, memerintahkan media lokal menyebarkan pamflet anti-PKI tanggal 6 Oktober 1965 (hal 380). Sejak ini kekuatan radikal yang menentangpemberontakan PRRI, yang sebelumnya dianggap pendukung setia pusat, sontak menjadi musuh pemerintah, lantas diburu. Sementara "para pemberontak" menjadi bagian dari politik baru, kemudian terlibat dalam pengganyangan komunis.

Setelah melalui hari yang berdarah-darah dalam dua gelombang, untuk memulihkan harga diri dan menghidupkan perekonomian daerah, elite-elite Sumbar mulai meninggalkan medan tarung politik, dan berupaya memasuki medan pembangunan ekonomi. Dipimpin Harun Zain—seorang ekonom dari Barkley—sebagai gubernur, Sumbar menyerah bungkuk kepada Jakarta. Di tangan Zain dan beberapa gubernur setelahnya, Sumbar memang mendapatkan hal yang secara lahiriah menakjubkan, dan beberapa kali mendapat anugerah Adipura. Untuk keberhasilan itu, para mantan gubernur Sumbar pun naik kelas menjadi menteri Soeharto.

Hasil yang digapai Sumbar di masa Orde Baru ternyata harus dibayar mahal dan kontan. Pertama, masyarakat politik Minang kehilangan harta yang paling berharga, yaitu sikap kritisnya terhadap kekuasaan pusat. Kedua, Sumbar kehilangan sistem pemerintahan Kanagarian (hal 406-409) yang menjadi ruh politiknya. Akibatnya, karakter politik Minang yang menekankan desentralisasi dan egaliter dalam politik Indonesia merdeka lenyap dari pentas politik nasional. Sejak ini Sumbar tidak lagi menjadi "pusat alternatif", melainkan hanya sekadar menjadi satu daerah di antara daerah lainnya.

Seluruh dinamika politik Sumbar dan hubungannya dengan pemerintah pusat bisa kita katakan sejalan dengan pepatah Minang yang mengatakan, "sakali aie gadang, sakali tapian barubah". Integrasi Sumbar ke dalam Indonesia, seperti yang diuraikan oleh Audrey Kahin, dari tahun 1926 sampai tahun 1998 dapat kita tempatkan dalam makna pepatah ini. Kini Sumbar terlihat sedang meraba-raba tepian baru di era otonomi ini.

Kontribusi utamanya dari buku ini adalah mengingatkan setiap pemimpin Indonesia agar hati-hati mengelola hubungan pusat dengan daerah. Hubungan yang terlalu tegang akan memunculkan kekecewaan dan pemberontakan.

Sementara elite daerah yang terlalu menjadi penurut akan terus dipaksa oleh pusat untuk memberikan konsesi yang lebih besar.


Amiruddin al Rahab, Peneliti di ELSAM dan Inrise, Institute for Research Social and Economic, Jakarta

Ke Helsinki Mencari Damai

Amiruddin al Rahab

KORAN TEMPO, 14-07-2005

Perundingan informal babak kelima antara delegasi Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, kembali digelar. Perundingan perdamaian akan ditingkatkan menjadi perjanjian formal (nota kesepahaman) jika kedua pihak bersepakat. Rangkaian perundingan di Helsinki telah mendatangkan harapan baru bagi rakyat di Aceh setelah didera gelombang masa darurat dan tsunami.

Sayangnya, di Jakarta, silang pendapat antara pemerintah dan DPR masih meruncing. Dewan menolak perundingan dilanjutkan. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyikapi dengan keras dengan mengatakan, "Kalau tidak ingin menumpahkan darah dan air mata, ya, harus berunding" (Koran Tempo, 12/7).

Sikap sebagian anggota DPR dari Komisi I ini bagi rakyat Aceh menyeramkan karena menutup pintu untuk damai. Proses politik di DPR sangat menentukan gagal atau berhasilnya langkah pemerintah di Aceh.

DPR sepertinya gagap menyikapi perubahan konteks politik Aceh saat ini. Untuk mendukung langkah strategis pemerintah dalam merancang perdamaian di Aceh, kelihatannya sebagian anggota DPR tidak siap.

Di masa lalu, seluruh masalah Aceh adalah monopoli ABRI/TNI. DPR hampir tidak pernah dilibatkan dalam mencarikan jalan keluar bagi persoalan Aceh. Monopoli TNI atas Aceh membuat DPR merasa terbebas dari beban politik masalah daerah bergolak. Sekarang, setiap anggota DPR harus memikul sebagian tanggung jawab atas keputusan pemerintah.

Di samping itu, anggota DPR di Senayan telat dalam mengubah sudut pandang dalam melihat masalah Aceh. Sudut pandang yang dipakai masih sudut pandang politik otoritarian. Sudut pandang otoritarian selalu bertumpu pada argumentasi usang, yaitu keutuhan teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Aceh sekadar masalah domestik. Para penganjur domestifikasi ini selalu jatuh pada pilihan kekerasan, yaitu penumpasan tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi rakyat Aceh.

Padahal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam penelitiannya mengenai konflik Aceh pada 2004 menyimpulkan, berkembang dan bertahannya GAM adalah karena salahnya cara penyelesaian yang dipilih, yaitu menggunakan kekerasan dengan memberlakukan Aceh sebagai daerah operasi militer (Nurhasim dkk, 2004)

Dalam melihat Aceh sekarang, harus bergeser 180 derajat, yaitu keutuhan NKRI hanya mungkin terjamin di Aceh jika rakyat merasa aman dan nyaman. Tumpuan dari sudut pandang ini adalah human security. Selain itu, tidak ada satu pun persoalan di Aceh yang betul-betul persoalan domestik, mengingat setelah bencana tsunami melanda, segala hal yang ditutup rapat di Aceh telah mengglobal. Dunia mengetahui seluruh kesulitan hidup rakyat Aceh. Orang-orang yang menolak perundingan dengan alasan mencegah penginternasionalan masalah Aceh kini bak katak dalam tempurung.

Perundingan di Helsinki menunjukkan adanya pergeseran sudut pandang dari kedua belah pihak. Hal itu terlihat dari dicapainya titik temu antara pemerintah Indonesia dan GAM. Karena itu, sikap pemerintah dalam melanjutkan perundingan harus didukung. Apalagi saat ini GAM telah mengakui pula Aceh bagian dari Indonesia (Koran Tempo, 12/7).

Ada dua alasan perundingan ini pantas didukung. Pertama, langkah ini merupakan langkah maju dalam menangani masalah Aceh. Kedua belah pihak bertemu dalam satu meja untuk merumuskan agenda perundingan. Dengan kata lain, perundingan lebih bermakna dan mendapat dukungan yang pasti pula dari kedua belah pihak. Bahkan, 19 orang bupati Aceh mendukung proses perdamaian. Begitu pula pengurus beberapa partai politik di tingkat nasional yang bersedia partainya menjadi biduk GAM untuk maju dalam pemilihan kepala daerah secara langsung Oktober nanti.

Kedua, rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh setelah diporakporandakan oleh tsunami hanya mungkin dilakukan dalam situasi yang damai. Sehingga segala fund and force yang dimiliki rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia betul-betul bisa didayagunakan untuk membangun Aceh. Implikasinya, senjata yang menyalak harus dihentikan. Jikapun masih terjadi, itu harus dianggap sebagai dinamika menuju damai.

Utang pemerintah untuk proses perdamaian ini adalah memastikannya secara terperinci dan teragenda dengan waktu yang pasti. Kapan setiap elemen mengimplementasikan kesepakatan. Terutama menghentikan main senjata dan mengontrol perwira militer dalam melontarkan pernyataan politik provokatif. Selain itu, memastikan pemerintah Aceh mampu menjalankan roda pemerintahnya dengan lebih accountable dan tidak korup.

Utang pemimpin GAM adalah memastikan seluruh jajaran GAM meletakkan senjata selama proses damai berlangsung. Selain itu, gerakan ini mengendalikan satuan-satuannya untuk tidak melakukan provokasi dan tindakan kriminal seperti menculik tokoh masyarakat.

Dengan memastikan semua hal itu, agenda yang telah disepakati untuk ditindaklanjuti ke tahap formal seperti self government, security arrangement, political issues, perbaikan ekonomi, amnesti, dan keadilan serta hak asasi manusia baru bisa didorong ke tahap agenda operasional yang konkret.

Sementara itu, pemerintah Indonesia semestinya tetap membuka pintu bagi GAM buat membentuk partai politik lokal dalam koridor otonomi khusus untuk ikut dalam pemilihan kepada daerah. Begitu pula dengan pemberian peluang bagi Aceh untuk memakai simbol-simbol tradisinya.

Kemungkinan pembentukan partai lokal dan penggunaan panji-panji tradisi bagi daerah otonomi khusus bukanlah hal yang baru. Bukankah dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua hal itu telah diberikan? Apa salahnya bagi Aceh--demi perdamaian yang permanen--hal itu dimungkinkan pula?

Akhir kata, jika upaya damai kali ini gagal, Indonesia kehilangan kesempatan untuk menunjukkan niat baiknya kepada rakyat di Aceh. Dengan demikian, pemerintah dan elite politik Indonesia dan Aceh kehilangan kesempatan pula untuk dipercayai oleh rakyat Aceh.

Narasi Pembunuhan Massal 1965-1966 (Menyambut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi)

Amiruddin al-Rahab
(Peneliti Senior Politik dan HAM di ELSAM)

Koran Tempo, 30 September 2004

"Di Jawa Timur atau Jawa Tengah banyak sekali Pemuda Rakyat atau anggota PKI dibunuh, disembelih atau ditikam atau dipentungi, dikepruki sampai pecah kepalanya; itu satu kejadian. Tetapi, kemudian ini jenazah yang lehernya tergorok, yang kepalanya pecah dikepruk, karena perutnya keluar ia punya usus karena ditikam, jenazah ini kalau ada orang yang mau ngerumat, memelihara, orang ini dilarang."

Dengan geram Presiden melanjutkan.... "Saya tidak membicarakan motif daripada pembunuhan ini, itu lain perkara, tetapi ini jenazah diklelerkan. Malah orang mau mengurus jenazah diancam. Ada yang diklelerkan di pohon, ada yang diklelerkan di pinggir sungai, ada yang dicemplungkan di dalam sungai, dilemparkan bagai bangkai anjing yang sudah mati." (Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965--Pelengkap Nawaksara, 2003, halaman 294-306).

Pembunuhan massal di Jawa Timur dan Jawa Tengah dilihat Soekarno sebagai imbas dari pertikaian politik pascaperistiwa G-30-S. Untuk mengakhiri pembunuhan itu, Presiden Soekarno mengatakan, "Jangan gontok-gontokan." Pernyataan itu disampaikannya dalam amanatnya kepada HMI, 18 Desember 1965, di Istana Bogor, dan KAMI di Istora Senayan, 21 Desember 1965.

Terjadinya pembunuhan massal setelah peristiwa 30 September 1965 seperti yang dikeluhkan Presiden itu bukanlah isapan jempol. Oei Tjoe Tat dalam biografinya menegaskan, Fact Finding Commission yang dipimpinnya pada Desember 1965 melaporkan kepada Presiden Soekarno jumlah korban 78 ribu jiwa di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Robert Cribb dalam bukunya, The Indonesia Killing (2000), memperkirakan jumlah orang yang terbunuh sekitar 500 ribu jiwa. Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pernah pula pada 1966 menyatakan, jumlah korban 800 ribu jiwa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta 100 ribu jiwa di Bali. Bahkan Jenderal Sarwo Edi, mantan Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), pernah menyatakan, jumlah korban pembunuhan setelah peristiwa 30 September 1965 berkisar sekitar 3 juta jiwa.

Menyambut kehadiran Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) itu, perlu kiranya diperhatikan kegeraman dan keprihatinan Presiden Soekarno tentang pembunuhan massal itu. Dari amanat Presiden Soekarno di atas, terlihat pembunuhan massal pada 1965-1966 merupakan peristiwa yang paling kuat mewakili apa yang disebut pelanggaran HAM yang berat, baik dari segi jumlah dan karakteristik korban, pola kekerasan, luas geografi kejadian, maupun jumlah dan keragaman status pelakunya.

Selain itu, seluruh pembunuhan itu bertali-temali dengan dendam kesumat serta berkelindan dengan persoalan sosial-politik, terutama pertarungan memperebutkan kekuasaan, baik di daerah maupun di pusat. Implikasi dari bertalitemalinya pembunuhan massal itu dengan perebutan kekuasaan adalah mengawetnya wacana antikomunisme yang melampaui akal sehat di satu sisi, sedangkan di sisi lain wacana komunisme menjadi legitimasi seluruh kekuasaan rezim Orde Baru selama 30 tahun.

KKR dalam memeriksa pembunuhan massal pada 1965-1966 sepertinya akan menemukan beberapa kesulitan. Kesulitan terjadi karena UU KKR diikat degan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang menentukan dua bentuk pelanggaran HAM, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Untuk mengatasi itu, perlu diperhatikan, pertama, tidak tersedianya dokumen yang memadai tentang peristiwa pembunuhan itu. Dokumen Fact Finding Commission Oei Tjoe Tat saat ini tidak jelas rimbanya. Amanat Soekarno yang disinggung di awal tulisan ini adalah ucapan resmi yang bisa digunakan untuk memperkirakan besaran peristiwa pembunuhan itu. Berhubung tidak adanya dokumen, kesaksian lisan menjadi sumber pokok.

Orang-orang yang potensial menjadi saksi, baik korban atau pelaku, yang tersebar di 348 kabupaten dan kota, terutama di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Kalimantan. Sebaran wilayah yang demikian itu tentu memerlukan dana dan tenaga yang luar biasa untuk menjangkaunya. Jika KKR tidak mampu menyediakan infrastruktur dan tenaga yang andal untuk menjangkau daerah-daerah itu, korban pembunuhan pada 1965-1966 akan menjadi korban kedua kalinya.

Kedua, kesulitan menempatkan narasi korban atau pelaku sebagai bukti yang kuat untuk menerangkan peristiwa. Seluruh karakteristik pembunuhan massal dan relasi kekerasan yang mendasarinya hanya mungkin didapat dalam memori individu per individu. Gabungan dari narasi individu-individu korban dan pelaku yang memiliki dimensi faktual dan kejiwaan itulah kebenaran tentang masa lalu itu. Karena narasi personal itu menjelaskan sikap, posisi, dan gejala kejiwaan korban dan pelaku dalam peristiwa kekerasan itu.

Narasi dari mereka yang terlibat (korban dan pelaku) adalah pintu utama untuk mengetahui bagaimana dan mengapa pembunuhan massal itu terjadi. Bertolak dari narasi yang saling mengoreksi itulah kemudian para pihak mampu beranjak dari posisinya semula. Untuk mengatasi kesulitan kedua ini, KKR harus mengesampingkan prosedur formal KUHAP seperti yang disyaratkan UU No. 26/2000. KKR harus memiliki prosedur acaranya sendiri.

Terakhir dan paling pokok adalah anggota KKR harus mampu menciptakan satu atmosfer yang sehat tentang pengusutan pembunuhan massal pada 1965-1966 ini. Diperlukan pengkondisian dan sosialisasi kepada semua pihak bahwa membuka peristiwa 1965 bukan berarti menghidupkan kembali partai komunis di Indonesia.

Dr. Budiawan dalam bukunya, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Antikomunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Soeharto (2004), mengingatkan bahwa rekonsiliasi bukan melulu persoalan teknis hukum, melainkan upaya menciptakan budaya pengakuan dan kerelaan mengoreksi posisi pelaku dan korban menjadi sangat relevan.

Misi KKR-lah yang memproyeksikan korban atau pelaku menjadi sosok yang baru sama sekali. Jika KKR gagal menghadirkan atmosfer yang kondusif, berarti gagal membawa korban dan pelaku keluar dari posisinya semula. Akibatnya, pembunuhan massal pada 1965-1966 tetap menjadi misteri politik. Pada gilirannya wacana antikomunisme di Indonesia tetap menjadi arena "gontok-gontokan".

Otonomi Khusus, Masa Depan Papua?

Amiruddin al Rahab

Kompas,18 Februari 2006

Judul: Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI
Penulis: Dr. Jacobus Perviddya Solossa, Drs., Msi.
Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Cetakan: I, 2005
Tebal: xxii + 257 halaman

Papua belakangan ini kembali mencuri perhatian publik nasional dan internasional. Baik karena terjadinya kelaparan massal di Yahokimo maupun karena terjadi penembakan terhadap warga sipil oleh anggota TNI di Paniai atau permintaan suaka politik ke Australia. Peristiwa itu memperlihatkan bahwa agenda perbaikan nasib rakyat Papua seperti pemenuhan dan penegakan hak asasi manusia dan hukum telah terabaikan.

Selain permasalahan di atas, pemerintah juga sepertinya absen dalam menyediakan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur ekonomi rakyat sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus). Di saat makna Otsus Papua kian tidak menentu dan ketegangan antara Jakarta dan Jayapura terus berlanjut, kehadiran buku Dr Jacobus Perviddya Solossa (mantan Gubernur Papua) menjadi begitu penting.

Ada beberapa sumbangan berharga yang dikandung oleh buku ini. Pertama, buku yang berasal dari disertasi doktoral di Universitas Padjadjaran ini memaparkan latar belakang sosio-politik lahirnya kebijakan otsus. Secara sosio-politik, Solossa menguraikan bahwa otsus tidak jatuh dari langit, tetapi merefleksikan seluruh penderitaan orang Papua dan sekaligus harapan orang Papua untuk keluar dari kesulitan hidup akibat represifnya politik Indonesia di masa lalu.

Luapan kekecewaan yang bermuara pada tuntutan kemerdekaan di tahun 1998 membuat pemerintah pusat bingung dan kehilangan inisiatif. Inisiatif datang dari Papua, yaitu konsep otsus sebagai jalan keluar baru untuk mengatasi ketegangan yang kian meruncing. Ibarat dalam ikatan perkawinan yang sudah retak, otsus merupakan mahar baru untuk membenahi kerusakan. Harapan yang terkandung di dalamnya adalah adanya sikap saling koreksi dan saling percaya untuk membangun hubungan baru yang didasari cara dan nilai-nilai yang baru pula.

Latar sosio-politik ini kerap dilupakan saat ini. Akibatnya, kerap kali Jakarta melihat otonomi khusus Papua bukan sebagai langkah politik dan hukum untuk memperbaiki citra pemerintah Indonesia di mata rakyat Papua, tetapi semata-mata masalah administratif kepemerintahan. Cara pandangan yang sangat Jakarta sentris dan administratif inilah yang dikritik Solassa.

Persoalan mendasar

Menurut uraian dalam buku ini, ada dua persoalan mendasar yang akan bisa diatasi oleh otsus jika pemerintah pusat serius. Pertama, soal sejarah politik, yaitu terus berkembangnya pemahaman di kalangan orang Papua bahwa mereka telah menjadi bangsa dengan negara sendiri sebelum bergabung dengan Indonesia. Otsus akan menjadikan orang Papua tuan di atas tanahnya sendiri. Kedua, terjadinya diskriminasi terhadap orang asli Papua oleh birokrasi dan sistem ekonomi Indonesia yang terlihat dari mencoloknya perbedaan kondisi sosial-ekonomi Papua dengan daerah lainnya. Papua adalah salah satu penyumbang devisa terbesar terhadap Indonesia dari hasil kayu dan tambangnya. Otsus akan mengakhiri diskriminasi ini karena akan mendatangkan kesejahteraan.

Sumbangan kedua dari buku ini adalah tawaran konseptualnya. Otonomi khusus Papua dirancang sebagai otonomi dalam kerangka internal self determination (penentuan nasib sendiri secara internal). Artinya, status otonomi Papua bukan sekadar pendelegasian urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah seperti otonomi yang dimiliki daerah lainnya di Indonesia, melainkan otonomi yang menjunjung tinggi bentuk self governing dalam kerangka negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, penyelenggaraan pemerintahan di Papua berada dalam kerangka pembagian kekuasaan antara Papua dan pemerintah pusat (asymmetries autonomy). Maka dari itu, dalam UU Otsus Papua ditekankan bahwa kewenangan Papua meliputi seluruh kewenangan publik, kecuali politik luar negeri, pertahanan, fiskal dan moneter, serta peradilan dan agama. Artinya, dengan otsus, pemerintah daerah Papua memiliki kewenangan penyelenggaraan kepemerintahan secara luas, tetapi ia tidak berdaulat sebagaimana layaknya sebuah negara. Dengan konseptual seperti ini, Solossa menekankan kepercayaan (trust) dari pusat terhadap Jayapura adalah kuncinya (hal 53-55).

Singkat kata, dengan otsus, Papua bisa dikatakan nation without state, seperti Bouganville di Papua Niugini atau Quebec di Kanada. Konsepsi otonomi seperti inilah yang tak pernah dipahami oleh Jakarta dalam melihat Otsus Papua.

Sumbangan ketiga dari buku ini adalah berhasil menunjukkan secara kualitatif dan kuantitaf harapan orang Papua terhadap otsus. Secara kuantitatif, Solossa dengan sampel yang representatif dari seluruh lapisan dan strata masyarakat Papua mampu menunjukkan tingginya harapan orang Papua terhadap otsus untuk memperbaiki kondisi hidup, baik secara sosial-ekonomi, hak asasi manusia, maupun sosial-politik. Sedangkan secara kualitatif, buku ini berhasil menjaring pandangan-pandangan dan harapan-harapan orang Papua dari berbagai strata masyarakat Papua.

Harapan itu terbangun karena diinstitusionalisasikannya harapan orang Papua asli menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, dibentuknya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi dan tempat berpartisipasinya orang asli Papua dalam merumuskan kebijakan di Papua, dan diperbesarnya anggaran untuk Papua dari hasil sumber daya alam Papua. Selain itu, harapan juga tumbuh karena diakuinya simbol-simbol identitas kepapuaan, seperti bendera Bintang Kejora, lagu dan nama Papua (hal 120-121).

Sumbangan keempat adalah konsep pemekaran provinsi Papua. Dalam hal ini, Solossa memperlihatkan karakter seorang birokrat dan politisi yang hati-hati dan visioner. Pemekaran Papua, menurut Solossa, harus tidak menghilangkan karakter asli Papua sebagai rumpun Melanesia. Maka dari itu, ia menawarkan satu Uni-Papua yang terdiri dari beberapa provinsiĆ¢€”paling tidak limaĆ¢€”yang dipimpin oleh seorang gubernur senior. Setiap provinsi itu birokrasinya harus ramping sehingga mampu melayani masyarakat. Sementara kekayaan sumber daya alam diperuntukkan kepada seluruh Papua yang dibagi secara proporsional (hal 198-206). Hal ini dikemukakan karena Solossa melihat Jakarta tidak memiliki visi yang jauh ke depan dalam membangun Papua.

Oleh sebab itu, Solossa menyatakan otsus adalah navigasi orang Papua untuk menata diri ke masa depan. Sejalan dengan itu, dengan otsus, pemerintah pusat juga mengakui kesalahan dan kekeliruannya terhadap Papua selama ini. Dengan adanya pengakuan itu, otsus bisa dikatakan sebagai capaian politik tertinggi Papua dalam melindungi serta membela kepentingan ekonomi dan politiknya dalam negara Indonesia (hal 25-26).

Tetap tanda tanya

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan buku ini. Selintas buku ini bisa diasumsikan sekadar pembenaran terhadap tugas-tugas Solossa dalam menjalankan kewajibannya sebagai Gubernur Papua. Selain itu, bisa pula dilihat sebagai alat propaganda Solossa dalam mencalonkan diri menjadi gubernur untuk masa yang kedua.

Di samping itu, buku ini kurang mengeksplorasi dinamika politik di luar proses formal dari perumusan UU Otsus itu. Mulai dari munculnya gerakan kemerdekaan yang begitu masif di Papua sampai penolakan-penolakan dari pembesar di Jakarta. Padahal, tantangan terhadap otsus dari Papua dan Jakarta tetap ada sampai saat ini. Kekurangan lain adalah tidak dielaborasinya otsus sebagai langkah untuk mendemokratiskan dan merestrukturisasi politik lokal Papua. Solossa seakan lupa bahwa belum maksimalnya otsus bukan saja karena adanya ketegangan dengan Jakarta, tetapi juga disebabkan oleh mesin dan infrastruktur politik yang menjalankan otsus itu tetap mesin politik lama. Artinya, selama otsus konfigurasi politik dan elite politik di Papua masih mesin politik era otoriter Orde Baru.

Ibarat pepatah lama, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Dengan adanya buku ini, kepergian Solossa yang begitu mendadak tidak membuat namanya hilang begitu saja, ia akan tetap dikenang. Singkatnya, jika berhasil diimplementasikan, Otonomi Khusus Papua merupakan warisan terbesar dari Solossa untuk masa depan Papua. Artinya, masa depan orang Papua dalam otsus masih tetap dalam tanda tanya.

Karena itu, buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi birokrat pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para calon gubernur serta bupati yang akan ikut pemilihan kepala daerah langsung di Papua. Selain itu, para pemuda, mahasiswa, serta kaum intelektual Papua dan luar Papua yang memerhatikan Papua, tanpa membaca buku ini, pengetahuan kontemporer mereka mengenai Papua akan terasa hambar. Selamat membaca.

Amiruddin al Rahab, Inisiator Pokja Papua dan Peneliti di Elsam-Jakarta

Surat Terbuka untuk Barnabas Suebu: Selamatkan Otonomi Khusus Papua

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 28 Juli 2006


Ketegangan di hati masyarakat Papua lepas sudah dan harapan muncul ketika Mendagri resmi melantik Barnabas Suebu dan Alex Hasegem sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang baru 25 Juli 2006 di Jayapura. Mulusnya acara pelantikan menunjukkan demokrasi sedang bersemi di Papua.

Pak Bas Suebu, Rakyat Papua sungguh berharap agar Otonomi Khusus di masa jabatan Anda ini menjadi obat bagi penderitaan dan rasa sakit selama ini. Pak Bas sedari awal rakyat Papua memang mengenal Anda sebagai arsitek Otsus Papua. Paham Anda yang dalam mengenai alasan historis dan dasar filosofis dari Otsus, bisa menjadi modal besar sebagai nahkoda utama yang akan membawa pelayaran perahu Papua ini ke pulau kebahagiaan. Harapan itu pantas kiranya, karena dalam empat tahun ini rakyat Papua belum merasakan secara signifikan dampak positif dari Otsus.

Di kala harapan itu bersemi, Otsus Papua itu sepertinya terancam. Ancaman itu adalah adanya rencana merevisi Otsus demi menampung Provinsi Irjabar. Bahkan Ketua DPRD Irjabar menghendaki dalam revisi nanti itu Majelis Rakyat Papua ditiadakan. (Suara Pembaruan, 25/7/2006).

Sedangkan ancaman yang lain adalah adanya rencana Presiden mengeluarkan inpres tentang percepatan pembangunan di seantero Tanah Papua yang dinilai banyak pihak di Jayapura mereduksi Otsus dan meninggalkan orang Papua dalam pembahasannya. Inpres yang direncanakan itu sunguh sangat absurd, karena ingin mengatur pulau, bukan provinsi.

Maka dari itu, Pak Bas Suebu di tangan Anda lah masa depan Papua dipertaruhkan. Artinya seluruh harapan rakyat Papua saat ini sampai lima tahun ke depan berada dalam genggaman Anda. Jika Anda salah mengambil posisi dalam berhadapan dengan Jakarta atau keliru mengambil keputusan, maka taruhannya bukan sekadar jabatan gubernur yang saat ini Anda sandang, melainkan nasib hampir 1,2 juta jiwa penduduk asli Papua (istilah UU Otsus).


Martabat Papua

Pak Bas, saat ini sikap Anda terhadap pemerintah pusat adalah nilai dari harga diri dan martabat penduduk asli Papua. Maka dari itu ketegaran dan komitmen Anda terhadap implementasi Otsus secara konsekuen adalah jaminan dari harga diri masyarakat Papua itu.

Jika Anda mudah ditekuk oleh Jakarta, maka harga diri rakyat Papua juga akan jatuh di hadapan tangan kekuasaan pusat yang selalu cemburu kepada kewenangan daerah. Maka dari itu, perlu pula Anda ingat bahwa dalam hubungan Jakarta dengan Jayapura selama ini, Jayapura terlalu menjadi penurut, akibatnya Jayapura terus dipaksa oleh pusat untuk memberikan konsesi yang lebih besar.

Sebagai nahkoda senior di Papua, tentu Anda dengan tim telah tahu rute pelayaran dari perahu Papua ini. Meskipun demikian untuk menyelamatkan perahu Otsus Papua ini agar tidak menabrak karang atau dipermainkan gelombang, ada beberapa alasan mendasar mengapa Otsus itu harus diselamatkan.

Pertama, seluruh isi Otsus adalah nilai tertinggi yang bisa dicapai oleh Papua dalam NKRI saat ini. Seluruh nilai itu tidak boleh di- reduksi lagi. Jika satu saja dari nilai-nilai di dalam Otsus itu direduksi oleh pusat, maka secara keseluruhan Otsus itu akan menemukan jalan buntu.

Keluarnya Inpres No 1/2003 tentang Pembentukan Provinsi Irjabar adalah salah satu contoh dari jalan buntu itu. Meskipun demikian, keberadaan Irjabar sudah menjadi kenyataan, maka dari itu langkah yang tersisa adalah memaksimalkan seluruh kewenangan yang masih ada.

Dalam konteks itu, rencana revisi UU Otsus hanya bisa diterima sejauh revisi itu betul-betul ditujukan untuk memaksimalkan nilai-nilai Otsus dalam implementasinya. Atau revisi itu sunguh-sunguh ditujukan untuk memastikan wewenang otoritas daerah Papua (Gubernur, DPRP, dan MRP) dalam mengatur ruamah tangganya sendiri demi kesejahteraan penduduk Papua.

Jika revisi itu menggerogoti nilai pokok dari Otsus, seperti meniadakan keberadaan MRP atau memperkecil kewenangan provinsi dalam mengelola kekayaan SDA Papua dan menghalangi agenda afirmativ action bagi kesejahteraan penduduk asli Papua, maka revisi itu harus ditolak secara tegas.

Kedua, Otsus merupakan refleksi dari pengalaman pahit Papua yang telah disia-siakan oleh pusat (memoria of passionis) lebih dari 40 tahun. Maka dari itu, Otsus memastikan keadilan bagi penduduk asli Papua dalam kerangka demokratisasi politik lokal, penegakan hukum, dan penghargaan serta perlindungan hak asasi manusia orang Papua.

Karena itulah Otsus merupakan resolusi konflik yang win-win solution bagi Papua dalam NKRI. Di dalam Otsus inilah Papua menemukan jati dirinya dan martabatnya saat ini. Dengan demikian Otsus mengandung pengakuan dari pemerintah pusat bahwa telah terjadi kesalahan dalam menangani Papua di era sebelumnya.

Jadi intinya Otsus di Papua merupakan pengakuan kesalahan pemerintah pusat, sehingga untuk menebus kesalahan itu diberikan kepada Papua kewenangan yang lebih dari daerah lainnya untuk mengelola diri secara mandiri. Disetujuinya pembentukan MRP sebagai pilar ketiga dari penyelenggaraan pemerintahan di Papua adalah kristalisasinya.


Membangun Sinergisitas

Maka dari itu dalam menyelamatkan Otsus dari rongrongan kekuasaan pusat, Pak Bas perlu mengambil beberapa langkah. Pertama, membangun sinergisitas antarpilar pemerintahan di Papua yaitu Gubernur, DPRP, dan MRP secara simultan. Sinergisitas ini penting, karena jika salah satu tidak terlibat dalam pembuatan dan pengambilan keputusan maka jalan pemerintahan di Papua akan pincang atau akan kurang legitimasinya.

Kedua, memastikan dengan segera langkah-langkah implementasi yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak dasar penduduk asli Papua sebagaimana yang diwajibkan oleh Pasal 38 sampai 43 UU Otsus. Dalam konteks ini pembuatan Perdasi dan Perdasus implementasi Otsus jauh lebih penting ketimbang melakukan revisi.

Ketiga, memastikan berdirinya dengan kokoh institusi pemenuhan rasa keadilan di Papua, terutama masalah hak asasi manusia seperti Komisi HAM Papua, Pengadilan HAM di Papua, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua, dan Komisi Hukum Papua. Semua institusi ini, harus menjadi agenda mendesak Gubernur yang baru.

Sekali lagi selamat Pak Bas, agenda berat di hadapan Anda. Namun semua agenda itu akan mudah dijalankan jika Anda betul-betul bertahta di hati penduduk Papua, bukan menjadi boneka Jakarta di Papua. Selamat bertugas Pak Bas, semoga sehat dan berkah Tuhan selalu menyertai Anda.


Penulis adalah inisiator Pokja Papua dan peneliti senior di ELSAM - Jakarta

Politik Muka Dua Jakarta terhadap Papua

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 17 Februari 2006


KEPADA para tokoh Papua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awal masa jabatannya pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara "mendasar, menyeluruh, dan bermartabat." Niat Presiden itu, terasa kian menjauh jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai keberadaan Irian Jaya Barat (Irjabar) yang terus terkatung-katung.

Irjabar alih-alih menjadi solusi, malah menjadi beban karena menyedot energi Pemerintah Provinsi Papua. Sekaligus mengaduk emosi rakyat di Irjabar, karena mereka dibiarkan dalam ketidakpastian. Tentu ini juga berimplikasi terhadap kinerja kabuten dan kota yang dinyatakan masuk ke dalam wilayah Irjabar. Akibatnya Pemerintah Provinsi Irjabar dan Papua tidak bisa menjalankan kewenangannya secara maksimal sesuai UU No 1 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

Politik Pemekaran

Setelah UU Otsus Papua disahkan oleh DPR RI bersama Presiden pada November 2001, menurut Richar Chauvel dan Ikrar Nusa Bakti dalam tulisannya The Papua Conflict: Jakarta's Perceptions and Policies (2004), Depdagri dan Lemhanas menyampaikan kepada Presiden bahwa tokoh-tokoh Papua di Jayapura tidak bisa dipercaya untuk menjalankan Otsus karena adanya "konspirasi politik Papua" yang kelak akan memperalat Otsus untuk tujuan lain. Bahkan elite-elite Papua, termasuk Gubernur J P Solossa dilihat sebagai bagian dari konspirasi itu dan bersimpatik pada gerakan separatis. Sejak itu Otsus dicoba dihambat jalanya.

Inpres No 1/2003 yang memerintahkan percepatan pembentukan Provinsi Irjabar dan Irjateng yang dikeluarkan Presiden Megawati adalah wujud dari ketidakpercayaan itu.

Setidaknya ada tiga motivasi politik pemerintah pusat memekarkan Provinsi Papua. Pertama, pemekaran akan mengisolasi dan memarji- nalkan kelompok-kelompok "oportunis dan tidak bertanggung jawab" yang selalu mengkampanyekan Papua Merdeka. Kedua, pemekaran akan mengerdilkan simbol-simbol politik pemersatu Papua, seperti Bendera Bintang Kejora, dan sentimen nasionalisme Papua serta identitas Papua. Ketiga, Papua yang terpecah ke dalam tiga provinsi, akan mudah diatur dari pada satu provinsi, karena akan terjadi rivalitas.

Memecah Papua menjadi tiga provinsi, diyakini Jakarta bisa menjadi rem bagi upaya-upaya gerakan kemerdekaan dan upaya untuk menggalang referendum di Papua. Sementara di provinsi baru, pemerintah pusat yakin akan bisa membentuk aliansi dan sekutu baru sebagai kaki tangan pusat untuk menghadapi gerakan di Jayapura.

Ditilik dari motivasi politik itu, kengototan Jakarta (Depdagri) saat ini dalam mempertahankan Irjabar motivasinya tidak berbeda dengan ketiga alasan yang menjadi dasar Presiden Megawati ketika mengeluarkan Inpres. Alasan pemekaran adalah untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan dan perbaikan pelayanan terhadap publik di Papua hanyalah kamuflase dan sekadar retorika.

Jika efektivitas dan perbaikan pelayanan kepada publik yang menjadi dasar, maka provinsi baru bukan jawaban bagi masalah Papua saat ini. Jawabannya ada dalam UU Otsus. Pemerintah Jakarta seharusnya mendorong dan memfasilitasi Pemerintah Provinsi Papua untuk mengimplementasikan Otsus tersebut. Baik dalam bentuk bantuan teknis mau pun finansial. Agenda pemerintah pusat seharusnya mengefektifkan kabupaten dan kota yang kini jumlahnya 29 di Papua, bukan pada provinsi. Sesuai dengan UU No 34/2004 tentang Pemerintahan Daerah, titik tekan pemerintahan daerah saat ini berada di kabupten dan kota.

Muka Dua Jakarta

Jakarta yakin bahwa Irjabar adalah benteng NKRI di Papua. Maka dari itu pemerintah pusat tidak mau kehilangan sekutunya di Irjabar untuk menghadapi manuver Jayapura. Keyakinan ini didasari cara pandang yang melihat Jayapura sebagai pusat gerakan separatis. Oleh karena itu, untuk menandingi Jayapura dan sekaligus memperlemah posisi tawar politik Jayapura, pemerintah pusat menciptakan satu sentrum politik tandingan di Sorong. Dengan demikian, legitimasi Jayapura atas Papua pelan-pelan digerogoti, dengan cara membiarkan pertentangan antar elite Irjabar dan Papua terus terbuka.

Sementara kepada Jayapura, pemerintah pusat seakan mendorong implementasi Otsus dengan seringnya para pejabat dan tokoh Papua diundang oleh Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam ke Jakarta. Semua tokoh Papua itu diyakinkan bahwa Jakarta mendukung Otsus di Papua. Sementara tokoh- tokoh Irjabar juga terus didorong pejabat-pejabat Depdagri melakukan manuver politik dalam memperkokoh Irjabar, terutama agenda pilkada gubernur.

Konsekuensi dari politik muka dua Jakarta itu adalah terjadinya ketegangan antara Jayapura dan Manokwari. Dalam ketegangan itu seakan-akan pokok masalah berada di Jayapura, yang tidak rela adanya provinsi baru di Papua. Akibatnya, perang pernyataan di media massa membiak antara Ketua DPRD Irjabar yang ditimpali oleh Ketua KPU Irjabar dengan Ketua MRP dan DPRP di Jayapura. Ketika elite Papua sudah perang kata-kata, pemerintah pusat, seakan menjelma menjadi penengah yang baik. Di sinilah politik adu domba Jakarta mendapatkan tempatnya dalam politik lokal di Papua.

Jalan Keluar

Paling tidak ada dua jalan keluar yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah pusat harus percaya sepenuhnya kepada elite-elite Papua. Kepercayaan yang setengah-setengah dari Jakarta, bukan membuat Papua kian dekat, tetapi akan kian menjauh. Pengalaman empat tahun ini harus menjadi pelajaran bagi Jakarta dalam mengelola politik lokal Papua. Maka dari itu, politik muka dua Jakarta harus diakhiri sesegera mungkin, dengan cara menyerahkan sepenuhnya proses pembentukan provinsi baru di Papua melalui mekanisme MRP dan UU Otsus.

Kedua, elite-elite Papua baik di Jayapura maupun di Manokwari dan Sorong harus mulai menyadari, bahwa mereka hanya dijadikan pion oleh kepentingan Jakarta yang berupaya memperlemah kohesi sosial dan social capital Papua. Maka dari itu, para elite Papua (Irjabar dan Papua) jangan terus menari di gendang Jakarta, melainkan mulailah menabuh tifa sendiri disertai edaran sirihpinang untuk berembuk antar-orang Papua dalam menghadapi politik dua muka Jakarta.

Sepengetahuan penulis, elite-elite Papua tidak menolak pemekaran, asal pemekaran itu betul-betul beranjak dari kebutuhan dan sungguh-sungguh ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Papua, bukan bertujuan adu-domba. Hanya dengan mempertimbangkan hal ini, masalah Papua bisa diselesaikan secara "mendasar, menyeluruh, dan bermartabat" seperti yang dikehendaki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Semoga! *

Penulis adalah inisiator Pokja Papua dan peneliti di ELSAM-Jakarta

Heboh Papua, Kembali ke Otsus!

Amiruddin al Rahab

Suara Pembaruan, 06 April 2006

Menjadikan Australia sebagai kambing hitam dalam heboh Papua adalah cara yang paling mudah untuk lari dari tanggung jawab. Karena hal itu, akan menggelapkan permasalahan sesungguhnya, yaitu kelalaian pemerintah dan ketidakpedulian sebagian besar anggota dewan terhadap implementasi Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Pada hal Otsus Papua telah di-nyatakan sebagai platform nasional untuk menyelesaikan masalah Papua dalam Tap MPR No IV/1999 dan kemudian ditegaskan dalam Tap MPR No IV/2000. Kemudian kedua Tap MPR itu dijabarkan kedalam UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Sayangnya, setelah menjadi UU, Otsus Papua hanya ada di atas kertas, dan belum bisa mengubah nasib sebagian besar rakyat asli Papua. Ketidakadilan, kemiskinan, kekerasan dan kelaparan terus menghantui rakyat Papua di kala dana Otsus dicairkan untuk Papua.

Persoalan Papua sesungguhnya adalah tidak diimplementasikannya secara konsekwen Otsus Papua sebagai platform nasional untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan dan keberlangsungan hidup orang-orang asli Papua.

Kembali ke Otsus

Untunglah, setelah bertemu dengan berbagai tokoh masyarakat Papua di Jayapura pasca bentrokan berdarah di depan Universitas Cenderawasih (Uncen), Menko Polhukam, Widodo AS menyadari kekeliruan Pemerintah Pusat.

Widodo AS berjanji akan menangani Papua sesuai kerangka Otsus. Walau pun sangat terlambat, sikap Menko Polhukam Widodo AS itu memiliki arti yang sangat strategis karena menjadi koreksi terhadap kinerja dan sikap pemerintah pusat selama ini dalam menangani masalah-masalah di Papua.

Di samping itu, janji Menko Polhukam kembali ke Otsus merupakan ajakan kepada DPR agar lebih telaten mengawasi pemerintah menangani masalah Papua. Pengawasan dari DPR itulah yang terlihat lemah dalam menjalankan Otsus di Papua. Akibatnya beberapa kebijakan pemerintah yang mencederai UU Otsus jadi berlangsung terus-menerus.

Mulai dari Presiden Megawati memotong-motong Papua menjadi tiga provinsi dan lalai membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) serta instansi pendukung Otsus lainnya , sampai rezim Yudhoyono-Kalla mengizinkan Pilkada Gubernur di Irjabar. DPR tidak pernah menggunakan hak interplasi, apa lagi hak angket atas terjadinya pelanggaran serius terhadap UU Otsus Papua itu.

Penanganan Pemerintah

Ajakan Menko Polhukam ini semestinya bisa menjadi amunisi bagi para anggota Dewan yang terhormat untuk menyentil pemerintah pusat menangani Papua. Saya rasa, hal ini lebih berarti bagi rakyat Papua, ketimbang para anggota dewan mengumbar ketersinggungan dan amarah terhadap Australia sambil berteriak-teriak meminta pemerintah memutuskan hubungan diplomatik.

Maka dari itu, jika kembali ke platform nasional yaitu Otsus di Papua sebagai jalan keluar seperti yang dinyatakan Menko Polhukam ada beberapa agenda mendesak yang mesti di tempuh.

Pertama, memulihkan kepercayaan berbagai komponen masyarakat Papua terhadap Pemerintah Pusat. Untuk ini, Presiden Yudhoyono (tanpa perantara) harus turun langsung bertatap muka dan berbicara dengan komponen masyarakat dan pemerintahan di Papua melalui pertemuan segi empat yaitu Presiden dengan Gubernur terpilih, DPRP dan MRP di Jayapura.

Dengan mendiskusikan masalah secara langsung maka antara Presiden dengan tokoh-tokoh yang mewakili rakyat Papua akan terjalin komunikasi dari hati ke hati dalam menentukan agenda prioritas. Dalam komunikasi dari hati ke hati ini tidak diperlukan instansi atau komisi apa pun untuk menjadi perantara. Untuk dua tahun pertama, hal ini bisa dilakukan 6 bulan sekali.

Kedua, MRP harus menjadi instansi rujukan utama pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan keberlangsungan hajat hidup suku-suku dan orang asli Papua yaitu pengelolaan SDA dan tanah. Misalnya dalam negosiasi ulang Kontrak Karya PT Freeport Indonesia, MRP haruslah lembaga yang paling utama yang dilibatkan di samping lembaga-lembaga adat dari suku-suku yang mendiami areal PT Freeport.

Hal ini sesuai dengan Pasal 20 UU Otsus yang menyatakan bahwa "MRP adalah pihak yang memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dengan pihak ketiga".

Ketiga, pemerintah pusat harus menghentikan segala bentuk agenda pemekaran provinsi di Papua. Jika pemerintah membiarkan adanya terus-menerus agenda pemekaran Provinsi, maka politik Papua terus akan bergejolak karena pemekaran diasosiasikan dengan politik pecah-belah.

Di samping itu, pemekaran provinsi juga dilihat sebagai upaya menciderai Otonomi Khusus. Irjabar yang telah telanjur eksis, pemerintah pusat segera berkomunikasi dengan MRP dan DPRP untuk perlindungan hak-hak orang asli Papua, penataan keuangannya dan kaitan provinsi itu dengan UU Otsus.

Bisa Dikurangi

Dengan memperhatikan secara sunguh-sunguh ketiga agenda di atas, besar kemungkinan heboh Papua bisa dikurangi secara perlahan. Dengan demikian orang Papua bisa pula merasa nyaman dalam naungan Republik Indonesia. Dengan sendirinya celah bagi pihak asing ikut campur tangan akan berkurang, dan kedaulatan Indonesia di Papua juga menjadi terjaga.

Singkatnya, heboh Papua ini janganlah berlalu begitu saja. Heboh ini harus bisa menjadi pemicu kerjasama yang teragenda antara pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua dan DPR dalam menangani masalah Papua sesuai Otsus sebagai platform nasional. Di samping itu, heboh ini juga haruslah menjadi koreksi terhadap kinerja pemerintah yang telah mengabaikan nasib rakyat Papua. Semoga.

Penulis adalah Inisiator Pokja Papua dan ELSAM